Friday, October 23, 2009

Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (4 of 5)

Tentang minuman keras, Allah memerintahkan kita sebagai hamba-Nya untuk tidak meminum khamr dan perbuatan durhaka lainnya.


Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib (dengan panah) adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS al-Mâidah [5] : 90)


Marilah kita ingat kembali larangan pemimpin kita, Rasulullah saw. tentang minuman yang memabukkan, termasuk di dalamnya adalah narkoba. Khamr terambil dari kata “khamara” yang menurut pengertian kebahasaan adalah “menutup”. Karena itu, makanan dan minuman yang dapat mengantar kepada tertutupnya akal disebut juga khamr. Semua itu adalah ummu al-khabâits (biang keburukan), yang akan membawa kita melakukan yang dilarang agama.


كُلُّ مُسْـكِرٍ حَرَامٌ وَكُلُّ مُسْـكِرٍ خَمْرٌ

Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua yang memabukkan adalah khamr. (HR Muslim melalui Ibnu Umar)


مَا أَسْـكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِـيْلُهُ حَرَامٌ

Sesuatu yang memabukkan bila banyak, maka sedikit pun tetap haram.
(HR Abu Daud, Tirmidzi dan an-Nasa’i dari Jabir bin Abdullah)


لَعَنَ اللهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُوْلَةَ إِلَيْهِ وَاۤكِلَ ثَمَنِهَا

Allah melaknat siapa yang meminum khamr (arak), menuangkannya untuk orang lain, menjual, membeli (atau membelikan untuk orang lain dengan uang milik orang yang menyuruh), membuat (memproduksi), minta dibuatkan, membawa, dibawakan dan yang memakan harganya (menadahnya). (HR Abu Daud dan Hakim)


الْخَمْرُ أُمُّ الْخَبَائِثِ فَمَنْ شَرِبَهَا لَمْ تُقْبَلْ صَلاَتُهُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فَإِنْ مَاتَ وَهِيَ فِيْ بَطْنِهِ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِـيَّةً

Khamr adalah biang keburukan. Siapa meminumnya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari. Siapa meninggal sedangkan di dalam perutnya masih mengandung arak, maka dia mati dalam keadaan Jahiliyah. (HR Thabrani)


Dalam riwayat yang lain, Nabi saw. bersabda :


مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ وَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا
وَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
وَإِنْ عَادَ فَشَرِبَ فَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
فَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
وَإِنْ عَادَ فَشَرِبَ فَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
فَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
وَإِنْ عَادَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ رَدَغَةِ الْخَبَالِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Siapa yang minum arak hingga mabuk, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.
Jika ia mati (sedangkan di dalam perutnya masih mengandung arak), akan masuk neraka. Dan jika ia bertaubat, maka Allah menerima taubatnya.
Jika ia kembali minum hingga mabuk lagi, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.
Jika ia mati, akan masuk neraka. Jika ia bertaubat, Allah akan menerima taubatnya.
Jika ia kembali minum hingga mabuk lagi, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.
Jika ia mati, akan masuk neraka. Jika ia bertaubat, Allah akan menerima taubatnya.
Jika ia kembali lagi mabuk, maka sungguh Allah akan menuangkan padanya radghah al-khabal (keringat ahli neraka).
(HR Ibnu Majah)


إِنَّ مَلِكًا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ أَخَذَ رَجُلا فَخَيَّرَهُ بَيْنَ أَنْ يَشْرَبَ الْخَمْرَ، أَوْ يَقْتُلَ صَبِيًّا، أَوْ يَزْنِيَ، أَوْ يَأْكُلَ لَحْمَ الْخِنْزِيْرِ، أَوْ يَقْتُلُوْهُ إِنْ أَبىَ، فَاخْتَارَ أَنَّهُ يَشْرَبُ الْخَمْرَ، وَأَنَّهُ لَمَّا شَرِبَ لَمْ يَمْتَنِعْ مِنْ شَيْئٍ أَراَدُوْهُ مِنْهُ

Seorang pemimpin Bani Israel memanggil seorang lelaki. Ia memberinya pilihan antara minum khamr, membunuh anak lelaki atau memakan daging. Atau orang-orang akan membunuhnya jika ia mengabaikan pilihan itu. Lelaki itu untuk meminum khamr. Selesai ia minum khamr, hal itu ternyata tidak menghalangi sesuatu yang mereka inginkan darinya (ia melakukan semua yang tadi diminta). (HR Thabrani)


Allah juga telah melarang kita untuk tolong-menolong dalam bermaksiat kepada-Nya.


وَتَعَاوَنُوْا عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوٰى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى ٱْلإِثْمِ وَٱلْعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS al-Mâidah [5] : 2)


Berkumpul dengan orang-orang yang senantiasa melakukan hal yang dilarang agama akan membuat kita secara tak sadar ikut serta di dalamnya, misalnya menggunjing (ghibah). Bagi mereka, menggunjing orang lain ibarat bumbu dapur agar percakapan di antara mereka lebih lama dan lebih seru. Menurut mereka, menggunjing bukanlah sebuah kejahatan, apalagi berdosa. Namun, mereka tidak sadar bahwa lama-kelamaan, sebuah gunjingan akan menyebabkan buruk sangka terhadap orang lain. Mereka akan menyalahkan orang lain atas nasib jelek yang menimpa mereka. Mereka merasa lebih pantas mendapatkan semuanya dibandingkan orang lain. Mereka pun tak segan membuka aib orang lain, termasuk saudara sesama muslim. Bahkan, mereka menjadikan aib sesama sebagai bahan tertawaan. Mereka senang melihat orang lain jatuh dan terpuruk.

Tentang larangan menggunjing, mari kita baca lagi tulisan Membicarakan Orang/Kelompok Lain, Kebiasaan Kitakah? (1 of 2).

Kita memohon pertolongan Allah untuk menjaga diri kita setiap saat. Ketika kemaksiatan di depan mata, bukan hanya akal yang bicara, hawa nafsu pun akan berujar. Banyak orang berakal, namun mengapa banyak pula yang dikalahkan oleh hawa nafsu? Hanya dengan pertolongan Allah-lah kita bisa mengendalikan nafsu kita, agar menjadi nafsu yang mendapat rahmat-Nya; dan tergolong dalam nafsu yang dipanggil untuk menghadap-Nya dalam keadaan ridha dan diridhai. Labid mengingatkan kita dalam bait syairnya :


Dustakanlah nafsu jika kamu berbicara dengannya

Sebab membenarkan nafsu hanya akan melambungkan angan


Agar senantiasa dibantu oleh-Nya, marilah kita bersama-sama berdoa kepada Allah, sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. :


اللَّهُمَّ لاَتَكِلْنِيْ إِلىَ نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ

Ya Allah, jangan Engkau biarkan hamba sendiri (dengan pertimbangan nafsu akal hamba saja), walau sekejap, amin.


Daftar Pustaka :

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Al-Mundziri, al-Hâfizh, “At-Targhîb wat-Tarhîb”
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007

Tulisan ini lanjutan dari : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (3 of 5)
Tulisan ini berlanjut ke : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (5 of 5)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, October 16, 2009

Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (3 of 5)

Modal seorang hamba adalah waktunya. Ia dapat menguntungkan dan membahagiakan, dapat pula merugikan dan menyusahkan. Jika kita menggunakan waktu kepada sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak menggunakan waktu untuk memperoleh pahala di akhirat, maka sungguh kita telah menyia-nyiakan modal kita.

Waktu laksana emas, jangan sampai hilang begitu saja. Sang waktu datang dan pergi setiap saat, dan dalam setiap tarikan nafas. Ia berada pada langkah manusia, pada setiap gerakan dan detak-detak nadi. Lenyapnya waktu berarti lenyap pula kesempatan. Tiada terasa saat sang waktu sedang bersama kita, dan tiada terasa pula ketika ia berangsur habis. Jangan sampai waktu yang didapatkan hanyalah ibarat air yang disiramkan ke atas pasir panas. Airnya menguap, sementara pasirnya tidak basah.

Ibnu Athaillah mengatakan, “Apa yang telah hilang dari usiamu tidak dapat diganti lagi. Apa yang telah engkau hasilkan dari usiamu haruslah hal yang tak ternilai harganya.”

Di buku “Membangun Dunia Baru Islam (Syuruth an-Nahdhah)”, Malik bin Nabi menulis, “Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota dan desa; membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya, walaupun segala sesuatu—selain Tuhan—tidak akan mampu melepaskan diri darinya.”

Ungkapan yang menunjukkan pentingnya waktu juga dicantumkan dalam sebuah pepatah Arab :

الْوَقْتُ كَالسَّـيْفِ إِنْ لَمْ تَقْطَـعْهُ قَطَعَكَ

“Waktu ibarat pedang. Jika engkau tidak memotongnya, niscaya ia memotongmu.”


Sebagaimana pedang yang mampu memenggal, maka begitu pula dengan waktu. Dengan “keberlaluan”, waktu adalah kepastian. Dengan “sedang” atau “yang akan datang”, waktu mengalahkan.

Mata pedang itu amat lembut dan tajam. Keberadaannya memiliki fungsi ganda. Jika kita memperlakukannya secara lembut, kita akan selamat. Dan jika sebaliknya yang terjadi, ia akan tercerabut dari akarnya. Demikian pula dengan waktu. Bagi kita yang patuh pada hukum waktu, maka kita akan selamat. Bagi kita yang menentangnya, maka waktu akan berbalik menjadi bumerang dan melemparkan pemiliknya. Janganlah kita mengisi waktu dengan hal-hal yang tiada guna.

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَ يَعْـنِيْهِ

Diantara (tanda) baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat.
(HR Tirmidzi)

Umar bin Khaththab ra. memberi nasihat, “Jangan lakukan sesuatu yang tidak bermanfaat bagimu, hindari musuhmu, hati-hati terhadap teman dari suatu golongan kecuali orang yang dipercaya, dan tidak ada yang bisa dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. Jangan berteman dengan orang jahat sehingga engkau belajar dari kejahatannya, jangan engkau beberkan rahasiamu kepadanya, dan bermusyawarahlah dengan orang-orang yang takut kepada Allah dalam segala urusanmu.”

Atha’ bin Abu Rabah berkata, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu tidak menyukai berlebihan dalam berbicara. Adapun yang mereka anggap sebagai kata-kata berlebihan adalah selain Kitabullah (Al-Qur’an), sunnah Rasulullah, amar ma‘ruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran), atau ucapan yang mesti dikatakan demi kebutuhan hidup.”

Apakah kita mengingkari adanya dua malaikat penjaga (Raqib dan ‘Atid) di sebelah kanan dan kiri yang menulis apa yang kita ucapkan dan lakukan? Apakah kita tidak malu jika kelak kebanyakan catatan yang ditulis dalam buku amal kita adalah hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan agama dan dunia kita?

مَايَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَـتِيْدٌ

Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.
(QS Qâf [50] : 18)

Sebagaimana lazimnya, kejahatan lebih cepat menular dibandingkan kebaikan. Itulah kecenderungan hawa nafsu. Jika teman-teman kita adalah orang-orang yang tidak memuliakan, mula-mula memang kita hanya jadi penonton. Berikutnya kita diajak tapi dalam hal yang ringan, misalnya membelikan minuman keras bila mereka suka mabuk, tapi kita tidak disuruh meminumnya. Selanjutnya kita akan diajak serta untuk mencicipinya. Jika kita menolak, yang dikuatirkan adalah mereka akan mengejek dan mencemooh kita karena tidak mengikuti kemauan mereka. Kita akan dikucilkan, dianggap pengecut, tidak gaul, kuno, katrok, ndeso, udik, sok suci, tidak setia kawan atau hasutan dan ancaman lainnya.

Biasanya, bila seseorang sudah disinggung ketidakmampuannya atau merasa tidak diterima keberadaannya, maka dia akan mengikuti apa pun syarat yang diajukan agar semua hinaan, cemoohan dan tuduhan terhadapnya terhapus. Hal itu terjadi karena timbul kekuatiran menjadi seperti sehelai daun kering yang jatuh dari pohon di seberang jalan, tak ada yang memperhatikan apalagi peduli; atau laksana secuil pecahan kaca di jalanan yang selalu dihindari bahkan disingkirkan orang. Ada ketakutan eksistensi diri dinafikan, seperti kata pepatah,

وُجُوْدُهُ كَعَدَمِهِ

“Keberadaanya sama dengan tidak ada.”


Nasi yang sudah menjadi bubur masih bisa dimakan, asalkan lauknya sesuai. Tetapi, jika kita sudah bergelimang dosa dan terjerumus dalam aktivitas yang tidak memuliakan, sanggupkah kita berjuang dengan semangat membara untuk keluar dari situasi itu? Padahal, ketika perjuangan masih ringan saja kita tidak mampu melakukannya. Oleh karena itu, mencegah harus tetap diutamakan. Mario Teguh menasihatkan bahwa tidak ada seorang kaisar pun yang cukup berkuasa untuk mengubah suatu kejadian atau peristiwa dalam rentang waktu yang disebut “tadi”.

Duhai jiwa!
Ayo bangkit dan siapkan dirimu tuk hari depan
Hindari nafsu yang membuatmu lupa daratan
Ayo bergegas menuju keselamatan
Ayo berjuang, berjuang, dan berjuang
Agar kau selamat dari azab yang membinasakan
Raih kemenangan hakiki di negeri keabadian
Selamatkan dirimu dari api yang menyengsarakan
(nasihat Ibnu Hazm)

Daftar Pustaka :
  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007

Tulisan ini lanjutan dari : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (2 of 5)
Tulisan ini berlanjut ke : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (4 of 5)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, October 9, 2009

Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (2 of 5)

a. Setan dari Golongan Manusia


Memilih teman sangat dianjurkan. Bergaul dengan orang-orang baik dan shaleh, sungguh diperintahkan. Orang-orang shaleh mempunyai sifat seperti seekor lebah, makan dari makanan yang baik dan menghasilkan madu yang baik pula. Bila hinggap pada setangkai bunga, ia tidak pernah merusaknya. Kelembutan tutur kata, senyuman tulus di bibir, dan sapaan-sapaan hangat yang terpuji saat bersua merupakan hiasan yang selalu dikenakan orang-orang mulia.


Mungkin kita akan bertanya, “Apakah kita tidak boleh berkawan dengan orang-orang yang notabene banyak berbuat dosa? Apakah itu tidak berarti kita pilih-pilih dalam berteman? Bukankah semakin banyak teman semakin bagus?”


Bila kita termasuk orang yang kuat iman, teguh pendirian, kokoh jiwa dan hati serta hebat pengaruhnya, maka boleh saja berteman dengan orang yang tidak taat dan selalu bermaksiat kepada Allah. Tentunya dengan harapan agar kita bisa membawa mereka ke arah kebaikan atau untuk diambil pelajarannya. Minimal, kita tidak terpengaruh oleh hal-hal negatif. Seorang bijak bestari berkata, “Aku mengetahui kejahatan bukan untuk melakukan kejahatan itu, tapi untuk menghindarinya. Siapa tidak mengetahui kejahatan, maka ia akan terjatuh ke dalamnya.”


Namun, jika kita adalah manusia biasa, yang hatinya terbolak-balik setiap saat, mudah dipengaruhi atau dipaksa—ibarat sehelai bulu ,jatuh di padang luas yang kosong, dihempas angin ke kanan dan ke kiri—maka pencegahan lebih baik daripada pengobatan.


Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS an-Nisâ’ [4] : 69)


مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِنْ لَمْ يُصِبْكَ مِنْهُ شَيْئٌ أَصَابَكَ رِيْحُهُ وَمَثَلُ الْجَلِيْسِ السُّـوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْكِيْرِ إِنْ لَمْ يُصِبْكَ شَيْئٌ مِنْ شَرَرِهِ أَصَابَكَ مِنْ دُخَانِهِ

Perumpamaan teman yang shaleh itu seperti pemilik minyak misik (minyak wangi). Kalau toh minyak itu tidak mengenai kamu sedikit pun, maka engkau terkena bau harumnya. Dan teman yang jelek/jahat itu seperti pemilik alat pandai besi, kalau toh percikan apinya tidak mengenai kamu, maka kamu terkena sebagian asapnya. (HR Abu Daud)

Dalam riwayat lain, Rasulullah saw. bersabda dengan matan (kandungan isi) yang senada :


إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَجَلِيْسِ السُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يَحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا مُنْـتِنَةً

Sesungguhnya perumpamaan berteman dengan orang yang baik dan dengan orang yang buruk adalah seperti berteman dengan penjual parfum dan peniup api pada pandai besi. Jika kamu berteman dengan penjual parfum, maka boleh jadi kamu diolesi parfum atau minimal mendapatkan bau harum darinya. Adapun jika kamu berteman dengan peniup api, maka boleh jadi bajumu terbakar atau kamu mendapatkan bau yang tidak sedap. (HR Bukhari dan Muslim)


الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang mengikuti agama kawannya. Karena itu, lihatlah olehmu siapakah yang menjadi kawannya. (HR Abu Daud dan Tirmidzi)


أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ النَّاسِ؟ قَالُوْا : بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ، قَالَ : مَنْ تُذَكِّرُكُمْ رُؤْيَتُـهُ بِاللهِ عَزَّوَجَلَّ

Maukah kalian kukabari tentang orang yang paling baik? Sahabat menjawab, “Tentu, ya Rasulullah.” Beliau lalu berkata, “Yaitu seseorang yang jika engkau melihatnya, ia akan mengingatkan engkau kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR Ibnu Majah)


Ibnu Athaillah berpesan, “Janganlah kalian bersahabat dengan orang yang tidak membangkitkan semangat beribadah, serta ucapan yang tidak membawa kalian mendekati Allah. Apabila kalian berbuat salah, ia akan mengatakan bahwa itu kebaikan, sebab kalian bersahabat dengan orang yang perilakunya lebih jelek daripada diri kalian sendiri.”


Pada dasarnya persahabatan memengaruhi hidup manusia. Memilih pergaulan sebagai cara memperbagus persahabatan sama pentingnya seperti memilih makanan yang cocok dengan selera, juga makanan yang dapat memberi manfaat bagi kesehatan. Sebaik-baik orang yang bersahabat ialah mereka yang berjumpa karena Allah dan apabila berpisah juga karena Allah. Jangan sampai sahabat kita akan menenggelamkan diri kita sendiri, karena harus mengikuti kemauannya tanpa mengetahui tujuan dan arah yang jelas serta bermanfaat. Bersahabat dengan orang yang tidak memuliakan ibarat memenuhi hati dengan polusi nafas sehingga hati menjadi hitam pekat dan beban berat bagi jiwa.


Sebagai motivator, Mario Teguh menasihatkan bahwa mencari teman memang harus memilih. Dari kata “mencari”, sudah tersirat dan tersurat adanya aktivitas pemilihan. Misal, kita mencari permata yang hilang di sebuah gundukan pasir, apakah kita tidak memilih? Tidak mungkin setiap pasir kita masukkan ke dalam kotak perhiasan. Hanya yang benar-benar permatalah yang akan kita simpan. Dengan demikian, mencari adalah memilih. Mencari teman berarti memilih teman. Kalau tidak memilih, itu bukanlah mencari, tapi menemukan. Menemukan teman berarti kita tidak memilih, tiba-tiba saja bertemu. Semakin jelaslah perbedaan antara mencari teman dan menemukan teman.


Daftar Pustaka :

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Al-lu’lu’ wal-Marjân (karya Syaikh Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi) – Himpunan Hadits Shahih Yang Disepakati Oleh Bukhari dan Muslim – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu

Tulisan ini lanjutan dari : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (1 of 5)
Tulisan ini berlanjut ke : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (3 of 5)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Wednesday, September 2, 2009

The essence of Islamic scholarship Map

Shalatu wa Alhamdulillah wa salamu 'ala amma rasulillah .......... ba'du. A few days before Prof. KH. Ibrahim Hosen, sick and ultimately to God Almighty, I am a car with him. At that time he gave something, which is as if the essence of what I've been taught.

In the QS. Ali Imran, verse 7 God Almighty says: "huwa al-ladzî anzala 'al-alaîka paragraph kitâba minhu muhkamât hunna umm kitâbi wa al-ukharu mtasyâbihât, amma fa fi al-ladzîna ma qulûbuhum zaîgun fayattib'ûn minhu tasyâbaha wa al-fitna abtigâ 'a ta'wîlih, wa ma ta'wilahû illa Allahu wa al-rasikhûna fi al-'ilmi yaqûlûna amannâ al-dad .... ....

Above verse states that in the Qur'an there are two kinds of verse, there are verses and there are also muhkamât verses Book;. Muhkamât verses do not need interpretation, while the verses of Book; still needs interpretation to memhaminya.

In interpreting the verses that are necessary interpreted (verse Book;), the scholars are divided into two major groups. First, a group that interprets the verses Ahkam (verses related laws), the expert group of scholars of fiqh. And second, scholars who interpret the verses related to 'aqidah. This is done by the scholars of the science of kalam and Muslim philosophers.

What is produced by the scholars of fiqh (Islamic jurists) is something that finished among the jurists. What dianafihasilkan from an expert's view of fiqh, and is different from the view of scholars in other fiqh, it is a common thing. That's why different traditions view (deviation) between the scholars of fiqh is a common trdasi. This is something that is clear, obvious.

In the meantime, what is produced by the philosophers, the scholars kalam, is something that nature is always a process.

The scholars of fiqh scholars, many of them, but which is considered the most productive is only 4, Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Shafi'i and Imam Hanafi. They are trying to interpret the Qur'an, and from the interpretation that they produce Islamic laws. They are scholars, thinkers and producers of Islamic laws.

Who are its customers? Certainly Muslims in general, or commonly referred to as the 'Awwam, as we are-we are all. So we as Muslims, it is to consume and poisisnya practice fiqh opinions produced by the experts, the scholars of fiqh experts.

In addition to the 'Awwam, consumer products are also thinking of the jurists are also community groups tashawuf (shufi).

Facing the Persaoalan 'mengkosumsi Awwam in fiqh expert's view is that when a lot of difference (khilafiyah) in determining the law of one case. So should the 'Awwam holding on the proposition, "he yasirrû wa tu'assirû". Adhered to the principle of the difficult easier.

In contrast to the 'Awwam, shufi the problem knows no deviation. For the Sufis, if there are two groups of scholars, have different views between the one and the other, the Sufis would choose the most damning view. If there are two groups of scholars, the group declared that it is haraam to eat squid and group B declared kosher, then people will choose shufi A. This is different from the 'Awwam, if there are two different views as above, then the' Awwam choose an easier opinion, because there is an underlying proposition, yassirû wa la tu'assirû earlier. And Allaah knows best bi al-shawab (AM)

Trivial deeds High Value in God's eyes

There are practices which looks like a trivial but in the eyes of God high value, so that can cause a person to enter heaven. There is also a practice that was apparently trivial but could cause people to hell. This is told in the books 'small' is often studied and read in the pesantren-pesantren.

It is told that when Hujjat al-Islam Shaikh Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Gazali (Imam Ghazali) died, there was a scholar to see his dream. His name mimipinya clergy is different from our dreams, we are, our dreams, we are most of the flowers to sleep alone, while the dream of a scholar is a dream come true (al-ru'yah al-shadîqah).

In the dream of him, he asked the Imam al-Ghazali, "Did the priest go to heaven or hell? "Heaven" replied al-Ghazali. Then, the cleric asked, "Does that cause you to go to heaven? Is it because of the many works that you write? Is it because you are diligent tahajud and other worship? Is that your defense against Islam and the triumph of the Muslims? "Al-Ghazali calmly replied," No, not because it was all I go to heaven "" And what caused you to go to heaven? "Asked the priest with great curiosity. Al-Gazali also explained, that he entered the heaven by Allah, because during his life, when al-Ghazali wrote the book, there are thirsty to drink the ink fly, without the knowledge of al-Gahzali. Because the goodness to let fly thirsty to drink ink, although he did not know, God put it into heaven. This is because the ink was thirsty fly drunk, given by al-Gazali accidentally genuinely to the fly. So righteous deeds seem trivial if done genuinely meant it in the eyes of God. And can cause a person to enter heaven.

There is also a story about the deeds that seem trivial but it can cause a person to go to hell. Previously there was supposedly a diligent prayer, fasting and worship others. These people take cooking in the kitchen. Without deliberately and without his knowledge, there is a cat locked in the kitchen, can not open, until the cat died. As a result of this trivial carelessness, the person is rejected in heaven. And Allaah knows best bi al-shawab. (AM)

TESTING WITH A SENSE SHARPNESS RAMADHAN

In the middle of Ramadan this way, have we - a little fun - ask about the purpose of fasting; what was obtained from fasting ritual?

Normatively, the purpose of human life is to serve God in order to achieve His pleasure, which is expressed in a polite manner, friendly, respectful and loving to others in life everyday, in any scale (social, economic, cultural, political and religious ). Long journey toward pleasure and self-restraint is very far and exhausting for the count ditapaki space (locus) and time (tempus) for men. The accumulation of human life is too short to reach it. Thus, it is necessary tactic and strategy, ie the time that allow efficient human-to transcendence transcendence (jumps).

One form of transcendence that is a decision to distance himself (self) and the earth. And fasting is making the distance itself. Fasting is worship temporal, which carried out a month in a year, starting from dawn and lasts until the drum maghrib.

The fast is a neutral worship. Fasting oriented perpetrators brought to the truth or otherwise, that is only 30 days of hunger and thirst story every day. Nothing more than that. Therefore, it is not necessarily if fasting really cautious to make the perpetrators, unless shoim (actor fasting) has intentions and goals correct first. Without the intention and purpose of the right, which gained only realities that naive. That is, as we witnessed during this, the anarchic religious attitudes, ways of worship that picky, half-half, the behavior of associating with people who want to win themselves, ethics in politics that justifies all means, the condescending attitude bersosial others (the other), berekonomi a greedy way, without calculation, how cultured without charge once sema value (meaningless).

This is not a "fruit" of fasting. This is all a result of fasting menginternalnya not in us, so that could not embodied in the behavior and attitude everyday. Perhaps from here, what the Prophet Muhammad said as a criticism of his people became a reality, namely that "many of my people are fasting, but they did not get anything except hunger and thirst" (Thurs shoimin laisa min shiyaihi illa lahu min l-juu 'wal Athos).

Human beings will not absorb and realize the value of anything without before he was willing to take a distance with him. Fasting is worship in order to take distance from the self (self-distance) and the earth. And, this is - to borrow a phrase Risang Miranda Ayu - penghangusan ego, so that the bow is not only the forehead, but also the soul, heart and consciousness. That way we can realize the value of self (self-knowing and controlling) and the value of natural resources, as the field operations. This is where training begins to hone the sharpness of taste. Fasting means to stop serving the demands of soul and body in a certain time and stop draining the earth. Here, shoim (actor fasting) will know how weak he was and how high the value of natural resources (earth) for the growth of human energy.

Without fasting, humans will never honed his sense of discernment when he was weak. Thus, no wonder, if humans are often stuck out his chest and was higher than everything that exists in this world. This causes no human constantly exploit other human beings or deplete the earth regardless of the contents of consequences far forward (greedy). Treatments anarchic, violent and immoral finally happened: corruption, destruction, bombings, illegal logging, exploitation of resources of the earth without the maintenance calculation and ecological balance, and so on. Here, for Asghar Ali Engineer - in his book On Deveolping Theology of Peace - to be sensitive is the subject of worship. Fasting means to make someone be sensitive (sensitive), because only a sensitive soul who can deal with and against untruth and injustice.

Awareness to know and feel themselves weak (dhaif) will provide lessons and guidance for shoim not mendholimi, persecute and abandoning others, but instead provides a good treatment and any form of fun. Hence, in this Ramadan are encouraged to, for example to shadaqoh, good works, to avoid conflict; if invited others to the conflict - as the Prophet - said to him that inni shoimun (I was fasting).

So is the treatment to the universe. Use of natural resources is necessary, without exaggeration, let alone filled up Hide scarcity, as the fact that we have seen so far, and then preserve and care for our children and grandchildren to come. Is not the essence of nature is the legacy of our children and grandchildren? Therefore, in this holy month, Muslims were ordered out of the staple food alms from the results of this earth (zakat Al-Fitr) to be given to those who are eligible.

According to Muhammad Zuhri - one an expert on Sufism - transcendence that occurs when people within the self and nature is that they are in "communicative situation" with God. Or, in other words, they already have the feasibility to dialogue with him. Perhaps this is where - what people often call it - has got Laylat al-Qadr.

Communicative situation is indeed a basic human need as the caliph of God, so that people know exactly what is the will of God by reducing various kinds of "signs" or signs of good-bad, wrong-right, happy-sad, like what had been This we witnessed together. Call it a tragedy that no cease (from the tsunami, landslides, accidents, bombings, etc.). That way, the journey of life can be wisely dihikmahi without need for despair and frustration.

This is where people will actually travel to the point fitri return (Idul Fitri). An acceleration of a point of mental and spiritual development of man who is more mature. Hopefully, this time after Ramadan, we can all achieve positive expectations for good in the future. Amen.


Hamam Faizin (Alumnus Graduate IIQ Jakarta)

Will IIQ Jakarta International Seminar Held

Monday, 31 August 2009
JAKARTA - Institute of Al-Qur'an (IIQ) Jakarta will host an international seminar on the development nagham (the songs) Al-Quran on Monday, September 14, 2009. "This international seminar was held in order to improve the quality of scholarship in the field of the Qur'an's and culture. This seminar will be attended by national and international sources "said Nadjematul Faizah, as chairman of the organizing committee.
She further explained that this international seminar is one of a series of events held since 10 September 2009 date.
Regarding the seminar, Mrs. Mariah Ulfah, Qira'ah IIQ expert, stated that; "This trend now songs (nagham) of the Qur'an are currently experiencing a shift, where the current trend is to include songs from the Iranian region ". That's why later, one of the speakers who presented comes from Iran.
From the organizers also note that technically, this seminar will be held in the afternoon, so when the time comes iftar, the event finished. And then continued with the buka puasa together. (AM)

Toggle