Seberapa besar—kuat atau lemah—iman kita, maka sebatas itu pula kebahagiaan, ketentraman, kedamaian dan ketenangan kita.
Siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS an-Nahl [16] : 97)
Maksud ”kehidupan yang baik” (hayâtan thayyibah) dalam ayat ini adalah ketenangan jiwa dikarenakan janji baik Rabb mereka, keteguhan hati dalam mencintai Dzat yang menciptakan mereka, kesucian nurani dari unsur-unsur penyimpangan iman, ketenangan dalam menghadapi setiap kenyataan hidup, kerelaan hati dalam menerima dan menjalani ketentuan Allah, dan keikhlasan dalam menerima takdir.
Bersamaan dengan usaha keras disertai doa, orang beriman yang masih miskin janganlah bersedih hati. Abdul Aziz bin Rawwad rahimahullâh berkata, “Kemuliaan Allah bukan dimiliki oleh orang yang mengenakan kain sutra dan memakan roti gandum, atau dimiliki oleh orang yang mengenakan kain wol dan memakan gandum. Kemuliaan Allah dimiliki oleh orang yang ridha atas apa yang ditetapkan (takdir) Allah kepada dirinya.”
Dalam syairnya, ‘Aidh al-Qarni menasihatkan agar kita tidak banyak mengeluh dan berduka lara.
Betapa banyak kau mengeluh dan berkata tak punya apa-apa
Padahal bumi, langit dan bintang adalah milikmu
Ladang, bunga segar, bunga yang semerbak
Burung bulbul yang bernyanyi riang
Air di sekitarmu memancar berdecak
Dunia ceria kepadamu lalu mengapa kau cemberut
Dan dia tersenyum kenapa kau tidak tersenyum
Lihatlah masih ada gambar-gambar
Yang mengintip di balik embun
Seakan bicara karena indahnya
Rahmat Allah di akhirat jauh lebih banyak daripada di dunia. Nabi Muhammad saw. bersabda :
إِنَّ ِللهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ أَنْزَلَ مِنْهَا رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ وَالْبَهَائِمِ وَالْهَوَامِّ فَبِهَا يَتَعَاطَفُوْنَ وَبِهَا يَتَرَاحَمُوْنَ وَبِهَا تَعْطِفُ الْوَحْشُ عَلَى وَلَدِهَا وَأَخَّرَ اللهُ تِسْعًا وَتِسْعِيْنَ رَحْمَةً يَرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya Allah mempunyai seratus rahmat. Dia menurunkan satu rahmat kepada jin, manusia, binatang dan lainnya. Dengan satu rahmat itu mereka saling menyayangi, saling mengasihi. Dengannya binatang liar mengasihi anaknya. Allah mengakhirkan kesembilan puluh sembilan rahmat-Nya. Dengannya Dia merahmati hamba-Nya pada hari Kiamat.
(HR Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hazm pun menghibur kita agar tidak larut dalam kesedihan karena kemiskinan. Beliau bersenandung tentang kemiskinan dalam bait puisinya yang menyejukkan jiwa dan melipur lara :
Kujadikan kemiskinan sebagai pelindung diri
Tak pernah kupakai pakaian kehinaan tuk hati ini
Yang kuperoleh cukuplah sebagai pelindung diri
Dari kepongahan dan kebejatan yang menghinakan diri
Hanya agama dan harga diri yang kupedulikan
Selainnya, tak sedikit pun kuhiraukan
Mungkin kita akan berkata, “Bagaimana pun caranya, yang penting kaya dulu. Kalau sudah kaya, kan bisa sedekah, membantu fakir miskin, panti asuhan, menyumbang pembangunan masjid, sekolah, pondok pesantren dan bisa naik haji berkali-kali.”
Janganlah kita mempunyai prinsip demikian, karena kita akan cenderung menghalalkan segala cara. Kalaupun kita kaya karenanya, itu bukanlah nikmat, tapi istidrâj (dalam bahasa Jawa disebut penglulu), diberi tapi untuk dihancurkan.
Pesan Ibnu Athaillah, “Takutlah kamu dari wujud kebaikan Allah yang diberikan kepadamu, padahal kamu masih tetap bermaksiat kepada-Nya, yang kelak bisa menjadi istidrâj (membiarkan kamu bersenang-senang dalam kenikmatan itu). Sepeti firman Allah yang artinya, ‘nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui’ (QS al-A‘râf [7] : 182).”
Perlu kita ingat lagi bahwa tidak mungkin Allah menerima sedekah atau amal ibadah yang didapat dari barang haram. Bagaimana mungkin kita berwudhu menggunakan air comberan? Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib,
يَا عَلِيُّ لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ بِلاَ وُضُوْءٍ وَلاَ صَـدَقَةً مِنَ الْحَرَامِ
“Wahai Ali, Allah tidak menerima shalat tanpa wudhu dan sedekah dari barang haram.”
يَا عَلِيُّ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَلَمْ يُحِلَّ حَلاَلَهُ وَلَمْ يُحَرِّمْ حَرَامَهُ كَانَ مِنَ الَّذِيْنَ نَبَذُوْا كِتَابَ اللهِ وَرۤاءَ ظُهُوْرِهِـمْ
“Wahai Ali, siapa membaca Al-Qur’an tapi dia tidak menghalalkan apa yang dihalalkan Al-Qur’an, dan tidak mengharamkan apa diharamkan Al-Qur’an, maka dia tergolong orang-orang yang membuang Al-Qur’an ke belakang punggung mereka.”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abbas dari Anas bin Malik, disebutkan bahwa Nabi saw. bersabda :
طُوْبَى لِعَبْدٍ أَنْفَقَ مِنْ مَالٍ إِكْتَسَـبَهُ مِنْ غَيْرِ مَعْصِيَةٍ
Berbahagialah hamba yang berinfak dari harta yang diperolehnya bukan dari maksiat. (HR Ibnu ‘Addi dan al-Bazzar)
Rasululullah juga pernah bersabda tentang tubuh yang diisi dengan sesuatu yang haram :
كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ – أَيْ مِنْ حَرَامٍ – فَاالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
Setiap badan yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka adalah lebih utama baginya. (HR Tirmidzi)
Ibnu Hazm mengingatkan kita dalam bait puisinya yang menyentuh jiwa dan membakar asa :
Bersyukurlah pada Allah atas kebesaran-Nya
Ia Pemberi rejeki seluruh penghuni semesta
Baik orang Badui maupun Arab tak ada bedanya
Ia hamparkan bumi, langit, udara, laut, hujan juga
Demi kebaikan kita, janganlah kaubangkangi Ia
Sungguh, semua orang kan tanggung amalannya
Daftar Pustaka :
- ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
- Asrori al-Maghilaghi, Kyai, “Al-Bayân al-Mushaffâ fî Washiyyatil Mushthafâ”
- Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
- Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
- Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
- M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
- Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Tulisan ini lanjutan dari : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (3 of 8)
Tulisan ini berlanjut ke : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (5 of 8)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#