Friday, January 8, 2010

Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (4 of 8)

Seberapa besar—kuat atau lemah—iman kita, maka sebatas itu pula kebahagiaan, ketentraman, kedamaian dan ketenangan kita.


Siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS an-Nahl [16] : 97)


Maksud ”kehidupan yang baik” (hayâtan thayyibah) dalam ayat ini adalah ketenangan jiwa dikarenakan janji baik Rabb mereka, keteguhan hati dalam mencintai Dzat yang menciptakan mereka, kesucian nurani dari unsur-unsur penyimpangan iman, ketenangan dalam menghadapi setiap kenyataan hidup, kerelaan hati dalam menerima dan menjalani ketentuan Allah, dan keikhlasan dalam menerima takdir.


Bersamaan dengan usaha keras disertai doa, orang beriman yang masih miskin janganlah bersedih hati. Abdul Aziz bin Rawwad rahimahullâh berkata, “Kemuliaan Allah bukan dimiliki oleh orang yang mengenakan kain sutra dan memakan roti gandum, atau dimiliki oleh orang yang mengenakan kain wol dan memakan gandum. Kemuliaan Allah dimiliki oleh orang yang ridha atas apa yang ditetapkan (takdir) Allah kepada dirinya.”


Dalam syairnya, ‘Aidh al-Qarni menasihatkan agar kita tidak banyak mengeluh dan berduka lara.


Betapa banyak kau mengeluh dan berkata tak punya apa-apa
Padahal bumi, langit dan bintang adalah milikmu
Ladang, bunga segar, bunga yang semerbak
Burung bulbul yang bernyanyi riang
Air di sekitarmu memancar berdecak

Dunia ceria kepadamu lalu mengapa kau cemberut
Dan dia tersenyum kenapa kau tidak tersenyum
Lihatlah masih ada gambar-gambar
Yang mengintip di balik embun
Seakan bicara karena indahnya


Rahmat Allah di akhirat jauh lebih banyak daripada di dunia. Nabi Muhammad saw. bersabda :


إِنَّ ِللهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ أَنْزَلَ مِنْهَا رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ وَالْبَهَائِمِ وَالْهَوَامِّ فَبِهَا يَتَعَاطَفُوْنَ وَبِهَا يَتَرَاحَمُوْنَ وَبِهَا تَعْطِفُ الْوَحْشُ عَلَى وَلَدِهَا وَأَخَّرَ اللهُ تِسْعًا وَتِسْعِيْنَ رَحْمَةً يَرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sesungguhnya Allah mempunyai seratus rahmat. Dia menurunkan satu rahmat kepada jin, manusia, binatang dan lainnya. Dengan satu rahmat itu mereka saling menyayangi, saling mengasihi. Dengannya binatang liar mengasihi anaknya. Allah mengakhirkan kesembilan puluh sembilan rahmat-Nya. Dengannya Dia merahmati hamba-Nya pada hari Kiamat.
(HR Bukhari dan Muslim)


Ibnu Hazm pun menghibur kita agar tidak larut dalam kesedihan karena kemiskinan. Beliau bersenandung tentang kemiskinan dalam bait puisinya yang menyejukkan jiwa dan melipur lara :


Kujadikan kemiskinan sebagai pelindung diri
Tak pernah kupakai pakaian kehinaan tuk hati ini
Yang kuperoleh cukuplah sebagai pelindung diri
Dari kepongahan dan kebejatan yang menghinakan diri
Hanya agama dan harga diri yang kupedulikan
Selainnya, tak sedikit pun kuhiraukan


Mungkin kita akan berkata, “Bagaimana pun caranya, yang penting kaya dulu. Kalau sudah kaya, kan bisa sedekah, membantu fakir miskin, panti asuhan, menyumbang pembangunan masjid, sekolah, pondok pesantren dan bisa naik haji berkali-kali.”


Janganlah kita mempunyai prinsip demikian, karena kita akan cenderung menghalalkan segala cara. Kalaupun kita kaya karenanya, itu bukanlah nikmat, tapi istidrâj (dalam bahasa Jawa disebut penglulu), diberi tapi untuk dihancurkan.


Pesan Ibnu Athaillah, “Takutlah kamu dari wujud kebaikan Allah yang diberikan kepadamu, padahal kamu masih tetap bermaksiat kepada-Nya, yang kelak bisa menjadi istidrâj (membiarkan kamu bersenang-senang dalam kenikmatan itu). Sepeti firman Allah yang artinya, ‘nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui’ (QS al-A‘râf [7] : 182).”


Perlu kita ingat lagi bahwa tidak mungkin Allah menerima sedekah atau amal ibadah yang didapat dari barang haram. Bagaimana mungkin kita berwudhu menggunakan air comberan? Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib,


يَا عَلِيُّ لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ بِلاَ وُضُوْءٍ وَلاَ صَـدَقَةً مِنَ الْحَرَامِ

“Wahai Ali, Allah tidak menerima shalat tanpa wudhu dan sedekah dari barang haram.”


يَا عَلِيُّ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَلَمْ يُحِلَّ حَلاَلَهُ وَلَمْ يُحَرِّمْ حَرَامَهُ كَانَ مِنَ الَّذِيْنَ نَبَذُوْا كِتَابَ اللهِ وَرۤاءَ ظُهُوْرِهِـمْ

“Wahai Ali, siapa membaca Al-Qur’an tapi dia tidak menghalalkan apa yang dihalalkan Al-Qur’an, dan tidak mengharamkan apa diharamkan Al-Qur’an, maka dia tergolong orang-orang yang membuang Al-Qur’an ke belakang punggung mereka.”


Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abbas dari Anas bin Malik, disebutkan bahwa Nabi saw. bersabda :


طُوْبَى لِعَبْدٍ أَنْفَقَ مِنْ مَالٍ إِكْتَسَـبَهُ مِنْ غَيْرِ مَعْصِيَةٍ

Berbahagialah hamba yang berinfak dari harta yang diperolehnya bukan dari maksiat. (HR Ibnu ‘Addi dan al-Bazzar)


Rasululullah juga pernah bersabda tentang tubuh yang diisi dengan sesuatu yang haram :


كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ – أَيْ مِنْ حَرَامٍ – فَاالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Setiap badan yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka adalah lebih utama baginya. (HR Tirmidzi)


Ibnu Hazm mengingatkan kita dalam bait puisinya yang menyentuh jiwa dan membakar asa :


Bersyukurlah pada Allah atas kebesaran-Nya
Ia Pemberi rejeki seluruh penghuni semesta
Baik orang Badui maupun Arab tak ada bedanya
Ia hamparkan bumi, langit, udara, laut, hujan juga
Demi kebaikan kita, janganlah kaubangkangi Ia
Sungguh, semua orang kan tanggung amalannya


Daftar Pustaka :

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • Asrori al-Maghilaghi, Kyai, “Al-Bayân al-Mushaffâ fî Washiyyatil Mushthafâ”
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini lanjutan dari : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (3 of 8)
Tulisan ini berlanjut ke : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (5 of 8)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Thursday, January 7, 2010

Syeikh Al-Albani Di Usia 84 tahun

Dalam kitab Sahih Mawarid Az-Zam’an ila Zawaid Ibnu Hibban (2087) dalam pembahasan hadis Abu Hurairah radiallahu ‘anhu dimana disebutkan bahawa Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam berkata:
أعمار أمتي ما بين الستين إلى السبيعين ، وأقلهم من يجوز ذلك

“Umur umatku antara 60 sampai 70 tahun, kecuali sedikit dari mereka yang usianya lebih dari itu”.

Ibnu Arafah mengulas hadis ini dengan berkata: "Saya termasuk yang sedikit tersebut". Syeikh Al-Albani turut mengulas atas ucapan ini dengan menuliskan dalam tahqiqnya, sebagai berikut:

Dan saya pun termasuk yang sedikit tersebut. Saat ini usiaku sudah mencapai 84 tahun. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Taala menjadikanku termasuk golongan orang yang panjang umurnya dan baik amalannya.

Bersamaan dengan itu pula, sesungguhnya aku pun terkadang mengharapkan kematian, terlebih jika melihat kaum muslimin banyak menyimpang dari agamanya dan tertimpa kehinaan sehingga menjadi umat yang direndahkan. Akan tetapi terlarang berharap demikian,dan hadist Anas masih aku ingat sejak aku masih muda. Maka tidaklah bagiku kecuali mengatakan apa yang diperintahkan Nabi padaku salallahu ‘alaihi wasalam :

اللهم أحيني ما كانت الحياة خيرا لي وتوفني إذا كانت الوفاة خيرا لي

“Ya Allah hidupkan aku selama kehidupanku lebih baik bagiku dan wafatkanlah aku jikalau kematian itu baik bagiku.”

Serta berdoa dengan apa yang diajarkan kepadaku oleh Nabi ‘alaihi solatu wasalam:

اللهم متعنا بأسماعنا وأبصارنا وقوتنا ما أحييتنا ، واجعلها الوارث منا

“Ya Allah jadikan pendengaran dan penglihatanku senantiasa sihat dan kuatkanlah seluruh anggota badanku, kemudian jadikanlah itu semua tetap seperti itu hingga tibanya kematian”.

Dan Allah Subhanahu wa Taala telah mengabulkan doa ini padaku dan sungguh aku dapat menikmati itu semua (isi doa diatas). Inilah saya yang sampai usia sekarang ini masih giat membahas dan meneliti serta menulis dengan giat, saya pun solat sunnah dengan berdiri, saya juga membawa kenderaan sendiri dalam perjalanan yang jauh, juga membawa dengan “ngebut” sampai-sampai sebahagian pelajar sering menyarankanku untuk tidak berbuat demikian. Menurut saya dalam masalah membawa kenderaan dengan laju ini perlu dirinci hukumnya sebagaimana juga telah diketahui oleh mereka. Saya ceritakan demikian ini sebagai wujud dari firman Allah:

“Dan terhadap nikmat Rabbmu hendaklah kamu menyebut-nyebutnya” (Ad-Dhuha ayat 11)

Dengan senantiasa berharap agar Allah Subhanahu wa Taala menambahkan kurnianya kepadaku dan menjadikan nikmat ini tidak dicabut hingga kematian tiba, serta mewafatkanku sebagai muslim diatas sunnah yang aku telah bernazar untuk itu kehidupanku adalah dakwah dan menulis. Juga semoga Allah mengumpulkanku kelak dengan para syuhada dan orang-orang soleh sebagai sebaik-baik teman. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi menjawab doa.

Tuesday, January 5, 2010

Kemuliaan Jenazah Para Ulama'

Jenazah Imam Ahmad bin Hanbal

Pada hari wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal, tak sedikit mereka yang turut menghantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya.

Semuanya menunjukkan bahawa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menujukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sihat, "Katakan kepada ahlu bid'ah bahawa perbezaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami."

Jenazah Imam Bukhari

Ghalib bin Jibril berkata: “Kami telah menunaikan pesanannya (Imam Bukhari), sudah mengafaninya, kemudian menyolatkannya, barulah kami memasukkannya ke dalam liang lahad. Sejurus itu terdapat bau yang amat wangi seperti ‘Misk’ terbesar dari tanah perkuburannya dan ia berterusan beberapa hari.”

Jenazah Tok Kenali

Di tengah-tengah suasana yang sepi, berduyun-duyun manusia yang berwajah sebam, hampir semuanya berkopiah, berserban dan bersongkok telah memasuki saf untuk mensolatkan jenazah Tok Kenali. Mereka kelihatan penuh khusyuk dan insaf.

Bersaf-saf orang mengangkat takbir, susul-menyusul. Alim ulama, guru-guru dan murid serta orang kampong tua-muda datang bersolat tanpa meminta upah dan habuan, demi untuk kebahagiaan roh Tok Kenali buat selama-lamanya. Orang-orang besar dan berpangkat dari ibukota, tidak juga ketinggalan.

Hari wafatnya dilawati oleh tidak kurang daripada 2,500 orang dan jenazahnya disolatkan lebih 1,000 orang yang ikhlas kepada Allah.

Tok Kenali wafat pada 19 November 1933 M

Jenazah Badiuzzaman Said Nursi

Pertama kali berita duka wafatnya Badiuzzaman Said Nursi, tersebar di Urfah dan tidak lama kemudian masyarakat kota ini tampak berhimpun di sekitar hotel. Kemudian berita ini tersebar di bandar-bandar Turki yang lain. Masyarakat luas dari luar Urfah berdatangan sehingga kota ini seketika menjadi lautan manusia yang ingin memberikan penghormatan terakhir kepada pahlawannya.

Jenazah Said Nursi dipikul para murid dan orang-orang yang mencintainya dengan diiringkan oleh puluhan ribu penghantar jenazah dan dengan disertai hujan yang turun rintik-rintik untuk dikebumikan di pemakaman Ulu Jami.

Said Nursi wafat pada 23 Mac 1960.

Jenazah Syeikh Mutawalli Sya'rawi

Umat Islam ketika itu terkejut dan tersentak apabila seorang Imam yang memperjuangkan Islam sehingga digelar sebagai "Lampu Kebenaran" telah wafat ketika berumur 87 tahun. Iaitu Syeikh Mutawalli Sya'rawi.

Jenazah beliau telah dikebumikan di kampungnya iaitu Doqdus berdasarkan wasiat beliau sendiri. Jenazahnya telah dibawa oleh anak-anak muridnya, penduduk kampung serta semua pencinta beliau. Hampir sejuta orang telah menghadiri pengkebumian beliau.

Syeikh Sya'rawi wafat pada 17 Jun 1998.

Jenazah Syeikh Abdul Aziz bin Baz

Pada hari wafatnya Syeikh Abdul Aziz bin Baz, seramai 50,000 orang telah menghadiri upacara pengkebumian beliau. Semoga Allah SWT merahmati beliau. Amin.

Syeikh Abdul Aziz wafat pada 13 Mei 1999.

Jenazah Syeikh Al-Albani

Sesaat setelah wafatnya Syeikh Al-Albani, jenazah beliau dipersiapkan untuk segera dimakamkan sesuai dengan amanatnya dalam surat wasiat yang telah ditulisnya sejak sepuluh tahun sebelum wafatnya.

Selepas solat isyak pada malam itu juga, jenazah beliau disolatkan oleh kurang lima ribu orang, diimami oleh Syeikh Muhammad Ibrahim Syuqrah kemudian dengan berjalan kaki, mereka membawa jenazahnya untuk dimakamkan di pemakaman terdekat.

Syeikh Al-Albani wafat pada 2 Oktober 1999.

Jenazah Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pada hari wafatnya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, seramai 500,000 orang telah menghadiri upacara pengkebumian beliau. Semoga Allah SWT merahmati beliau. Amin.

Syeikh Muhammad wafat pada 10 Januari 2001.

Jenazah Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki

Pada hari wafatnya Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, hampir 300,000 manusia membanjiri upacara pengebumiannya. Semua orang menangis dan sangat bersedih. Ia merupakan satu situasi yang tidak dapat dilupakan. Allahu Akbar.

Terdapat sekurang-kurangnya 500 orang tentera diperintah oleh kerajaan Arab Saudi di perkuburan Ma’ala untuk mengawal ribuan orang yang menangisinya. Kerabat diraja juga turut hadir. Para manusia menempikkan Kalimah dengan kuat sepanjang uapcara pengebumian beliau, memenuhi Makkah dari Masjidil Haram sehingga ke tanah perkuburan.

Sayyid Muhammad wafat pada 29 Oktober 2004.

M.A.Uswah,
5 Januari 2010,
Sandakan.

Dikemaskini semula dari:
Lembaran Hidup Ulama' karyaku dan tambahan lainnya.





Sunday, January 3, 2010

Candanya Para Ulama' (Syeikh Al-Albani, Syeikh Ibnu Baz & Syeikh Ibnu Utsaimin)

1. Ada seorang pemuda penuntut ilmu pernah naik kenderaan bersama Syeikh Al-Abani rahimahullah. Syeikh Al-Abani membawa kenderaannya dengan kelajuan yang tinggi. Melihatnya, maka pemuda itupun menegur: "Wahai syeikh, ini namanya ‘ngebut’ dan hukumnya tidak boleh. “Syeikh Ibnu Baz mengatakan bahawa hal ini termasuk menjerumuskan diri dalam kebinasaan. Mendengarnya, Syeikh Al-Albani rahimahullah tertawa lalu berkata: "Ini adalah fatwa seseorang yang tidak merasakan nikmatnya membawa kenderaan!.” Pemuda itu berkata: “Syeikh, akan saya laporkan hal ini kepada Syeikh Abdul Aziz bin Baz.” Jawab Syeikh Al-Abani: ”Silakan, laporkan saja.”

Pemuda itu melanjutkan ceritanya: “Suatu saat, saya bertemu dengan Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah di Makkah maka saya laporkan dialog saya dengan Syeikh Al-Abani rahimahullah tersebut kepada beliau. Mendengarnya, beliau juga tertawa seraya berkata: ‘Katakan padanya: "Ini adalah fatwa seseorang yang belum merasakan enaknya terkena denda!” (Al-Imam Ibnu Baz, Abdul Aziz as-Shadan hlm.73)

2. Diceritakan bahawa suatu ketika Raja Khalid rahimahullah mengunjungi rumah Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, sebagaimana kebiasaan para raja sebagai sikap menghormati dan memuliakan para ulama. Dan ketika sang Raja melihat rumah syeikh yang sangat sederhana maka raja menawarkan kepada syeikh untuk
dibangunkan sebuah rumah untuk beliau, syeikh berterima kasih dan berkata: "Saya sedang membangun rumah di daerah As-Salihiyah (wilayah Unaizah, Qasim), bagaimanapun masjidnya dan panti sosialnya membutuhkan
bantuan (dana)”

Maka setelah sang Raja pergi, beberapa orang yang ikut dalam pertemuan itu berkata: “Wahai syeikh, kami tidak mengetahui kalau anda sedang membangun rumah di As-Salihiyah?”

Maka syeikh menjawab: “Bukankah pekuburan ada di As-Salihiyah?”

(Ad-Dur Ath-Thamin Fi Tarjamti Faqihil Ummah Al-Allamah Ibn Utsaimin – p.218)

3. Ada salah seorang suami dari cucu Syeikh Ibnu Baz menemui beliau dan berkata, “Wahai Syeikh, kami ingin agar engkau mengunjungi dan makan di rumah kami”. Jawapan beliau, “Tidak masalah, jika engkau menikah untuk kedua kalinya maka kami akan datang ke acara walimah insya Allah”.

Setelah pulang, orang ini bercerita kepada isterinya tentang apa yang dikatakan oleh datuknya. Kontan saja cucu perempuan dari Syeikh Ibnu Baz buru-buru menelefon datuknya. “Wahai Syeikh, apa maksudnya?”. Ibnu Baz berkata kepada cucunya, “Kami hanya guyon dengan dia. Kami tidak mengharuskannya untuk nikah lagi. Kami akan berkunjung ke rumahmu meski tidak ada acara pernikahan”. (www.ustadzaris.com)

4. Abdullah bin Ali Al-Matawwu’ menceritakan bahawa dia menemani Syeikh Ibnu Utsaimin (dari Unaizah) menuju Al-Bada-i yang jaraknya 15 km dari Unaizah untuk memenuhi undangan makan pagi.

Setelah makan pagi, ketika mereka dalam perjalanan pulang mereka melihat seorang dengan janggut berwarna merah (mungkin dicelup dengan hinna) dengan wajah tenang melambaikan tangan (mencari tumpangan).

Syeikh berkata: “Perlahanlah! Kita akan mengajaknya bersama kita”

Maka syeikh berkata kepada orang itu: “Engkau mahu kemana?”

Orang itu menjawab: “Ajak aku bersama kalian ke Unaizah”

Syeikh berkata: “Dengan dua syarat, pertama engkau tidak boleh merokok, kedua engkau harus mengingat Allah”

Orang itu menjawab: “Masalah rokok, aku tidak merokok, walaupun tadi aku menumpang seseorang yang merokok dan (kerana itu) aku minta diturunkan disini dan tentang mengingat Allah maka tidak ada muslim kecuali diamengingat Allah”

Maka orang itu naik ke kenderaan.

(Terlihat jelas sepanjang perjalanan bahwa) orang itu tidak menyedari kalau dia sedang bersama Syeikh Ibnu Utsaimin. Ketika tiba di Unaizah orang itu berkata: "Tunjukkan padaku rumah Syeikh Ibnu Utsaimin, kerana aku punya pertanyaan yang ingin aku tanyakan pada beliau.”

Maka Syeikh berkata:”Kenapa tidak engkau tanyakan pada beliau ketika engkau bertemu dengan beliau di Al-Bada-i?”

Orang itu berkata: "Aku tidak bertemu dengan beliau”

Syeikh berkata: "Aku melihat sendiri engkau berbicara dengan beliau dan memberi salam kepadanya”

Orang itu berkata: "Engkau mempermainkan orang yang lebih tua dari orang tuamu!”

Syeikh tersenyum dan berkata kepadanya:”Solat Asarlah di masjid ini (Jami’ Unaizah) nanti engkau akan melihat beliau”

Orang itu pergi tanpa mengetahui bahawa tadi dia sedang berbicara dengan Syeikh Ibnu Utsaimin sendiri.

Setelah dia selesai solat Ashr, orang itu melihat syeikh didepan selesai mengimami solat jamaah, maka dia bertanya (pada orang lain) tentang beliau dan diberitahukan kepadanya bahawa syeikh itu adalah Syeikh Ibnu Utsaimin. Maka orang itu mendekati syeikh dan meminta maaf kerana tidak mengenali beliau tadi (diperjalanan), kemudian dia menyampaikan pertanyaannya. Syeikh pun menjawab pertanyannya dan orang itu mulai menangis memohon kepada syeikh.

(Al-Jami’ li Hayaat Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin – p.38)

5. Jika ada seorang yang berkunjung ke rumah Syeikh Ibnu Baz rahimahullah, maka beliau pasti menawari orang tersebut untuk turut makan malam bersama beliau. Jika orang tersebut beralasan, “Wahai syeikh, saya tidak bisa” maka dengan nama berkelakar Ibnu Baz berkata, “Engkau takut dengan isterimu ya?! Marilah makan malam bersama kami”. (www.ustadzaris.com)

6. Dalam pelajaran fiqh, ketika membahas tentang cacat di dalam pernikahan, seorang murid bertanya kepada Syeikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah : “Wahai syeikh, bagaimana seandainya ada seorang lelaki menikah, ternyata setelah itu diketahui isterinya tidak punya gigi, bolehkah dia mencerainya?”

Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab : “Itu isteri yang sangat istimewa! Kerana dia tidak muungkin dapat menggigitmu!” (Majalah al-Furqon)

7. Ketika Syeikh Ibnu Baz rahimahullah hendak rakaman untuk acara Nurun ‘ala Darb (acara tanya jawab di radio al-Quran al-Karim di Saudi), biasanya beliau melepaskan kain serbannya dan dengan nada canda beliau berkata, “Siapa yang mahu memikul amanah?”. Jika ada salah seorang yang ada di tempat tersebut mengatakan, “Saya” maka beliau berkata, “Silakan ambil”. (www.ustadzaris.com)

8. Seseorang bertanya kepada Syeikh Utsaimin rahimahullah: “Ada sebuah hadis mengatakan : ‘Tidak ada pertaruhan dalam perlumbaan kecuali lumba panah atau unta atau kuda’. Apa pendapat anda mengenai orang yang menyelenggarakan lumba untuk ayam dan merpati?”

Beliau menjawab: “Wallahi- Ya akhi- Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam berkata “Tidak ada pertaruhan dalam perlumbaan kecuali lumba panah atau onta atau kuda”.”As-Sabaq” disini bermakna “Al-’audh”(mengganti). Kerana hal-hal ini membantu dalam kondisi peperangan. Kerana ada faedah (manfaat) darinya. Pembuat syariat membolehkan berlumba pada hal tersebut. Apabila ayammu bisa membantumu dalam peperangan bisa kau tunggani, meninju (melompat) dan menggali... maka tidak mengapa, jika tidak maka jangan…”
(Liqo Bab Al-Maftuh pertanyaan ketiga, kaset No.200)

9. Seseorang bertanya kepada Syeikh Utsaimin rahimahullah: “Apa hukum menggantungkan doa-doa di kenderaan seperti doa menaiki kendaraan atau safar dan lain sebagainya. Apa jawapan bagi yang berkata bahawa hal tersebut termasuk tamimah?”

Beliau menjawab: “Termasuk tamimah (jimat)? Saya katakan terhadap orang yang berkata bahawa hal ini tergolong tamimah: Sungguh telah benar, apabila kenderaannya sakit! Digantungkan doa-doa ini di mobilnya bukan di penumpangnya dan diletakkan di mobilnya juga baik kerana bisa mengingatkan penumpang dengan doa menaiki kendaraan. Atau dengan doa safar. Semua yang bisa membantu kebaikan maka hal itu baik.Saya tidak memandang menggantungknnya tidak boleh. Ini bukan termasuk tamimah kecuali sebagaimana saya katakan tadi : Jika mobilnya sedang sakit, kemudian digantungkannya doa-doa ini kemudian sembuh dengan izin Allah!! Oleh kerananya perkara ini baik-baik saja!

(Liqo As-Syahri, kaset No.9 Side B)

10. Diceritakan oleh Ihsan bin Muhammad Al-Utaybi: Setelah selesai solat di Masjidil Haram al-Makki, Syeikh Ibnu Utsaimin meninggalkan al-Haram untuk pergi ke suatu tempat dengan mobil, maka beliau menghentikan sebuah teksi dan menaikinya. Dalam perjalanan, sang pemandu ingin berkenalan dengan penumpangnya, maka dia menanyakan:”(Nama) anda siapa wahai syeikh?”

Syeikh menjawab:”Muhammad bin Utsaimin”

Dengan terkejut sang pemandu bertanya:”Syeikh Ibnu Utsaimin?” kerana mengira syeikh berbohong kepadanya, sebab dia tidak menyangka seorang seperti syeikh Ibnu Utsaimin akan menjadi penumpang teksinya.

Maka syeikh menjawab:”Ya, Asy-Syeikh”

Pemandu teksi memusing kepalanya untuk melihat wajah Asy-Syeikh al-Utsaimin.

Syeikh pun bertanya: "Siapakah (nama) kamu wahai saudaraku?”

Pemandu itu menjawab: "Saya Asy-Syeikh Abdul Aziz bin Baz!”

Syeikh pun tertawa dan menanyakan: "Engkau Syeikh Abdul Aziz bin Baz?!”

Pemandu teksi itu menjawab: "Ya, seperti anda Syeikh Ibnu Utsaimin”

Lalu syeikh berkata: "Tapi kan Syeikh Abdul`Aziz bin Baz buta dan beliau
tidak membawa mobil”

Seketika itu sang pemandu teksi mulai menyedari bahawa penumpang yang duduk disebelahnya benar-benar Syeikh Ibnu Utsaimin. Dan sungguh kacau apa yang dia hadapi sekarang (salah tingkah).

(Safahat Musyiqah min Hayaatil Imam Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin – p.79
Ref:Al-Madinah ((Ar-Risalah)), no: 13788)

11. Diceritakan oleh Abu Khalid Abdul Karim Al-Miqrin: Ketika di studio sedang melakukan rakaman acara “Pertanyaan melalui Telefon”, seorang saudara bernama Sa’d Khamis selalu berkata kepada Syeikh Ibnu Utsaimin setiap kali selesai sesi rakaman: "Jazakallahu khairan wahai syeikh, (dan semoga) Allah mengasihi kedua orang tua anda”

(Pada kesempatan kali ini) Syeikh berkata: "Amin ya Sa’d dan untukku?”

Maka Sa’d barkata (lagi): "Semoga Allah mengasihi kedua orang tuamu”

Dan syeikh menjawab (lagi): "Amin dan untukku?”

Kemudian Sa’d Khamis menyedari apa yang dimaksud (oleh perkataan syeikh), maka dia berkata:”Semoga Allah mengasihi anda dan semoga Allah mengasihi kedua orang tua anda dan semoga Allah membalas kebaikan anda dengan sebaik-baik balasan”

Maka syeikh pun tersenyum lalu tertawa dan kita semuapun tertawa.

(Arba'ah 'asyar'aam ma'a Samahatil-Allamah Asy-Syeikh Ibnu Utsaimin – p.63)

Diterjemahkan dari bahasa Indonesia:
http://alqiyamah.wordpress.com/2009/12/18/candanya-para-ulama-syaikh-al-albani-syaikh-ibn-baz-syaikh-ibn-utsaimin-rahimahumullah

M.A.Uswah,
3 Januari 2010,
Sandakan.

Toggle