Friday, March 12, 2010

Merasa Diri Shaleh?!

Mari perhatikan lagi setiap tulisan, komentar dan ucapan kita. Kiranya bila memberi komentar, baik di internet (blog, mass media atau jejaring sosial), radio maupun percakapan dengan orang lain, akan terlihat bahwa kita termasuk orang shaleh yang senantiasa mengerjakan kebaikan. Kalau saja kita mengarsip/merekam setiap komentar yang telah lalu, maka orang lain bahkan diri kita sendiri pun akan berkesimpulan bahwa kita orang shaleh.

Mengapa ketika berkomentar, kita cenderung menunjukkan bahwa diri kita termasuk orang shaleh? Apakah memang demikian keadaannya ataukah hal itu sekadar kamuflase agar orang lain memperhatikan ucapan, tulisan atau komentar kita? Agar orang lain menganggap kita orang alim dengan segudang ilmu?

Mari kita teropong diri sendiri, tak perlu berepot ria menilai tulisan, perilaku serta tutur kata orang lain.

Mungkin kita bertanya, “Salahkah bila kita berkomentar dengan muatan sarat ilmu dan hikmah?”

Tidak ada yang salah dengan segenap tulisan maupun tutur kata yang mengandung ilmu. Semua itu baik dan memperbaiki. Namun, mari kita tanya hati nurani sendiri sesuai konsep istafti qalbak. Apakah komentar yang ada benar-benar kita niati untuk memperbaiki diri sendiri dan orang lain, ataukah hanya untuk menunjukkan bahwa kita berilmu dan berwawasan luas? Jawaban pertanyaan ini tak perlu kita ucapkan dengan lisan, cukup di dalam hati.

Untuk mengetahui keadaan diri, kita harus tahu dulu kriteria shaleh. Telah dijelaskan oleh para ulama bahwa shaleh menyangkut ritual dan sosial. Terkadang bahkan mungkin kerapkali kita hanya berusaha memenuhi salah satu kriteria, biasanya lebih mudah memenuhi kriteria shaleh ritual yang hanya berhubungan dengan Allah (hablum minallâh).

Kita rajin shalat nafilah, baca Al-Qur’an, dzikir/wirid serta ibadah sunnah lainnya, tapi lidah tak henti-henti membicarakan orang lain (ghibah), melakukan intrik tak sehat dalam “perebutan” tampuk kepemimpinan, mengolok-olok saudara sesama muslim, membuang sampah sembarangan, berkendara seenaknya di jalan dan berbagai tindakan negatif lainnya. Na‘ûdzubillâh min dzâlik

Entah mengapa hal itu kita lakukan. Apa kita belum tahu bahwa segala perbuatan menyakiti orang lain—baik secara langsung maupun tidak—dilarang agama? Apa kita mengira semua ibadah ritual kita diterima, sehingga begitu mudahnya kita menyakiti sesama dengan dalih masih lebih banyak pahala daripada dosa yang kita perbuat? Apa malaikat telah mengirim SMS atau email kepada kita tentang berita tersebut?

Ada hal yang cukup aneh kerap terjadi pula, yaitu kita menceritakan kepada orang lain tentang berbagai macam ibadah yang kita lakukan. Kita berkata kepada teman kita, “Ini bukan pamer atau sombong lho, ya… Tiap hari kalau tahajud, saya pasti menangis tersedu-sedu… Ketika banyak orang keluar rumah bahkan berpesta pora saat malam tahun baru, saya tafakkur di rumah, menangis di hadapan Allah sampai pagi menjelang…”

Apa maksud kita menceritakan semua itu? Apa kita telah melupakan keberadaan penyakit riya’ yang bisa menelusup secara samar? Apa kita lupa bahwa penyakit ini akan menggerogoti pahala kebajikan kita hingga tak bersisa?

Kita tidak pernah tahu pasti keadaan amal ibadah kita di sisi-Nya. Oleh karena itu, rajâ’ dan khawf haruslah seimbang. Rajâ’ adalah pengharapan untuk mendapat pengampunan dan rahmat Allah. Adapun khawf yaitu takut kepada Allah atau kuatir jika dosa-dosa kita tidak diampuni dan ibadah kita ditolak.

Pertanyaan yang harus diajukan kepada diri sendiri yaitu, “Apa benar kita ingin menjadi orang shaleh? Jika ya, mengapa kita masih melakukan hal yang menyakiti hati orang lain, baik langsung maupun tidak, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi?”

Menjadi shaleh merupakan dambaan setiap insan. Setiap shalat, kita senantiasa memohon kepada Allah agar menjadikan diri kita termasuk golongan orang-orang shaleh. Hal ini tersirat dalam bacaan surah al-Fâtihah yang terjemahnya :

Tunjukilah kami jalan yang lurus,

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
(QS al-Fâtihah [1]: 6-7)

Di tafsir Ibnu Katsir dijelaskan maksud “orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.”

و{الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ} هم المذكورون في سورة النساء، حيث قال: {وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا * ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيمًا}

Yang dimaksud “orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka” yaitu sebagaimana tercantum di surah an-Nisâ’ [4]: 69-70 yang artinya:

Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.


Dengan demikian, nyatalah bahwa kita sangat berharap menjadi orang shaleh. Minimal 17x sehari—dalam 17 rakaat—kita memohon kepada-Nya, belum lagi bila ditambah shalat-shalat sunnah.

Lalu, mengapa sikap, tingkah laku serta tutur kata kita masih mencerminkan sikap kurang/tidak shaleh, entah shaleh ritual ataupun sosial? Bukankah lucu bila kita berdoa agar menjadi orang shaleh tapi perilaku sehari-hari tidak mencerminkan hal itu? Adakah kita hendak bermain-main dengan doa kita? Adakah kita hendak mengelabui Allah, manis di bibir tapi lain di kenyataan? Semoga keadaan kita seperti itu bukanlah kehendak untuk mempermainkan Allah, tapi semata-mata karena kelemahan kita.

Begitu mulianya orang-orang shaleh, sampai-sampai mereka didoakan saat tahiyyat dalam setiap shalat.


السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ

Semoga keselamatan tetap atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shaleh. (HR Bukhari-Muslim)

Tidakkah kita perhatikan bagaimana doa seluruh umat Islam dicurahkan untuk orang-orang shaleh? Tidakkah kita ingin didoakan oleh segenap kaum muslim di seluruh penjuru dunia? Tidakkah kita berbahagia bila nama kita tertulis di jajaran orang-orang yang dimohonkan keselamatan oleh setiap mushalliy (orang yang shalat)?

Sebagai penutup, mari bersama-sama bermunajat kepada Allah:


اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ

Ya Allah jadikanlah hamba termasuk golongan orang yang suka bertaubat dan bersuci serta golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh, amin.


Daftar Pustaka :

  • Bahrun Abu Bakar, Lc, dan Anwar Abu Bakar, Lc, “Khasiat Zikir dan Doa – Terjemah Kitab Al-Adzkaarun Nawawiyyah”, Penerbit Sinar Baru Algensindo, Cetakan I : Rabiul Awal 1416/Agustus 1995
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Thursday, March 11, 2010

Wafatnya Syeikh Sayyid Tantawi (Beserta Profilnya)

Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.

Syeikhul Azhar, Syeikh Muhammad Sayyid Tantawi rahimahullah menghembuskan nafasnya yang terakhir di Riyadh, Arab Saudi ketika usianya 82 tahun. Beliau wafat pada pagi hari ini (Rabu) 10 Mac 2010 akibat serangan jantung sebagaimana yang dilaporkan akhbar-akhbar. Tujuan beliau ke Riyadh ialah untuk menghadiri majlis Anugerah Al-Malik Faisal. Ketika di Lapangan Terbang Antarabangsa Al-Malik Khalid, Riyadh, beliau diserang sakit jantung secara tiba-tiba sedangkan sebelum itu beliau berada dalam keadaan sihat. Ketika itu, beliau dalam perjalanan pulang ke Kaherah. Beliau kemudiannya dibawa ke hospital dan menghembuskan nafasnya yang terakhir di sana.

Anak lelakinya, Amru Muhammad Sayyid Tantawi berkata, persetujuan telah dicapai bahawa ayahnya akan dikebumikan di Tanah Perkuburan Baqi' di Madinah Al-Munawwarah.

Profil Syeikh Muhammad Sayyid Tantawi rahimahullah

Syeikh Muhammad Sayyid Tantawi dilahirkan pada bulan Oktober tahun 1928 di Kampung Salim As-Syarqiyyah di Muhafazah Sohaj di So'id Misr. Beliau menghafaz Al-Quran dan belajar di Iskandariah/Alexandaria, Mesir.

Memperoleh PhD dalam bidang Hadith dan Tafsir pada tahun 1966 dengan pangkat Mumtaz (cemerlang). Berkhidmat sebagai tenaga pengajar di Kuliah Usuluddin, kemudian beliau mengajar di Libya selama 4 tahun dan di Madinah Al-Munawwarah pula sebagai Dekan Kuliyyah Ad-Dirasat Al-'Ulya di Universiti Islam Madinah. Kemudian, beliau pulang semula ke Kaherah.

Pada 28 Oktober 1986, beliau dilantik menjadi Mufti Kerajaan Negara Mesir. Pada tahun 1996, beliau dilantik menjadi Syeikhul Azhar.

Beliau merupakan salah seorang di kalangan ulama terbilang di Al-Azhar yg mahir dalam bidang Tafsir dan mempunyai karya-karya penulisan yang bermutu.

Peribadinya

Syeikh Sayyid Tantawi walaupun seorang yang berkedudukan tinggi di dalam kerajaan Mesir, namun sedikit pun tidak memberikan kesan kepada kehidupannya. Malah terkenal sebagai seorang yang zuhud, tenang dan sejuk mata memandang. Butir-butir kalam yang keluar daripada beliau mampu menusuk ke jiwa sanubari sesiapa yang ingin memahaminya.

Syeikh Sayyid Tantawi merupakan seorang yang sangat kuat membaca dan terlalu asyik jika membaca, sehingga diceritakan beliau terpaksa menyuruh salah seorang pembantunya untuk menunggu dan mengingatkan kepada beliau bilamana waktu solat telah masuk, bimbang terlepas waktu solat. Ini kerana jika beliau mula membaca pada awal pagi, maka beliau hanya akan tamat membaca jika telah masuk waktu Zohor. Ini adalah rutin kehidupan beliau.

Bilamana meneliti kehidupan beliau, seolah-olah terpancar sinar para ulama terdahulu yang terlalu asyik dan masyuk ketika membaca. Kisah Imam Isnawi rahimahullah yang membaca bermula selepas Isyak sehinggalah terlepas solat Subuh hanya kerana terlalu asyik membaca dan menulis sehingga tidak sedar bahawa matahari semakin meninggi. Beliau hanya menyedari bahawa subuh telah tamat bilamana cahaya matahari memancar ke wajahnya. Masya Allah, begitu asyik sekali membaca seolah-olah tidak menyedari apa yang berlaku di sekelilingnya. Berbeza dengan sikap 'pewaris para ulama' sekarang, lebih banyak tidur daripada membaca. Apa yang berlaku kepada kita, adalah sebalik daripada cerita Imam Isnawi rahimahullah dan Imam Tantawi rahimahullah.

Karya-karyanya

- Bani Israel fi Al-Quran wa As-Sunnah (1969)

- At-Tafsir Al-Wasit li Al-Quran Al-Karim (1972)
- Al-Qissah fi Al-Quran Al-Karim (1990)
- Muamalat Al-Bunuk wa Ahkamuha As-Syar'iyyah (1991)


Kontroversi Semasa Hidupnya

Memang tidak dinafikan Syeikh Tantawi rahimahullah pernah mengeluarkan fatwa yang kelihatan kontroversi tetapi mungkin fatwa itu dikeluarkan atas faktor-faktor tertentu yang tidak kita ketahui. Maka, lebih selamat jika kita serahkan urusan-urusan sebegini kepada mereka yang layak dan tahanlah lidah kita daripada mengecam serta mencerca para ulama.

Berkata Ibnu Asakir:

"Sesungguhnya daging para ulama itu beracun.
"

Daripada Ibnu Umar ra, sabda Rasulullah saw:

"Sebutlah kebaikan-kebaikan orang-orang yang mati di kalangan kamu dan tahanlah (diri kamu) daripada menyebut kesalahan-kesalahan mereka."


(Riwayat Imam Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Hibban, At-Tabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Al-Baghawi)

Semoga Allah menempatkan beliau bersama para anbiya dan solihin. Amin.

Rujukan:
http://lamanulama.blogspot.com/2010/03/syeikhul-azhar-syeikh-tantawi-kembali.html
http://nazrulnasir.blogspot.com/2010/03/belasungkawa-syaikhuna-al-allamah.html

Toggle