Friday, February 12, 2010

Buat Apa Kita Hidup? (1 of 4)

Beragam pertanyaan diajukan tentang hidup. Pertanyaan ini tetap saja ada, hanya dari orang yang berbeda atau penanya adalah generasi baru yang belum pernah menerima pengajaran tentangnya.

“Kita hidup untuk bekerja ataukah bekerja untuk hidup?”

“Kita makan untuk hidup ataukah kita hidup untuk makan? Senyampang masih hidup, kita harus pernah mencicipi makanan dan minuman beraneka ragam dari berbagai daerah atau negara. Tidak perlu menanyakan halal atau haram, yang penting kita sudah pernah merasakannya. Begitukah?”

“Kita menggeluti dunia seni untuk hidup, hidup untuk seni, ataukah seni untuk seni?”

Para ulama sudah menjelaskan dengan sangat gamblang dan itu pun berulang kali, “Kita hidup untuk mengabdi kepada Allah, beribadah kepada-Nya.” Ibadah yang dimaksud adalah ibadah dalam arti seluas-luasnya, tak terbatas pada ibadah mahdhah (ibadah murni atau ritual). Dengan demikian, bekerja, belajar, berorganisasi atau apa pun bisa diniatkan—sekali lagi diniatkan—sebagai ibadah semata-mata untuk-Nya. Lebih lanjut, para ulama menjelaskan bahwa tujuan hidup ini adalah untuk hidup lagi, yaitu hidup sesungguhnya—hidup kekal abadi di surga nanti.

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱْلإِنْسَ إِلاّ لِيَعْـبُدُوْنِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
(QS adz-Dzâriyât [51] : 56)

Dari ayat tersebut, Al-Qur’an menuntut agar kesudahan semua pekerjaan hendaknya menjadi ibadah kepada Allah, apa pun jenis dan bentuknya. Karena itu, Al-Qur’an memerintahkan untuk melakukan aktivitas apa pun setelah menyelesaikan ibadah ritual.

Banyak ulama mengartikan hidup makhluk sebagai Mâ bihî al-hissu wal-harakah, yakni sesuatu yang menjadikannya merasa/mengetahui dan bergerak. Yang tidak memiliki pengetahuan, tidak merasa, tidak juga dapat bergerak/menggerakkan dirinya sendiri, maka ia tidaklah dianggap hidup yang sesungguhnya. Pengetahuan atau kesadaran adalah menyadari dirinya sendiri. Semakin banyak pengetahuan dan kesadaran, serta semakin peka perasaan, maka semakin tinggi kualitas hidup. Oleh karena itu, hidup bertingkat-tingkat.

Hidup bagi manusia hendaknya tidak hanya terbatas pada hari ini atau sepanjang usia di dunia saja, tetapi harus melampaui generasinya, bahkan melampaui batas usia manusia di dunia ini. Memang, manusia tidak dapat hidup langgeng dan abadi sebagaimana Allah. Manusia juga tidak mampu melampaui batas usianya di dunia, tetapi ia dapat melanggengkan hidupnya dengan keharuman nama—khususnya setelah kematiannya—serta pada karya-karyanya yang bermanfaat, sehingga dinikmati manusia sepanjang masa.

Kelanggengan hidup manusia juga diraih melalui kekekalan hasil karya-karyanya itu di akhirat kelak, dalam bentuk ganjaran Ilahi, yakni surga nan abadi. Bagi orang kafir, tidak ada satu karya pun yang dapat langgeng sehingga mereka tidak akan menikmati kekekalan.

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (QS al-Furqân [25] : 23)

Al-Qur’an menilai ada orang-orang yang walaupun masih dapat menarik dan menghembuskan nafas, masih berfungsi otak dan beredar darahnya, tetapi dinilai sebagai orang mati, karena tidak mendengar dan memperkenankan panggilan Allah dan rasul-Nya.

Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang. (QS an-Naml [27] : 80)

Ada juga yang telah berhenti denyut jantungnya, telah terkubur jasadnya, tetapi mereka masih dinilai hidup oleh Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah yang artinya:

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS al-Baqarah [2] : 154)

Apa yang akan terjadi bila nasihat ini benar-benar disadari oleh setiap orang? Apa yang akan kita saksikan bila setiap manusia mempraktekkan bahwa hidup ini untuk mengabdi kepada-Nya? Apa yang akan dilakukan oleh setiap insan jika semuanya ingin agar bisa benar-benar hidup dan tetap hidup dalam kematiannya?

Di setiap pertandingan olah raga, tidak akan pernah terjadi kekisruhan, kerusuhan dan pertengkaran. Setiap orang berniat bahwa olah raga yang dilakukan adalah untuk menjaga tubuh, karunia dan titipan dari Allah, agar tetap sehat, sehingga bisa senantiasa menjalankan perintah-perintah-Nya. Setiap orang berniat bahwa pertandingan adalah ajang silaturrahim. Dengannya, kita menambah eratnya persaudaraan dan kasih sayang. Semua itu demi mengabdikan diri kepada Yang Maha Memberi Perintah, Allah SWT.

Di setiap kejuaraan, tidak akan ada upaya-upaya yang tidak baik. Semua orang berlomba-lomba menampilkan yang terbaik dengan cara-cara yang baik (fastabiqul khayrât). Semua orang sadar bahwa tujuan utama mereka bukanlah meraih kemenangan, piala, trofi ataupun bonus berupa rumah, kendaraan atau uang. Semua orang berlomba dengan tujuan melaksanakan ibadah, semata-mata untuk Sang Pencipta, Allah SWT.

Di setiap organisasi, baik keagamaan, kemasyarakatan, kemahasiswaan, perusahaan, pemerintah, faksi/partai politik, atau apa pun—tidak akan ada gontok-gontokan, propaganda negatif, mendekat ke atasan/pimpinan agar aman, saling menonjolkan diri untuk sebuah kesombongan, saling menjatuhkan, saling jegal, saling sikut atau saling gasak-gesek-gosok. Semua orang bekerja sama dengan baik, indah, ramah, santun dan anggun. Setiap orang menundukkan hati dan jiwa, menyerahkan segalanya di hadapan Sang Penguasa Alam, Allah SWT.

Dalam urusan makan, setiap orang akan otomatis memilih dan memilah mana makanan yang halal—mana yang tidak dan mana yang baik (thayyib) bagi dirinya (termasuk kesehatannya)—mana yang tidak. Semuanya demi beribadah kepada Yang Memiliki Kehidupan, Allah SWT.

Pada setiap hobi, kreativitas maupun pekerjaan, setiap insan akan berlomba-lomba untuk meraih yang terbaik, yang paling bermanfaat bagi kemanusiaan serta bernilai ibadah tinggi.

Mengapa rasanya hal-hal di atas masih jauh dari kenyataan? Jauh panggang dari api? Atau diplesetkan menjadi “Jauh panggang dari sate”? Bukankah nasihat tentang buat apa kita hidup sudah sering disampaikan dalam setiap ceramah atau pengajian?


Daftar Pustaka :
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007


Tulisan ini berlanjut ke : Buat Apa Kita Hidup? (2 of 4)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Monday, February 8, 2010

BELAJAR DARI KISAH ‘UNWAN

“Ilmu bukanlah yang Anda peroleh melalui proses belajar-mengajar, tetapi ilmu adalah cahaya yang dicampakkan Tuhan ke dalam hati seseorang yang dikehendaki-Nya untuk memperoleh petunjuk. Maka bila engkau hendak memperolehnya, maka wujudkanlah terlebih dahulu hakikat penghambaan diri kepada Allah. (Ja’far ash Shadiq)”
Pada suatu hari, datang seorang tua berusia sekitar 94 tahun bernama ‘Unwân dan yang terbiasa – sejak bertahun-tahun – duduk di majelis Ta’lim Imam Malik di Madinah. Orang tua itu – kali ini datang menemui Ja‘far ash-Shâdiq (122 H/740M) yang ketika itu baru datang ke Madinah dan ingin menjauh dari hiruk-pikuk politik, apalagi ia seorang tokoh yang dinilai dapat mengganggu stabilitas pemerintahan ketika itu. “Aku bermohon kepada Allah, kiranya Dia menjadikan tuan berkenan mengajar saya sedikit dari ilmu tuan.” Demikian ‘Unwan menjelaskan maksud kunjungannya.“Wahai Abu Abdillah – demikian Ja‘far ash-Shâdiq menyapa ‘Unwan. Ilmu bukanlah yang Anda peroleh melalui proses belajar-mengajar, tetapi ilmu adalah cahaya yang dicampakkan Tuhan ke dalam hati seseorang yang dikehendaki-Nya untuk memperoleh petunjuk. Maka bila engkau hendak memperolehnya, maka wujudkanlah terlebih dahulu hakikat penghambaan diri kepada Allah. Tuntutlah ilmu untuk mengamalkannya dan kembangkanlah pengetahuanmu dengan melaksanakan apa yang telah Anda ketahui, dan bermohonlah kepada Allah agar Dia menganugerahkan kepada Anda daya pemahaman, insya Allah Dia berkenan.”

Ucapan Imam Ja‘far bahwa “Ilmu bukanlah yang Anda peroleh melalui proses belajar-mengajar” bukannya berarti mengabaikan proses itu, tetapi beliau bermaksud menekankan pemanfaatan ilmu dan kesungguhan dalam pengamalannya. Banyak orang, yang dalam pengetahuannya, tajam analisanya, tetapi pengetahuan yang dimilikinya itu tidak melampaui benaknya, pengetahuannya tidak lain kecuali bagaikan ilusi, bukan hakikat yang wujud di alam nyata. Pengetahuan semacam ini sedikit sekali gunanya, bahkan membahayakan pemiliknya, karena seperti sabda Rasul saw.: “Pengetahuan ada dua macam. Ada yang bersemi di dalam dada, itulah yang berguna. Dan ada juga yang hanya menghiasi lidah, yang ini akan menjadi saksi Allah yang memberatkan putra Adam.”

Sahabat Nabi saw., ‘Ammâr bin Yasir menguraikan bahwa: Aku diutus Rasul saw. ke perkampungan sekelompok dari suku Qais untuk mengajar mereka. Aku dikejutkan ketika menemukan mereka bagaikan unta-unta liar yang membelalak. Mereka penuh ambisi, tidak menginginkan kecuali kambing dan unta, tidak mendambakan kecuali keuntungan materi, maka aku tinggalkan mereka menuju Rasul saw. (Ketika beliau melihatku) beliau bertanya: “Apa yang telah engkau lakukan wahai ‘Ammâr?” Maka kusampaikan kepada beliau apa yang kulihat, lalu beliau bersabda: “Maukah engkau kusampaikan apa yang lebih aneh keadaannya dari mereka? Yaitu sekelompok manusia mengetahui apa yang mereka tidak ketahui, tetapi mereka lengah dan lalai sebagaimana kelengahan mereka.”

‘Unwân yang mendengar syarat perolehan ilmu dari Ja‘far as-Shâdiq bertanya: “Apakah hakikat perhambaan diri kepada Allah?” “Ada tiga”, jawab sang Imam. “Pertama: Seorang hamba tidak menganggap apa yang dianugerahkan Allah kepadanya sebagai milik pribadinya – karena hamba sahaya tidak memiliki suatu apapun, dirinya adalah milik tuannya. Kedua: Ia menjadikan segala usahanya hanya berkisar pada apa yang diperintahkan tuannya – dalam hal ini adalah Allah – serta menjauhkan diri dari segala larangan-Nya. Yang ketiga: Ia tidak menargetkan sesuatu yang pasti untuk masa datang, (tetapi selalu mengaitkannya dengan kehendak tuannya (selalu menyatakan dengan pikiran dan lidahnya: insya Allah).”

Demikian Ja‘far ash-Shâdiq menggarisbawahi hakikat pengabdian. Memang apabila seseorang tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya sebagai milik pribadinya, maka semua kemampuannya akan dia curahkan tanpa mempertimbangkan keuntungan material atau keinginan memperoleh popularitas. Sedang bila seseorang menjadikan semua usahanya bertumpu pada pengabdian kepada Allah, maka tidak akan ada saat dalam hidupnya yang dia gunakan secara sia-sia. Ia pasti selalu produktif.

Menarget sesuatu, adalah salah satu dari ajaran managemen. Pasti ini tidak terlarang, bahkan terpuji. Yang dimaksud oleh Ja‘far ash-Shâdiq adalah jangan memastikan pencapaian target tanpa bantuan Allah. Seseorang harus berusaha untuk mencapainya, lalu menyerahkan sisanya kepada hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dalam kenyataan hidup, seringkali kita berhitung di atas kertas, tentang keuntungan yang bakal dicapai, atau sukses yang menanti, tetapi bila tiba yang dinantikan, tiba-tiba ada saja yang di luar perhitungan sehingga hasil yang diimpikan tidak kunjung datang. Nah dalam hal yang seperti itulah, nasihat tersebut sangat berarti.

Dalam situasi krisis, seringkali seseorang berkata: “Seandainya aku seperti si Anu, tidak seperti aku sekarang ini”, atau berkata: “Seandainya aku menjadi ini atau itu.” Seorang pedagang boleh jadi akan mendambakan menjadi pegawai, atau seorang dokter dibisikkan oleh hatinya kiranya dapat menjadi pebisnis. Tentara boleh jadi ingin menjadi polisi, atau sebaliknya, dan memang hati kecil sangat pandai menyelubungi kegagalan pemiliknya dengan hiasan perandaian yang indah dan menabur kembang-kembang beraroma sedap di tengah duri-duri keluhannya, tetapi jika nasihat Ja‘far di atas diindahkan, maka akan lenyap dan sirna segala perandaian yang tidak berguna itu, karena itu: Hiduplah dalam realita, bila kenyataan yang terjadi bukan dambaan Anda, maka dambakanlah kenyataan itu, dan serahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt. serta yakinlah bahwa betapapun tingginya pucuk cita, suratan takdir tak mungkin terlampaui. Demikian wa Allâh a‘lam. (Artikel diadopsi dari kolom Prof. M. Quraish Syihahb).

PASANGAN HARMONIS DENGAN SEPULUH LASYKAR AL-QURAN

Pertama kali saya membaca, hampir saya tidak percaya bahwa ada satu keluarga yang mampu mengantarkan ke sepuluh putra-putrinya menjadi penghafal al-Quran. Setelah melihat foto-fotonya dan deskripsi prestasi mereka, saya menjadi percaya 100%.

Adalah keluarga dari Bapak Mutammimul Ula (Beliau anggota DPR RI komisi III dari Fraksi PKS 2004-2009) yang dikarunia 11 putra-putri (1 meninggal). Keluarga harmonis ini layak diberi gelar “Lasykar Al-Quran”. Hebatnya kesepuluh anak tersebut, semuanya sudah dan sedang menghafal al-Quran sejak usia dini. Lebih hebat lagi, subhanallah, kesepuluh anak tersebut berprestasi di sekolahnya masing-masing. Berikut ini profil dari kesepuluh anak tersebut:1. Afzalurahman, 21 tahun, semester 6 Teknik Geofisika ITB, Hafal Quran usia 13 tahun, sekarang masuk Program PPDMS, Ketua Pembinaan Majelis Taklim Salman ITB, Peserta Pertamina Youth Progamme 2OO7 dari ITB.

2. Faris Jihady Hanifa, 2O tahun, semester 4 Fakultas syariah LIPIA, hafal Quran usia 1O tahun Predikat mumtaz (exellence), Juara 1 lomba Tahfidz 3O Juz yang

diselenggarakan Kerajaan Saudi Arabia, Juara 1 Lomba OlimPiade IPS tingkat SMA 2OO3

3. Maryam Qonitat, 18 tahun, semester 2 Fakultas Ushuluddin Univ Al Azhar Kairo, hafal quran usia 16 tahun. Lulusan Terbaik Husnul Khotimah 2OO6

4. Scientia Afifah, 17 tahun, kelas 3 SMU 28, hafal 1O Juz, pelajar teladan MTs Al Hikmah 2OO4

5. Ahmad Rosikh Ilmi, 15 tahun, kelas 1 MA husnul Khotimah, hafal 6 Juz, pelajar Teladan SDIT Al Hikmah 2OO2, Lulusan Terbaik MTs Al Kahfi 2OO6

6. Ismail Ghulam Halim, 13 tahun, kelas 2 MTs Al Kahfi, Hafal 8 Juz, Juara Olimpiade IpA tngkat SD seJaksel 2OO3, 4 penghargaan dari Al Kahfi, Tahfidz

Terbaik, Santri Favorit, Santri Teladan, dan Juara Umum

7. Yusuf Zaim Hakim, 12 tahun, kelas 1 MTs Al Kahfi, hafal 5 Juz, rangking 1 di kelasnya

8. Muh Saihul Basyir, 11 tahun, kelas 5 SDIT Al Hikmah, hafal 25 Juz

9. Hadi Sabila Rosyad, 9 tahun, kelas 4 SDIT Al Hikmah, hafal 2 Juz

1O. Himmaty Muyasssarah, 7 tahun hafal 1juz.

Melihat hebatnya prestasi di atas, saya teringat tulisan Abd Daim al-Kaheel di www.kaheel7.com yang menceritakan pengalamannya. Sebelum ia hafal al-Quran dia susah sekali memahami sebuah tulisan dan mudah lupa. Namun, setelah hafal al-Quran ia merasa mendapatkan kemukjizatan yang luar biasa. Dengan mudahnya kini memahami jenis tulisan apapun, bahkan sekarang mampu menulis ratusan artikel kemukjizatan al-Quran yang tertuang dalam buku dan situs pribadinya.

Saya juga teringat pidato Rektor UIN Malang (Januari 2010) di PP Al-Munawariyah Bululawang Malang, ternyata empat tahun berturut-turut nilai IPK tertinggi wisudawan UIN Malang diraih oleh mahasiswa dan mahasiswi yang hafal al-Quran 30 juz.

Terkait dengan kesuksesan keluarga Bapak Mutammimul Ula, beliau sempat membuka sedikit rahasia dari “Lasykar al-Quran” ini, diantaranya:

1. Mengajarkan Al Quran sejak usia 4 tahun. Doktrin keluarga kepada semua anaknya adalah bahwa Al Quran merupakan kunci kebahagiaan dunia dan akhirat

2. Jangan terlalu mengandalkan sekolah, sebab 2 / 3 keberhasilan Pendidikan itu ada di rumah dan keberhasilan itu hasil integrasi kedua orang tuanya.

3. Peran ayah dalam mendidik anak-anaknya harus lebih menonjol dibanding ibu. Imam Syafi I ditinggal wafat ayahnya ketika berusia 6 tahun. Namun isi kepala sang ayah sudah pindah ke sang ibu, Hasan Al Banna sukses berkat sentuhan pendidikan sang ayah, Qordhowi berkata, dahulu saya tidak tahu mengapa ayah mengkondisikan saya hafal alquran usia 1O tahun

4. Kekayaan keluarga adalah anak dan buku. Setiap liburan, selalu mengajak anak anak ke toko buku.ada 4OOO buku di rumah.

5. Visi yang ada di kepala kami adalah anak anak, kami semuanya harus menjadi hafidz quran, sehingga keliling Jawa dan Madura untuk melihat pesantren tahfidz terbaik. Pilihan jatuh di Kudus.

6. Tujuh tahun pernikahan tanpa televisi

7. Setiap hari diperdengarkan murottal dan sang ibu mengajar sendiri dengan Qiroati

Nasihat sang suami yang mencerminkan

8. Kita harus berbeda dengan orang lain dalam kebaikan. Orang lain duduk kita sudah

harus berjalan, orang lain berjalan kita sudah harus berlari, orang berlari kita sudah tidur, orang lain tidur kita sudah bangun. Jangan sedikitpun berhenti berbuat baik

sampai soal niat. Kita tidak boleh lalai karena kita tidak tahu kapan Allah mencabut nyawa kita

10. Tiga Fase interaksi dengan Anak menurut Imam Ali, 7 tahun pertama perlakukan ia seperti raja, 7 tahun kedua perlakukan ia seperti tawanan perang dalam edisiplinan

7 tahun ketiga dan seterusnya perlakukan ia sebagai teman atau sahabat, pakar mengatakan 7 sd 12 tahun adalah golden age. Usia emas. Saat itulah fase pembentukan sikap, perilaku, dan penanaman nilai yang paling penting.

8. Tirulah mereka yang hafal al-Quran; Al Banna 1O tahun, Qordhowi 1O tahun, Imam Syafi I 9 tahun, Imam Ahmad 7 tahun

9. Bakda maghrib dan Bakda subuh adalah waktu interaksi dengan Al Qur an.

10. Memagari anak anak dari pengaruh negatif. Ada agreement dengan anak anak kapan saat menonton TV dan ada hukuman bila dilanggar.

MENGHAFAL AL-QURAN DI USIA DEWASA, SIAPA TAKUT? (2)

ekhawatiran kadang muncul seiring keinginan untuk menghafal. Khawatir tidak bisa tuntas lantaran daya ingat dan daya fisik menurun. Khawatir tidak memiliki banyak waktu untuk menuntaskan hafalan. Khawatir tidak mampu menjaga usai hafal, dan seterusnya. Sebagai orang beriman, kita harus yakin bahwa setiap ada kemauan di situ akan ada jalan, Allah berfirman (QS. Al-Ankabut:69):Dan mereka yang bersungguh-sungguh di jalan kami, maka akan kami tunjukkan jalannya.

Allah juga akan selalu memantau upaya (proses) kita untuk menciptakan kebaikan itu dan bukan hasil dari upaya. Hasil akhir dari semua upaya manusia itu disebut qadar, dan itu menjadi hak prerogatif Allah semata.

Berbekal keyakinan di atas, baru kita melangkah untuk mengikis kekhawatira lainnya. Daya ingat seseorang memang mendukung kecepatan dan ketahanan hafalan. Sepanjang pengamatan saya, kecerdasan dan kekuatan hafalan seseorang seringkali tak berarti bila tidak dibarengi dengan semangat dan istiqamah. Anak kecil rata-rata memiliki hafalan yang baik dibanding orang dewasa. Tapi jangan lupa orang dewasa punya kelebihan dalam pemahaman dan manajemen konseptual. Kekuatan hafalan dan keluasan pemahan merupakan dua unsur pendukung dalam hafalan.

Misalnya dalam menghafal surat al-Baqarah 1-10, anak kecil bisa menghafal lafadz apa adanya. Sementara orang dewasa mampu menangkap pesan pokok dari tiap-tiap ayat. Orang dewasa mampu membuat kaitan antar ayat berdasarkan alur cerita. Ayat 1-5 menceritakan ciri-ciri orang taqwa, diikuti kemudian dengan ciri-ciri orang kafir dan orang munafiq. Paparan di atas merupakan ilustrasi bahwa tidak selamanya daya ingat yang menurun itu menghalangi upaya menghafal.

Adapun daya (kekuatan) fisik diperlukan, sepanjang mendukung kekuatan konsentrasi dan daya tahan berpikir. Ternyata yang terpenting di sini adalah kekuatan pikiran. Mereka yang berusia 40 tahunan, sebetulnya dari aspek fisik tidak ada masalah, selama masih terjaga kesehatannya.

Terkait dengan kekhawatiran berikutnya, yaitu terbatasnya waktu bagi orang dewasa untuk menghafal, hal ini logis dan bisa diterima. Alasannya, umumnya seseorang yang berusia 30 tahun itu telah memiliki pekerjaan rutin, disamping ada beban tugas rumah tangga (mengurus anak, istri/suami). Dengan kata lain, jam kerja orang dewasa jauh lebih banyak dibanding remaja. Hanya saja, jam kerja orang dewasa tidak selalu identik dengan aktifitas, melainkan tanggungjawab dan problematika keluarga yang menyita perhatian dan pikiran. Kendati demikian, kondisi ini masih memungkinkan untuk menghafal al-Quran, tentu dengan manajemen yang tertata baik.

Manajemen waktu itu didasarkan pada target yang ingin dicapai. Misalnya, dalam sebulan harus dapat satu juz, maka minimal dalam sehari harus menghafal 3/4 halaman, sehingga dalam kurun waktu 2,5 tahun telah tuntas semua al-Quran. Untuk menambah hafalan 3/4 halaman rata-rata memakan waktu satu jam perhari. Tetapi, menambah hafalan saja belum cukup, dibutuhkan juga waktu untuk muraja’ah (pengulangan) dan tashih (pembetulan di depan guru).

Baiklah, berikut ini gambaran pembagian waktu tahfidz (hafalan) untuk orang dewasa.
No Waktu Kegiatan
1 04.30 – 06.00 Menambah hafalan baru dan tashih
2 06.00 – 07.00 Membantu keluarga/menyiapkan anak sekolah
3 07.00 – 15.00 Kerja
4 15.00 – 16.30 Istirahat
5 16.30 – 17.30 Mengulangi hafalan baru (satu juz terakhir)
6 17.30 – 19.00 Mengulangi hafalan lama (Muroja’ah)
7 19.00 – 21.00 Relaksasi bersama keluarga
8 21.00 – 04.30 Istirahat

Dari tabel di atas, dapat digambarkan bahwa ternyata orang dewasapun dalam batas tertentu masih memiliki waktu cukup untuk menghafalkan al-Quran. Tabel di atas memang masih merupakan gambaran kasar, bisa jadi sesuai atau bisa jadi tidak dengan orang yang bersangkutan.

Bila anda memutuskan menghafal al-Quran pada usia dewasa, konsekwensinya harus melakukan pengetatan waktu (disiplin waktu). Kebiasan ngerumpi, ngobrol, berlama-lama nonton TV mulai direm dan dikurangi. Mesti juga anda konsisten dengan waktu yang telah ditetapkan selama sekian jam perhari dan selama sekian tahun. Ketahanan menjaga komitmen waktu inilah yang sulit. Di sini perlu diwaspadai kebiasaan menunda dan malas dengan alasan apapun. Kadang karena alasan capek sedikit saja, waktu yang sudah tertata dibuat berantakan dengan tidur, refreshing berlebihan.

Dalam tradisi menghafal, semakin banyak hafalan harus dibarengi disiplin tinggi. Pasalnya, selama masa menghafal hendaknya tidak mendiamkan hafalan lebih dari seminggu. Misalnya, ketika anda sudah hafal 14 juz maka kewajiban murajaah dua juz perhari agar dalam seminggu semua tuntas terbaca. Di saat mendekati khatam, minimal harus murajaah 4-5 juz perhari. Akibatnya, jadwal waktu harian seperti contoh di atas harus disesuaikan.

Kekhawatiran berikutnya yang sering muncul adalah adanya pobia tentang susahnya menjaga atau hilangnya hafalan yang berdampak pada hukum “dosa” atau “maksiat”. Perlu diketahui bahwa lupa yang diharamkan menurut Imam Nawawi dalam kitab “At-Tibyan fi Adab Hamalat al-Quran” apabila ada unsur sembrono, menyepelekan hafalannya seperti tidak membacanya dalam kurun satu bulan lebih. Betapa Allah sudah memilih dia menjadi penghafal al-Quran, tetapi itu tidak disyukuri, dia tidak memurajaahnya dalam waktu yang lama sehingga banyak ayat yang lupa. Sebaliknya kalau upaya maksimal dalam menjaga al-Quran sudah dilakukan, namun tetap saja banyak yang lupa maka itulah lupa yang ditolerir oleh syara’.

Sejak awal seyogyanya para penghafal al-Quran itu belajar menikmati bacaan atau hafalannya sebagai firman Allah yang indah. Tidak menganggap murajaah itu sebagai beban dan semata diniati memelihara al-Quran. Segala sesuatu yang diniati secara positif akan ringan untuk dijalani, sebaliknya hal yang diniati secara negatif akan berat dijalani. Jangan sampai kita niat menghafal itu untuk hafalan itu sendiri. Artinya kita ingin menjadikan hafalan itu sebagai media dan bukan tujuan. Yakni hafalan itu kita jadikan sebagai media untuk memperbanyak bacaan al-Quran kita. Atau dengan hafalan, kita bisa mengokohkan struktur keilmuan islam yang kita miliki. Dengan hafalan, kita mampu menggali syariat Islam langsung dari sumbernya dan dengan hafalan pula, kita mudah mengkaitkan berbagai fenomena kehidupan dengan ayat al-Quran secara tepat dan tidak sepotong-sepotong.

Pertanyaan berikutnya, adakah metode khusus menghafal bagi orang dewasa. Secara umum metode menghafal untuk anak, remaja dan dewasa itu sama, yaitu repetisi (pengulangan), sorogan ( melafalkan hafalannya di depan guru), tadabbur (memahami makna dan urutan kisah), BHT (baca hafal tulis; menulis semua yang dihafal sebelum ditashih), rabath (pengikatan akhir ayat), tasmi’ (mendengar kaset murattal), tilawatus safar (menghafal di atas kendaraan) dan tilawatusshalah (menghafal dalam shalat). Hanya saja, untuk mereka yang super sibuk bisa memilih dua metode terakhir, yaitu metode tilawatus safar dan tilawatusshalah. Dalam kondisi yang sangat sulit meluangkan waktu untuk menghafal, bisa dipilih waktu-waktu yang pasti orang melakukannya terutama muslim. Misalnya, diasumsikan setiap rakaat dalam shalat sunnah rawatib kita membaca satu halaman mushaf al-Quran, maka paling tidak satu juz bisa dibaca, dengan rincian 8 rakaat qabliyyah dan ba’diyyah dhuhur, 2 rakaat qabliyyah ashar, 4 rakaat qabliyyah dan ba’diyyah maghrib, 4 rakaat qabliyyah dan ba’diyyah Isya’ serta 2 rakaat qabliyyah Shubuh (8+2+4+4+2=20 rakaat). Rata-rata satu juz itu berisi 20 halaman (10 lembar), jadi dalam shalat saja kita bisa istiqamah satu juz perhari. Belum lagi ditambah 8 rakaat shalat Dluha, 11 rakaat qiyamul lail, maka genap 2 juz.

Juga metode alternatif bagi yang sibuk, adalah tilawatus safar. Yakni mengulangi hafalan saat berada di atas kendaraan. Umumnya orang tidak ada aktifitas saat mengendarai motor atau mobil, kecuali konsentrasi dalam mengendarai itu sendiri. Atau kadang sambil dengar musik atau kaset murattal. Konon, almarhum KH. Mufid Mas’ud (dari Sunan Pandan Arang Yogyakarta) setiap mengunjungi santri-santrinya yang ada di Malang mengkhatamkan al-Quran di atas kendaraan dengan waktu tempuh sekitar 8 jam. Kalau waktu tempu dari rumah ke kantor sekitar 30 menit, sangat mungkin sekali kita mengulangi hafalan/membaca rutin 1 juz untuk pulang pergi, belum lagi sambil mengantar anak-anak sekolah atau menemani istri belanja dan sebagainya.

Satu hal lagi yang sangat mendukung hafalan adalah handphone yang terinstal program pocket al-Quran. Di mana saja kita bisa membaca atau mengecek kebenaran hafalan atau mendengarkan bacaan murattal. Alhasil, tidak ada kata sulit dalam menghafal dan tidak ada kata menyerah dalam menanam kebaikan. Selamat menghafal semoga sukses.


MENGHAFAL AL-QURAN DI USIA DEWASA, SIAPA TAKUT? (1)

Belakangan ini saya sering ditanya beberapa teman perihal keinginan mereka untuk menghafal al-Quran di usia dewasa (sekitar 20 – 50 tahun). Fenomena ini cukup marak belakangan ini, sampai-sampai salah seorang dosen saya di S3 UIN Malang dengan usia di atas 50 tahun, padahal selama ini dipandang berpikiran liberal, mengatakan: “saya sekarang menghafalkan al-Quran, berapapun dapatnya tidak masalah, sebab Allah menghargai proses bukan hasil. Cita-cita saya sebelum meninnggal, kalau bisa semua ayat al-Quran sudah pernah dihafal.” Demikian juga salah seorang pembantu rektor di Universitas Negeri Malang, secara implisit bertanya pada saya tentang tata cara menghafal dan menjaga al-Quran di usia dewasa.Dua tahun yang lalu, saya mengikuti acara khataman di rumah P. Asrukin (pegawai Perpustakaan UM), di sana bertemu orang “sepuh” dari Kepanjen Malang yang sedang menghafal al-Quran sejak usia 55 tahun, waktu itu baru dapat menghafal 25 juz. Di Pesantren Darul Quran Singosari Malang, juga pernah kedatangan santriwati berusia 50-an tahun dari Jember.

Cerita di atas menggambarkan betapa ada banyak orang yang ingin menghabiskan sisa usianya untuk berkhidmat pada Allah melalui Al-Quran. Saya sendiri pernah merenung, saat baru lulus dari Madrasah Aliyah dulu: “apa kelak yang akan saya lakukan ketika mata sudah tak jelas memandang, ketika tenaga tak lagi kuat untuk bekerja, ketika semua kebutuhan materi dan cita-cita sudah terpenuhi, dan ketika hidup sudah diintip maut? Saya teringat pesan guru bahwa orang yang banyak hafalan al-Quran tidak akan pikun di usia senja dan tak akan pernah kesepian dalam situasi apapun. Lalu terbersit dalam pikiran, saya harus menghafal selagi masih diberi kekuatan, tuntutan kuliah dan nikah antri dulu di belakang. Apa yang saya renungkan, mungkin juga sama dengan renungan banyak orang sehingga usia tidak lagi halangan untuk mulai menghafal al-Quran.

Hafal al-Quran adalah sebuah anugerah agung yang tak ternilai dengan apapun. Segala unsur pendukungnya juga anugerah seperti niat/motivasi untuk menghafal. Tidak semua orang dikarunia keinginan (Himmah) untuk itu. Himmah inilah yang akan mengobarkan api semangat dalam jiwa, ia akan mengalahkan kepentingan apapun.

AKAR FUNDAMENTALISME DALAM PERSPEKTIF TAFSIR AL-QUR’AN

Fundamentalisme adalah satu tradisi interpretasi sosio-religius (mazhab) yang menjadikan Islam sebagai agama dan ideologi. Tak pelak, interpretasi yang dikembangkan di dalamnya tidak hanya doktrin-doktrin teologis, tapi juga ideologis. Doktrin-doktrin itu dalam latar sejarahnya, pernah dikembangkan oleh tokoh-tokoh pendiri fundamentalisme modern, yakni Hasan al-Banna, Abu A’la al-Maududi, Sayyid Quthb, Ruhullah Khomaini, Muhammad Baqir al-Shadr, Abd as-Salam Faraq, Sa’id Hawa dan Juhaiman al-Utaibi.Sebagai sebuah mazhab, fundamentalisme selalu mendasarkan pandangan-pandangannya pada al-Qur’an melalui metode penafsiran tertentu. Dalam uraian berikut akan dipaparkan penafsiran yang menjadi basis pandangan-pandangannya dengan terlebih dahulu dijelaskan metode penafsiran yang digunakan.

METODE PENAFSIRAN

Karakteristik fundamentalisme adalah skripturalisme, yakni keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan dan dianggap tanpa kesalahan.[1] Dengan keyakinan itu, dikembangkanlah gagasan dasar yang menyatakan bahwa suatu agama tertentu dipegang secara kokoh dalam bentuk literal dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan.[2]

Gagasan dasar itu dibingkai dalam kerangka metodologi –meminjam istilah Azyumardi, yang memodifikasi dari penelitian Martin E. Marty– yang mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama, oposisionalisme. Fundamentalisme dalam agama manapun mengambil bentuk perlawanan –bukannya tak sering bersifat radikal– ter­hadap ancaman yang dipandang akan membahayakan eksistensi agama, baik yang berbentuk modernitas, sekularisasi maupun tata nilai Barat. Acuan atau tolok ukur untuk menilai tingkat ancaman itu tentu saja adalah kitab suci, yang dalam fundamentalisme Islam adalah al-Qur'an dan pada batas-batas tertentu juga hadis Nabi.

Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks. Teks al-Qur'an harus dipahami secara literal sebagaimana bunyinya. Mereka mengajukan alasan bahwa nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Bahkan teks-teks yang satu sama lain saling bertentangan maknanya, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam "kompromi" dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut.

Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalis, pluralisme merupakan pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan sikap keagamaan yang tidak selaras dengan pandangan mereka merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, terutama yang muncul tidak hanya dari intervensi nalar terhadap teks kitab suci, tetapi lebih karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama.

Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Per­kembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai "as it should be", bukan "as it is". Dalam kerangka ini, masyarakatlah yang harus menyesuaikan perkembangannya –kalau perlu secara kekerasan– dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikuti perkembangan masyarakat. Karena itulah, kaum fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologis; dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada bentuk masyarakat "ideal" yang direpresentasikan pada zaman kaum Salaf yang dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna.[3]

DOKTRIN IDEOLOGI: ISLAM KAFFAH

Doktrin sentral fundamentalisme adalah Islam kaffah. Dalam doktrin ini, Islam tidak hanya diajarkan sebagai sistem agama, akan tetapi sebagai sistem yang secara total mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Dalam konteks dunia modern, kalangan Islam fundamentalis berpegang teguh pada pola integralisme, yakni relasi agama dan negara bersifat integral atau saling mengisi. Apa yang pernah dikemukakan al-Banna mengenai definisi Islam sebagai agama dan negara (ad-din wa ad-daulah), semakin memberikan bukti kuat.

Islam yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah ideologi negara –meskipun masih multiinterpretasi– menuai banyak penganut dan simpati. Teoritisi kenamaan, Dr. Mukhotim El Moekry yang berhasil menyusun rumusan ide-ide tersebut secara konseptual, masih dinilai banyak kalangan mengandung makna yang ambigu. Dalam catatannya, ia mengungkapkan:

“Islam sebagai ideologi memiliki makna bahwa Islam adalah satu-satunya jalan hidup (tata aturan kehi­dupan) bagi manusia dalam rangka mengharapkan kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (hidup setelah mati). Allah menurunkan risalah Is­lam dan menjadikannya tegak di atas aqidah tauhid, yaitu aqidah La ilaha illa Allah Muhammadur Rasulullah (itulah makna hakikat ideologi Islam). Risa­lah Islam adalah sebuah wujud dari ideologi yang benar, yakni risalah yang bermuatan universal, berlaku bagi segenap strata kehidupan manusia di muka bumi, yang menjadi aturan untuk mengatur segala tata kehidupan secara global, baik yang terkait sebelum (Allah SWT) atau sesudahnya (akherat). Risalah Islam sebagai wujud ideologi Islam juga merupakan sebuah infrastruktur yang mengatasi segala problematika manusia, baik ketika berinteraksi dengan Tuhannya (dalam bentuk ibadah), maupun ketika berinteraksi dengan hajat dirinya sendiri (segala kebutuhan yang dihadapi) dan ketika berinteraksi dengan sesamanya (berekonomi, bersosial, berpolitik maupun bernegara). Problem solving itu kapan saja dan di mana saja selama manusia itu masih di bawah langit dan di atas bumi. Karena itulah ideologi Islam memandang mengenai tata kehidupan ini tidak dilihat dari aspek material semata, namun aspek ruhani (aturan Allah). Dan cara me­mandang tata kehidupan dunia ini tidak dengan kedalaman berfikir dan ilmu pengetahuan yang dimiliki, namun melihat tata kehidupan dunia dengan wahyu sebagai aturan yang wajib dipatuhi. Di dalamnya bermuatan segala perintah Allah SWT dan segala larangan-Nya. Maka ideologi Islam itu diaplikasikan melalui kepatuhan hamba manusia atas pe­rintah Allah dan larangan-Nya ketika sedang menghadapi hidup ini.”[4]

Kalangan fundamentalisme seringkali merujuk doktrin teologis terhadap "Islam Kaffah". Doktrin ini dihadapan mereka mengalami pergeseran, yakni ke arah ideologisasi. Mereja merujuk doktrin Islam kaffah ini dengan mendasarkan pada Q.S. Al-Baqarah, (2): 208:

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam "Islam" seluruhnya dan janganlah mengikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.”

Kata as-silm menurut Sayyid Qutb adalah umat ber­iman yang diperintahkan untuk memasukinya dengan al-manhaj ar-rabbani yang membawa kedamaian. Al-Manhaj ar-Rabbani adalah sistem kehidupan yang diajarkan Tuhan dengan mendasarkan pada akidah, sehingga membuat damai kehidupan pribadi dan menjadi satu-satunya ikatan sosial yang mampu menyatukan masyarakat dengan tanpa membedakan ras dan daerah, bahasa dan warna kulit, dan seluruh ikatan artifisial lain yang tidak berhubungan de­ngan substansi manusia. Sistem itu, masih menurut Sayyid Qutb dilawankan dengan al-manhaj al-jahili, yakni sistem kehidupan sekuler yang diciptakan manusia, baik di masa lalu maupun sekarang.[5]

Qutb menjadikan kata kaffah (keseluruhan) dalam ayat itu sebagai keterangan bagi as-silm. Karena itu menurutnya umat Islam wajib mengikuti al-manhaj ar-rabbani secara total dalam seluruh aspek kehidupan mulai dari kehidupan pribadi sampai pada kehidupan sosial. Dalam ke­hidupan pribadi mereka harus menganut sistem kepercayaan dan peribadatan Islam. Begitu pula dalam kehidupan sosial, mereka harus mengikuti sistem-sistem Islam dalam pergaulan, ekonomi, politik dan lain-lain.[6]

Setelah memerintahkan untuk masuk ke dalam as-silm, ayat itu kemudian melarang umat Islam untuk mengikuti langkah-langkah syetan. Dalam konteks ini, Quthb menjadikan munasabah (pertautan) antara dua frasa itu dalam bentuk perlawanan (tadladd) (ta’adul/ta’arudh) sehingga ia memahaminya secara dikhotomis yang memiliki arti masuk Islam secara total atau mengikuti langkah-langkah syetan. Dia juga mengatakan dengan tegas: “Tidak ada lain kecuali dua arah; petunjuk atau kesesatan, Islam atau jahiliah, jalan Allah atau jalan syetan, petunjuk Allah atau penyesatan syetan.” Kemudian ia menyatakan dengan tegas juga: “Tidak ada banyak jalan yang orang beriman boleh memilih salah satu di antaranya atau mencampuradukkannya. Orang yang tidak masuk Islam secara total; tidak menyerahkan dirinya murni tunduk kepada Allah dan syari’at-Nya; dan tidak menghindari konsep, sistem dan aturan lain, maka dia berada di jalan syetan dan berjalan mengikuti langkah-langkah syetan.” [7]

Penafsiran Qutb di atas, dan tafsir lain yang senada, sebenarnya tidak memperhatikan kaidah tata bahasa dan semantika bahasa Arab. Ayat itu memerintahkan umat un­tuk masuk "Islam" secara keseluruhan. Sifat ini ada yang memahami sebagai keterangan bagi umat dan yang lain (seperti Qutb) sebagai keterangan dari Islam. Dengan pemahaman yang pertama, seluruh umat harus masuk ke dalam "Islam" dan dengan pemahaman yang kedua umat diperintahkan untuk mengikuti "Islam" secara total. Dalam bahasa Arab yang lazim memiliki keterangan (shahibul hal) adalah subyek atau pelaku. Dengan demikian, pemahaman pertama merupakan pemahaman yang sesuai dengan kaidah atau kelaziman bahasa.

Kemudian kata silm dalam ayat itu, yang oleh Qutb ditafsirkan dengan Islam dengan segala sistem dan bentuk kelembagaannya, dapat memiliki arti juga berserah diri dan taat (istislam dan tha'ah).[8] Pemaknaan ini didukung oleh asal kata itu, salmah yang berarti pohon berduri di tengah padang pasir yang kuat menahan terpaan panas dan badai. Dalam Islam terbukti bahwa yang tidak lekang dan tidak lapuk lantaran lewatnya zaman adalah substansinya. Sementara itu yang dimaksud substansi di sini adalah penyerahan diri kepada Allah.

Di samping itu, penafsiran Quthb juga nampaknya ti­dak memperhatikan munasabah dan asbab al-nuzul ayat. Dalam ayat-ayat sebelumnya dibicarakan beberapa kategori orang dilihat dari segi keseimbangan hidupnya, yakni polarisasi di antara mereka yang menginginkan dunia dan menginginkan dunia dan akhirat. Mereka yang menginginkan dunia dipastikan dapat terjerumus ke dalam materialisme-hedonisme dan merusak ladang (lingkungan hidup) dan keturunan (seks bebas). Sementara yang menginginkan dunia dan akhirat, dianggap kesulitan dalam mewujudkan keseimbangan dan terjerumus ke dalam spiritualisme. Kategori kedua ini dipastikan akan melupakan dunia. Dengan demikian, jika dilihat dari aspek ketersambungan ayat, ayat ini pada dasarnya mengandung makna perintah kepada umat Islam untuk menjaga keseimbangan hidup.

Dari perspektif asbabu al-nuzul, ayat tersebut memiliki latar latar belakang sejarah di mana masyarakat Arab ketika itu tengah mengalami transisi dari masyarakat kesukuan menjadi masyarakat perdagangan dan secara budaya dari masyarakat berperadaban spiritual menuju peradaban materi. Secara otomatis, mereka dapat dikatakan belum menemukan keseimbangan hidup. Di antara mereka terdapat kelompok yang sangat spiritualistik dan cenderung mengabaikan dunia. Sebagian lagi, ada yang menampilkan coraknya yang sangat materialistik dan anti agama. Dengan demikian, ayat di atas menemukan konteksnya, yakni sebagai upaya menyeru kepada umat manusia agar dapat mencapai keseimbangan hidup dalam mewujudkan masyarakat yang berperadaban materi dan spiritual.

Dengan memperhatikan dimensi munasabah dan asbab al-nuzul di atas, dapat dipahami bahwa di samping se­bagai sistem kepercayaan, Islam juga merupakan sistem peradaban yang memadukan antara materi dan spiritualitas. Islam tidak tepat dijadikan sebagai sebuah sistem atau ideologi sosial. Dengan pemahaman ini juga, maka sistem sosial yang dianut masyarakat bisa berubah dan dalam sis­tem kebudayaannya dianggap tetap, yakni sebagai sistem kebudayaan yang berupaya mengimbangi dunia dan akhirat. Contoh yang sangat jelas untuk ini adalah mengenai keluarga. Dalam Islam, konsepsi mengenai keluarga adalah keluarga sakinah. Namun sistem dan bentuknya dapat berubah. Dahulu keluarga muslim merupakan keluarga extended family dan patriarkhi, namun sekarang berubah menjadi keluarga inti dan demokratis.

Dalam kesempatan yang lain, penafsiran Qutb dianggap tidak memperhatikan kebiasaan al-Qur'an dalam menggunakan frasa "jangan mengikuti langkah-langkah syetan" untuk menunjukkan larangan setelah adanya perintah untuk melakukan sesuatu. Dalam al-Qur'an, frasa semacam itu tidak digunakan. Terlebih dengan memisahkannya secara dikhotomik dari frasa sebelumnya. Frase tersebut biasanya digunakan hanya untuk menunjukkan pengertian yang integral. Sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Baqarah, (2): 168 dan Q.S. al-An'am, (6): 146 yang mengemukakan larangan mengikuti langkah-langkah sye­tan setelah ada perintah untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan baik. Kedua ayat itu menunjukkan bahwa dalam memperlakukan hal-hal yang berhubungan dengan konsumsi dan akomodasi, orang Islam tidak boleh mengi­kuti langkah-langkah syetan. Begitu juga jika Q.S. al-Baqarah, (2): 208 itu dipahami secara integral seperti dua ayat lainnya yang mengemukakan perintah dan larangan dengan pola yang sama, maka pengertiannya sangat jauh sebagaimana ungkapan yang dikemukakan Qutb. Dalam mengikuti Islam atau melakukan ketaatan terhadap agama, orang Islam tidak boleh mengikuti langkah-langkah syetan. Langkah-langkah syetan dalam beragama itu apa? Sebagai­mana dalam konsumsi, langkah-langkah syetan itu adalah berlebih-lebihan. Sebagai umat beragama, orang Islam dilarang untuk berlebih-lebihan. Berlebih-lebihan dalam beragama jelas dilarang dalam al-Qur'an, sebagaimana difirmankan dalam Q.S. an-Nisa', (4): 171 dan al-Maidah, (5): 77. Menjadikan Islam sebagai ideologi yang mendorong timbulnya ekstrimisme dan radikalisme dapat diyakini termasuk berlebih-lebihan dalam beragama dan itu jelas-jelas dilarang.

Merujuk pada uraian di atas, peradaban manusia yang damai dan menemukan kebahagiaan jelas menjadi bagian dari cita-cita Islam. Oleh karenanya, Islam sangat memberikan apresiasi yang positif kepada umatnya yang berhasil membangun peradaban manusia menjadi umat penengah (ummatan wasathan). Allah SWT dalam hal ini berfirman:

“Demikianlah, Kami menjadikan kamu sebagai umat tengah agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-Baqarah, (2): 143).

Ummatan wasathan, menurut Quraish Shihab adalah umat moderat yang posisinya berada di tengah, sehingga dapat dilihat semua pihak dan dari segala penjuru. Dengan posisinya yang berada di tengah, menyebabkan mereka tidak hanyut dalam materialisme dan tidak membumbung tinggi ke alam rohani. Posisi tengah (moderat) telah men­jadikan mereka mampu memadukan aspek rohani dan jasmani, materiil dan spiritual dalam segala sikap dan aktivitas.[9]

DOKTRIN HUKUM DAN POLITIK: KEDAULATAN HUKUM TUHAN

Doktrin sentral dalam ideologi Islam menurut fundamentalisme adalah kedaulatan atau supremasi hukum Tuhan. Kaum fundamentalis sebagaimana digambarkan oleh Khaled Abou El-Fadl, berkeyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan hidup dan harus ditegakkan tanpa mempertimbangkan pengaruhnya terhadap hak-hak dan kesejahteraan kelompok lain. Kehadiran konsep jalan lurus (as-Shirat al-Mustaqim) menurut mereka telah dipastikan oleh sistem hukum Tuhan (syari'ah). Di samping itu, dapat menghapus semua pertimbangan moral atau nilai-nilai etis yang sepenuhnya tidak terdapat dalam hukum. Tuhan diwujudkan melalui seperangkat perintah hu­kum positif dan dianggap mampu menunjukkan jalan yang benar dalam bertindak pada semua keadaan. Satu-satunya tujuan hidup manusia di muka bumi ini adalah merealisasikan perwujudan Tuhan dengan melaksanakan hukum-Nya secara patuh dan taat. Moralitas itu sendiri bermula dan berakhir dalam mekanisme dan teknik-teknik hukum Islam (kendati aliran hukum Islam yang berbeda melahirkan pemahaman hukum yang berbeda pula).[10]

Kehidupan yang tunduk dan patuh pada kode hukum ini secara inheren dianggap lebih superior daripada yang lain dan para pengikut jalan hidup yang lain dianggap kafir, munafik atau fasik. Dengan mengikatkan diri pada keamanan dan kepastian hukum yang sudah ditetapkan, kaum yang terbimbing dan kaum yang tersesat lebih mudah dibedakan. Kaum yang terbimbing adalah yang mematuhi hukum, sedang yang tersesat adalah yang menolak, berupaya melemahkan, maupun mendebat hukum. Tentu saja kaum terbimbing lebih superior, karena Tuhan berada di pihak mereka. Kaum fundamentalis membayangkan kesempurnaan dan kekekalan Tuhan dapat digapai sepenuhnya di muka bumi ini. Begitu juga kesempurnaan Tuhan seolah-olah diletakkan dalam hukum Tuhan. Dengan memberi kesan pada logika hukum seperti ini, tak pelak dapat diciptakan tata sosial yang mencerminkan kebenaran ilahiah. Dengan melekatkan diri kepada Tuhan, mereka mengklaim kesempurnaan diri sekaligus pemahamannya terhadap Islam dapat dengan mudah berubah menjadi dalih supremasi.[11]

Pandangan fundamentalisme ini didasarkan pada beberapa ayat al-Qur'an yang memerintahkan tentang pemberian putusan. Sebagaimana difirmankan Tuhan dalam Q.S. al-Maidah, (5): 44, 45 dan 47. Ayat-ayat itu dengan tegas memberikan penilain yang negatif, terutama kepada mereka yang tidak melaksanakan perintah. Tak hanya itu, golongan yang mendapat celaan Tuhan itu pun dikategorikan kafir, zalim dan fasik. Kaum fundamentalis memahami ketiga ayat itu secara atomistik. Atomisme yang mereka lakukan tidak hanya mengisolasi ayat dari konteksnya, tapi juga memahami frasa terakhir dari ayat-ayat itu dari frasa-frasa sebelumnya.

Padahal, konteks ketiga ayat itu sebenarnya menyebutkan bahwa subyek yang dikritik sehingga menjadi kafir, zalim dan fasik adalah kaum Yahudi dan Kristen yang tidak memutuskan perkara berdasarkan apa atau hukum yang diturunkan Tuhan. Dengan demikian, pihak yang mendapat kritik sebagaimana terkandung dalam ayat-ayat itu bukan umat Islam pengikut Nabi Muhammad. Mengapa mereka dikritik demikian? Asbab al-nuzul dari ayat-ayat itu sebagaimana dikemukakan di bawah ini.

Ketiga ayat tersebut merupakan bagian dari rangkaian ayat-ayat dalam Q.S. al-Ma'idah yang berbicara tentang Ahli Kitab (Yahudi dan Kristen) mulai dari ayat 41-66. As-Suyuthi dalam Lubab an-Nuqul menyebutkan dua versi riwayat asbabun nuzul bagi Q.S. al-Maidah, (5): 41 yang isinya berhubungan dengan ketentuan hukum. Versi pertama menyatakan bahwa ayat itu turun lantaran adanya ketidakadilan dalam pembayaran diyat (kompensasi bagi keluarga korban pembunuhan) di kalangan kaum Yahudi. Versi ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Ibn Abbas. Riwayat itu lengkapnya adalah sebagai berikut:

“Allah menurunkan ayat itu berkenaan dengan dua kelompok Yahudi, satunya memaksa yang lain sampai mereka berdamai. Mereka sepakat bahwa tiap-tiap orang dari kelompok bawah yang dibunuh oleh orang dari kelompok atas, diyat-nya adalah 50 wasaq. Dan tiap orang dari kelompok atas yang dibunuh oleh orang dari kelompok bawah, diyat-nya adalah 100 wasaq. Mereka terus melaksanakan kesepakatan itu sampai Rasulullah hijrah ke Madinah. Kemudian ada orang dari kelompok bawah membunuh orang dari kelompok atas. Akibatnya kelompok atas ini meminta diyat sebanyak 100 wasaq. Maka orang-orang dari kelompok bawah berkata: ‘Apakah layak bagi dua kelompok orang yang agamanya sama, asal-usulnya sama dan negerinya pun juga sama, diyat kelompok satunya hanya separuh dari diyat kelompok yang lain? Kami dahulu memberikan itu kepada kalian karena ada paksaaan dari dan ketakutan kepada kalian, dan untuk memecahkan masalah yang ada di antara kita. Adapun setelah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam datang, maka kami tidak akan memberikannya lagi kepada kalian.’ Peperangan hampir berkobar antara dua kelompok itu. Kemudian mereka sepakat menjadikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai juru damai. Mereka mengutus beberapa orang munafik untuk menguji pendapat Nabi. Maka Allah menurunkan Ya ayyyuhar Rasul…” [12]

Dalam riwayat versi kedua menyatakan bahwa ayat itu turun lantaran adanya pengubahan hukuman bagi pezina, dari rajam menjadi dijemur di tengah terik matahari dan didera. Versi ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim dan lain-lain dari al-Bara' ibn 'Azib. Lengkapnya riwayat itu adalah sebagai berikut:

“Rasulullah lewat bertemu dengan seorang Yahudi yang dijemur dan didera. Maka beliau mengundang mereka dan bertanya: ‘Begitukah kalian menemukan hukuman bagi pezina di dalam kitab kalian?’ ‘Ya,’ jawab mereka. Kemudian beliau mengundang salah seorang yang pandai ('alim) dari mereka dan bertanya: ‘Demi Allah yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, aku bertanya kepadamu, demikiankah kalian menemukan hukuman atas pezina dalam kitab kalian?’ Orang itu menjawab: ‘Tidak, seandainya engkau tidak menanyakan ini, maka saya tidak akan memberitahukan kepadamu. Hukuman atas pezina yang ditemukan dalam kitab kami adalah rajam. Namun banyak perzinaan dilakukan oleh orang-orang terhormat (kalangan atas) di antara kami. Dan jika ada orang terhormat yang melakukan perzinaan, kami biarkan. Sebaliknya jika ada orang dari ka­langan bawah melakukannya, maka kami laksanakan hukuman itu. Maka kami berembug untuk menentukan hukuman yang berlaku, baik atas ka­langan terhormat maupun kalangan bawah. Kami sepakat untuk menjemur dan mendera.’ Lalu Rasulullah bersabda: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah orang pertama yang menghidupkan perintah-Mu setelah mereka mematikannya.’ Kemudian beliau memerintahkan untuk merajam orang Yahudi itu. Dan turunlah firman Allah Ya ayyuha ar-rasul… sampai in utitum.... Mereka berkata: ‘Datanglah kepada Muhammad. Apabila dia menetapkan hukuman jemur dan dera, terimalah. Namun jika dia menetapkan hukuman rajam, hindarilah’…”[13]

Dalam Perjanjian Lama memang terdapat ketentuan tentang hukuman mati dan rajam atas orang yang berzina, yakni Ulangan, 22: 22-23. Namun Imam Bukhari dan Ibn Ishaq yang juga meriwayatkan asbab al-nuzul versi kedua itu, menyebutkan bahwa pendeta yang ditanya Nabi itu pada mulanya ketika membaca "Taurat" menutupi ayat rajam dengan tangannya. Dia baru membacanya dan berterus terang akan adanya hukuman itu setelah Abdullah bin Salam, seorang pendeta Yahudi yang masuk Islam sesampai Nabi hijrah ke Madinah, memukul tangannya itu.[14]

Mengingat banyaknya kesaksian yang menyatakan bahwa Ahl Kitab melakukan pengubahan dalam pelaksanaan aturan dalam kitab suci, maka praktek itu tampaknya merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Masalahnya adalah, apakah perbuatan mengubah pelaksanaan kitab itu sendiri yang menyebabkan mereka dikritik sehingga menjadi kafir, zalim dan fasik, ataukah ada unsur lain sehingga mereka dikritik demikian?

Al-Qur'an menetapkan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan persoalan hukum itu secara bertahap dan cenderung memberi kemurahan (dispensasi) dalam pelaksanaannya kepada orang-orang tertentu. Pentahapan dan pemberian kemurahan itu menunjukkan bahwa pelaksanaan aturan kitab suci itu perlu mempertimbangkan kondisi subyek yang melaksanakannya. Pertimbangan ini harus diambil untuk mewujudkan pelaksanaan aturan yang adil. Al-Qur'an memerintahkan agar keadilan tetap ditegakkan, meskipun terhadap diri sendiri, orangtua dan keluarga (Q.S. an-Nisa', (4): 135) dan melarang orang beriman melakukan ketidakadilan kepada kelompok lain hanya karena benci kepada mereka (Q.S. al-Maidah, (5): 8). Karena itu mengubah pelaksanaan aturan tertentu dalam kitab suci dalam batas tertentu, bisa dibenarkan oleh al-Qur'an, asal tetap memperhatikan prinsip keadilan.

Larangan al-Qur'an untuk berbuat tidak adil kepada pihak lain yang dibenci itu menunjukkan bahwa kesadaran moral yang diajarkannya kepada umat Islam –meminjam istilah Kohlberg– adalah kesadaran moral yang otonom. Kesadaran ini merupakan kesadaran moral tertinggi yang dengannya orang berorientasi pada prinsip etika universal, seperti keadilan, persamaan hak dan martabat manusia, dan kesediaan membantu satu sama lain.[15] Sebagai sebuah kitab suci dengan dasar spiritualitas dan moralitas tinggi, al-Qur'an tidak akan menggunakan standar ganda dalam memberi penilaian terhadap kelompok lain, dalam hal ini Ahli Kitab. Mereka dikritik telah kafir, zalim atau fasik, bukan karena telah mengubah pelaksanaan kitab suci, tapi karena melaksanakan pengubahan aturan secara tidak adil. Dengan demikian, jika ketiga ayat itu juga diterapkan terhadap umat Islam, maka pengertian ini juga harus dipertimbangkan.

Kemudian dengan doktrin kedaulatan hukum Tuhan, fundamentalisme menolak konsep negara bangsa (nation-state) dengan sistem demokrasinya yang meletakkan legitimasi negara pada kemauan rakyat, bukan pada agama atau etnis. Dalam pandangan kaum fundamentalis, konsep ini telah mendurhakai keimanan dan praktek religius dengan mengabaikan unsur-unsur intinya.[16]

Konsep mengenai negara bangsa (nation-state) pada dasarnya berdiri atas paham kebangsaan atau nasionalisme, yang menurut Hertz, mengandung empat unsur, yaitu: kesatuan, kemerdekaan, keaslian dan kehormatan bang­sa.[17] Namun demikian, paham tersebut menjadi debatable di kalangan umat Islam. Dalam konteks hubungan al-Qur'an dan paham kebangsaan ini, menurut Quraish Syihab adalah negatif.

Dalam al-Qur'an memang ada ayat yang menegaskan bahwa umat Nabi Muhammad adalah umat yang satu (Q.S. al-Anbiya’, (21): 92 dan al-Mu'minun, (23): 52). Dari ayat ini, kaum fundamentalisme memahami adanya keharusan umat Islam untuk bersatu dalam satu wadah negara yang disebut Daulah Islamiyah dengan sistem khilafah. Padahal jika ditelusuri lebih jauh, pemahaman seperti itu mengandung makna yang ambigu. Begitu juga ketika dikaitkan dengan konsep mengenai umat (ummah) yang menurut ar-Raghib al-Asfahani adalah “tiap-tiap kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik sesuatu itu berupa agama, waktu maupun tempat yang satu; baik pengelompokan itu terjadi secara paksa maupun atas kehendak sendiri”.[18] Merujuk pada pengertian umat ini, maka komunitas yang dimaksud al-Qur'an sebagai umat itu pada dasarnya tidak hanya kelompok manusia, tapi juga kelompok binatang yang melata di bumi dan terbang di udara (Q.S. al-An'am, (6): 38). Kemudian mengenai jumlah individu yang dapat disebut sebagai umat, al-Qur'an tidak membatasinya.[19]

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengertian umat dalam al-Qur'an sangat lentur dan mudah menyesuaikan diri; dan tidak ada batas minimal dan maksimal untuk persatuan atau pengelompokannya. Berkaitan de­ngan yang terakhir, dapat ditemukan bahwa al-Qur'an menyebutkan kata ummah yang diberi sifat wahidah (satu) sebanyak sembilan kali, sementara tidak satu kali pun menggunakan istilah wahdah al-ummah atau tauhid al-ummah (kesatuan atau penyatuan umat). Hal ini menunjukkan, seperti kata Mahmud Hamdi Zaqzuq (mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir), bahwa al-Qur'an menekankan sifat umat yang satu, bukan penyatuan umat. Ini berarti bahwa yang pokok bagi umat Islam adalah persatuan, bukan penyatuan.[20]

Persatuan kaum Muslimin sebagai umat itu dapat dilakukan dengan mereka berkelompok dalam berbagai bangsa yang membentuk negara bangsa yang berbeda-beda. Pengelompokan itu dalam banyak kasus dilakukan bersama-sama dengan para pemeluk agama lain berdasarkan asal-usul keturunan, persamaan bahasa, persamaan adat istiadat dan sejarah. Strategi berkelompok atau upaya pengelompokan seperti ini, menurut Shihab, dalam perspektif al-Qur'an dapat dibenarkan.[21]

DOKTRIN SOSIAL: PURITANISME DAN KEADILAN SOSIAL

Di bidang sosial, sebagaimana digambarkan oleh Dekmejian, fundamentalisme menekankan bahwa keluarga merupakan tonggak masyarakat, di mana laki-laki ditempatkan sebagai pemimpin dan sebagai orang yang bertanggung jawab. Sementara perempuan hanya dianggap sebagai sumber cinta dan kebaikan. Pergaulan antara laki-laki dan perempuan harus dijaga dan perempuan harus berpakaian sopan untuk memelihara martabat dan menghindari godaan. Nilai-nilai dan adat-istiadat budaya Barat ditolak sebagai sesuatu yang asing bagi Islam. Begitu juga dengan peran media massa, ia diperintahkan untuk menyebarluaskan nilai-nilai dan praktek-praktek Islam ketimbang menyebarkan pengaruh-pengaruh budaya asing. Pada bagian lain, mereka menganggap bahwa semua harta kekayaan menjadi milik masyarakat dan akhirnya menjadi milik Tuhan. Manusia hanya berada pada posisi memanfaatkan kekayaan yang didapat melalui usahanya. Islam mengakui hak-hak milik pribadi, namun membatasinya sesuai de­ngan kesejahteraan masyarakat secara umum. Kekayaan yang dikumpulkan melalui monopoli, riba dan kecurangan, dihukumi haram. Praktek zakat yang disertai dengan kebijakan negara dalam pandangan mereka akan memajukan keadilan sosial dan memperbaiki kesenjangan kelas. Dalam mempromosikan pembangunan ekonomi, masyarakat Islam harus membebaskan diri dari situasi ketergantungan pada negara-negara maju.[22]

Dalam hubungannya dengan relasi pria-wanita, perspektif al-Qur'an sebenarnya tidak sesederhana yang dikemukakan kaum fundamentalis. Manusia, baik pria maupun wanita, merupakan rnakhluk individu dan sosial. Sebagai individu, dia merupakan makhluk unik yang tidak sama dengan yang lain. Sebagai makhluk sosial, ia tidak bisa hidup sendiri dan harus hidup bersama dengan yang lain dalam keluarga dan masyarakat. Al-Qur'an memberi tuntunan bagaimana manusia mewujudkan relasi sosial yang tertib, harmonis dan konstruktif.

Tuntunan atau juga berarti perintah, dalam kitab suci agama Islam pada dasarnya mengandung makna yang bersifat umum dan khusus. Ini berkaitan dengan dua hal utama, yaitu: prinsip-prinsip yang harus mendasari relasi itu; dan yang kedua berupa petunjuk atau aturan-aturan khusus mengenai cara bagaimana hubungan itu dilakukan.

PRINSIP-PRINSIP DASAR RELASI PRIA-WANITA

Terdapat empat prinsip yang harus mendasari relasi pria-wanita sebagaimana diajarkan al-Qur'an. Keempat prinsip itu, yaitu: persamaan, persaudaraan, kemerdekaan dan keadilan. Mengenai prinsip yang pertama, persamaan, perlu ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan prin­sip ini adalah persamaan pria-wanita dalam kemanusiaannya. Sebagai manusia, pria dan wanita memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah. Mereka sama-sama dimuliakan oleh Allah sebagai keturunan Adam (al-Isra', (17): 70); diciptakan untuk menjadi hamba yang harus beribadah kepada-Nya (az-Zariyat, (51): 56) dan khalifah-Nya yang harus memakmurkan bumi (al-Baqarah, (2): 30). Dengan kedudukan itu, jika mereka beriman dan beramal saleh akan diberi kehidupan yang baik dan balasan yang terbaik (an-Nahl, 16:97); dan kelebihan yang satu dari yang lain ditentukan oleh ketakwaan (al-Hujurat, (49): 13) dan prestasinya (al-An'am, (6): 165).

Berkaitan dengan prinsip persamaan ini, memang dalam al-Qur'an memuat ayat yang arti lahirnya menunjukkan bahwa pria memiliki derajat yang lebih tinggi ketimbang wanita (al-Baqarah, (2): 228); dan dalam hadis, terdapat sabda Nabi yang secara harfiah menunjukkan bahwa wanita dalam agama dan akalnya kurang dibandingkan dengan pria (HR Imam Bukhari dan Muslim). Namun demikian, jika dipahami dari konteks internal dan eksternalnya dapat diketahui bahwa derajat lebih tinggi yang dimiliki pria itu menunjuk pada tanggung jawab sosial-ekonominya yang lebih besar dengan menjadi qawwam (penanggung jawab keluarga) yang menjadi imbangan dari wanita yang harus melaksanakan tugas-tugas reproduksinya dengan hamil melahirkan dan menyusui (S. an-Nisa', (4): 34); dan diketahui bahwa hadis itu menunjuk pada kasus ketika umat Islam di masa Nabi merayakan hari raya dengan melaksanakan Shalat 'Id, sementara ada sekelompok wanita yang ngerumpi di tepi jalan dan mengganggu atau menggoda orang-orang yang lewat.

Prinsip kedua yaitu persaudaraan. Dalam prinsip ini, al-Qur'an menyatakan bahwa manusia itu merupakan bangsa yang satu (al-Baqarah, (2): 213). Ayat ini menunjuk pada kodrat manusia sebagai makhluk sosial, di mana mereka saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain. Oleh karena kebutuhan akan hidup mereka bervariasi dan bertingkat-tingkat dan seringkali mengalami benturan, mereka diarahkan untuk bekerja sama dalam kebajikan dan ketakwaan serta menghindari tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan (al-Maidah, 5: 2).

Berkaitan dengan ini, al-Qur'an tidak menggambarkan wanita sebagai penggoda iman (fitnah) yang bisa menghalangi pencapaian ketakwaan. Tidak seperti Perjanjian Lama, al-Qur'an tidak melemparkan kesalahan kepada wanita (Hawa) sebagai penyebab terjadinya drama kosmis kejatuhan manusia ke bumi (al-Baqarah, 2: 36). Di dalamnya memang ada kisah wanita yang menggoda pria, yakni istri pembesar Mesir yang mengajak serong bersama Yusuf, namun di dalamnya juga ada kisah istri Fir'aun yang salehah dan anak Syu'aib yang pemalu.

Prinsip ketiga adalah kemerdekaan. Mengenai prinsip ini, al-Qur'an menyatakan bahwa Allah memberikan amanah kepada manusia. Amanah itu sebelumnya telah ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, namun mereka menolaknya (al-Ahzab, (33): 72). Amanah itu adalah kehendak bebas yang harus dipertanggungjawabkan ma­nusia di hadapan Allah. Dalam melaksanakan kehendak bebasnya itu manusia diberi beban sesuai dengan kemampuannya (al-Baqarah, (2): 286); dan pertanggungjawabannya akan dilakukan secara individual dengan ada ketentuan bahwa seseorang tidak memikul dosa orang lain (al-An'am, (6): 164). Dalam konteks ini pulalah, pria dan wanita akan mempertanggung-jawabkan sendiri segala apa yang dilakukannya. Permintaan pertanggungjawaban itu dibenarkan sepanjang mereka memiliki kebebasan untuk memilih dan berbuat. Dengan demikian, setiap individu pada dasarnya memiliki kemerdekaan dengan tanpa memandang jenis kelaminnya. Jika hanya pria saja yang memiliki kebebasan berbuat, maka wanita yang tidak memilikinya tidak bisa dimintai pertanggung-jawaban atas segala yang dilakukannya.

Berkaitan dengan hak kemerdekaan setiap individu, al-Qur'an tidak memberi hak prerogatif kepada pria untuk mendidik, memerintah dan melarang wanita. Amar-ma'ruf dan nahi-munkar serta saling mengingatkan akan kebenaran dan kesabaran, harus dilakukan bersama-sama baik oleh pria maupun wanita.

Prinsip terakhir adalah keadilan. Berkenaan dengan prinsip ini, al-Qur'an rnenyatakan bahwa keadilan itu merupakan kebajikan yang paling dekat kepada takwa dan diperintahkan untuk ditegakkan bagi dan terhadap siapapun (S. al-Maidah, (5): 8), baik di pemerintahan (an-Nisa', 4: 58) maupun keluarga (an-Nisa', 4: 3). Ayat-ayat di atas dengan demikian nienunjukkan bahwa keadilan pada hakekatnya menjadi dasar atau landasan bagi hubungan pria-wanita di wilayah publik dan domestik.

RELASI PRIA-WANITA DALAM KELUARGA PERKAWINAN

Al-Qur'an menegaskan bahwa perkawinan merupakan satu-satunya prosedur yang bisa ditempuh oleh pria dan wanita untuk membentuk keluarga dalam hubungan suami-isteri (S. an-Nisa', (4): 24). Dari ketentuan ini, kehadiran Islam pada dasarnya berupaya menghapus kebiasaan Arab Jahiliyah yang membolehkan prosedur pewarisan wa­nita untuk membentuk keluarga (S. an-Nisa', (4): 19) dan prosedur kumpul kebo yang dikenal dengan istilah ittikhadz akhdan (S. an-Nisa', (4): 25).

Al-Qur'an menjelaskan bahwa perkawinan itu bertujuan untuk menjaga kehormatan diri (S. an-Nisa', (4): 24 dan S. al-Maidah, 5: 5). Mengenai pihak yang harus dijaga kehormatan dirinya, al-Qur'an tidak secara jelas mendeskripsikan hal ini. Namun berdasarkan kaidah tafsir yang menyatakan bahwa pengertian umum itu lebih didahulukan daripada pengertian khusus, maka kehormatan diri yang dijaga melalui perkawinan itu adalah kehormatan diri suami.Istri dan anak-anak, bukan hanya kehormatan diri suami saja atau suami dan istri, seperti yang dikemukakan dalam tafsir klasik dan modern.

Dari pemahaman seperti itu, nikah mut'ah dan nikah di bawah tangan sebagaimana banyak dipraktekkan di Indonesia pada hakekatnya tidak bisa dianggap mencapai tujuan perkawinan yang diajarkan al-Qur'an. Argumentasi ini didasarkan karena istri yang dipersunting dan anak-anak yang diperoleh melalui dua macam perkawinan itu dipandang cacat hukum. Karenanya, akibat dari perkawin­an semacam itu tidak memiliki hak-hak sebagaimana layaknya istri dan anak yang sah.

Di samping itu tujuan di atas, al-Quran juga menyebutkan tujuan lain, yaitu untuk mendapatkan ketentraman berdasarkan cinta dan kasih sayang (S. ar-Rum, 30: 21).

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI

Di samping menegaskan beberapa hak bagi istri yang harus dipenuhi oleh suami (nafkah, mu'asyarah bilma'ruf dan tidak dibuat menderita), al-Qur'an mengajarkan hak dan kewajiban suami-isteri. Ini ditengarai dalam al-Qur'an sendiri yang mengemukakan rumusan yang adil dan uni­versal. Sebagaimana difirmankan Tuhan, “Mereka (para Istri) memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka secara ma'ruf.” (S. al-Baqarah, 2: 228). Sebagai tolok ukur untuk menentukan kesimbangan hak dan ke­wajiban suami-isteri, ma'ruf, menurut Muhammad Abduh, meliputi empat kriteria, yaitu kodrat alamiah, agama, kebiasaan dan kepribadian luhur. Berdasarkan kriteria ini, maka hak dan kewajiban istri di suatu daerah dan waktu, bahkan kelas sosial tertentu, bisa berbeda dengan hak dan kewajiban istri di daerah, waktu, dan kelas sosial yang lain, karena adanya perbedaan kebiasaan di antara mereka. Dalam hal ini, faktor yang mesti diperhatikan adalah bahwa kebiasaan yang boleh menjadi kriteria itu adalah kebiasaan yang tidak menghalalkan perkara haram dan mengharamkan yang halal.

Rumusan hak dan kewajiban sebagaimana dikemukakan al-Qur'an itu sangat jauh berbeda dengan apa yang pernah dikemukakan para ulama abad pertengahan. Pada umumnya mereka menyatakan bahwa istri tidak wajib menyusui bayinya, memasak, mencuci dan melakukan urusan-urusan rumah tangga yang lain. Kewajibannya hanya satu, yaitu siap melayani keinginan nafsu seksual suami. Kecuali dengan alasan yang dibenarkan agama atau 'uzur syar'i, seperti menstruasi; dan haknya adalah mendapatkan nafkah, tempat tinggal dan beberapa hak yang lain, istri berhak untuk tidak melayani nafsu seksual suami.

Rumusan mengenai relasi suami dan istri, jika ditelaah lebih lanjut dipastikan memiliki konteks teologis dan kultural tertentu. Dalam al-Qur'an, terdapat ayat yang menyebutkan bahwa Istri itu merupakan "harts", ladang yang bisa didatangi sesuai dengan keinginan suami (S. al-Baqarah, (2): 223) dan dalam hadis Nabi, terdapat riwayat yang berasal dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya dan istrinya itu menolak, kemudian semalaman suaminya marah, maka para malaikat melaknat istri itu sampai pagi.” (Muttafaq 'alaih).

Makna lahir ayat dan hadis ini bisa menunjukkan bahwa melayani keinginan seksual suami itu merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan istri, kapan pun dan dimana pun suami menghendaki. Berbeda dengan konteks yang lain, bahwa al-Qur'an menyatakan tentang kewajiban istri itu diperlakukan suami secara ma'ruf. "Melayani" suami, sebagai sebuah kewajiban istri, seharusnya juga ditentukan dengan kriteria-kriteria ma'ruf.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jabir, seorang sahabat Nabi. Ia menyatakan bahwa ayat itu turun berkenaan dengan adanya kepercayaan atau "mitos" di kalangan kaum Yahudi, yang menyebadani istri dari arah belakang, akan menyebabkan anak yang dilahirkannya menjadi juling. Kepercayaan itu diikuti oleh orang-orang Madinah yang kemudian masuk dalam sistem kepercayaan Islam. Ketika mereka mengetahui bahwa kaum Muhajirin melakukan persebadanan dengan posisi seperti itu, maka mereka menanyakannya kepada Nabi dan sebagai jawabannya adalah ayat itu. Jadi ayat itu diturunkan untuk membantah mitos itu, tidak untuk melegalkan eksploitasi seksual terhadap istri. Istilah ladang yang digunakan untuk menyebut istri, sama sekali tidak dimaksudkan untuk merendahkannya, sebaliknya malah untuk menghargainya. Ladang yang subur di Arab yang tandus merupakan kekayaan yang sangat berharga. Dengan demikian ayat itu menyiratkan pengertian bahwa istri itu adalah "kekayaan" yang sangat berharga yang harus diperlakukan dengan penuh kasih sayang (di-eman), sopan dan baik, tidak dengan semena-mena. Hal ini ditunjukkan oleh al-Qur'an dalam ayat lain yang menyebutkan bahwa suami dan istri itu masing-masing merupakan pakaian bagi yang lain (S. al-Baqarah, (2): 187).

Berkaitan dengan hadis di atas, kemungkinan sangat erat terkait dengan budaya pantang ghilah yang ada di kalangan bangsa Arab sebelum Islam. Ghilah adalah menyebadani istri yang sedang hamil atau menyusui. Mereka memandang ghilah sebagai tabu. Budaya itu tampaknya begitu kuat, sampai-sampai Nabi pernah bermaksud untuk melarangnya. Beliau baru mengurungkan maksudnya setelah mengetahui bahwa ghilah yang dilakukan bangsa Persia dan Romawi ternyata tidak menimbulkan akibat buruk bagi anak-anak mereka (HR Muslim dari Judzamah binti Wahb).

Pantang ghilah bagi mereka di zaman Jahiliyah tidak menimbulkan masalah, karena mereka diperbolehkan melakukan poligami dengan tanpa ada pembatasan jumlah maksimal istri yang boleh dikawini. Aturan atau praktek poligami yang seperti itu kemudian dirubah oleh Islam. Dalam Q.S. an-Nisa' (4): 3 ditegaskan bahwa poligami itu hanya boleh maksimal dengan empat istri, dan untuk pelaksanaannya suami disyaratkan harus bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya. Dengan adanya pembatasan poli­gami ini, bisa jadi menantang ghilah dirasakan berat oleh umat Islam ketika itu.

Surat an-Nisa' yang mengatur pembatasan poligami itu merupakan surat Madaniyah yang turun pada awal tahun ke-4 H. Dengan mengabaikan kemungkinan hadis di atas sebagai mursal sahabi, sabda Nabi itu paling awal dikemukakan pada tahun ke-7 H. Hal ini karena Abu Hurairah, periwayat hadis tersebut, baru masuk Islam pada tahun itu, yakni antara Perjanjian Hudaibiyah dan Perang Khaibar (M. as-Siba'i, 1978: 292). Dengan sabdanya itu, Nabi ketika itu bermaksud untuk mengatasi "kesulitan" yang dirasakan oleh lelaki Arab Muslim dan untuk menghilangkan budaya pantang ghilah yang masih diikuti oleh wanita Arab.

Di samping itu juga, terdapat kemungkinan bahwa hadis itu berkaitan dengan penolakan istri untuk "melayani" suami yang bisa mengakibatkan tidak tercapainya tujuan perkawinan untuk menjaga kesucian diri, seperti yang disebutkan dalam Q.S. an-Nisa', (4): 24 dan Q.S. al-Maidah, (5): 5. Dengan demikian Nabi menyabdakan itu, supaya suami dan istri saling menolong dalam kebajikan dan ketakwaan.

Kemudian pandangan ulama yang tidak mewajibkan istri untuk menyusui anak yang dilahirkannya, kemungkin­an besar dilatarbelakangi oleh tradisi Arab, khususnya suku Quraisy yang tidak menyusukan bayinya kepada ibunya sendiri, tapi kepada ibu asuhnya yang biasanya dicari dari pedalaman. Jika demikian, dalam masyarakat lain yang tidak mengenal budaya itu, termasuk Indonesia, ibu-ibu bisa dibebani kewajiban menyusui anak mereka, sebagai bagian dari tugas-tugas reproduksi yang harus dilakukan.

KEPEMIMPINAN DALAM KELUARGA

S. an-Nisa', (4): 34 biasanya dijadikan dasar untuk memberikan hak kepada suami untuk menjadi pemimpin bagi keluarganya. Pemahaman ini didasarkan pada salah satu pengertian dari kata qawwamun, jamak dari qawwam, yang terdapat dalam ayat itu, yakni al-amir yang berarti pemimpin. Dalam kebanyakan literatur tafsir abad tengah, seperti al-Kasyaf, dijelaskan bahwa suami sebagai pemimpin itu berkedudukan seperti pemerintah bagi rakyat, yang berhak untuk memerintah dan melarang dan untuk ditaati. Literatur tafsir modern yang masih menggunakan penger­tian itu untuk mengartikan kata tersebut, seperti al-Manar, memberikan penjelasan yang mendekati prinsip-prinsip dasar hubungan pria-wanita yang dijelaskan di atas. Dalam tafsir ini dinyatakan bahwa kepemimpinan suami bagi istrinya itu memiliki fungsi-fungsi himayah (membela), ri'ayah (melindungi), wilayah (mengampu) dan kifayah (mencukupi).

Dalam bahasa Arab, istilah qawwam juga memiliki pe­ngertian lain, yaitu al-qawy 'ala qiyam bi al-amr (orang yang kuat melaksanakan urusan). Berdasarkan pengertian ini, maka ayat itu menunjukkan bahwa suami itu harus mengurus istrinya yang juga memiliki tugas-tugas reproduksi. Dengan demikian bila dipahami berdasarkan arti ini, maka ayat tersebut tidak menunjuk hak kepemimpinan suami, tapi tanggung jawab seorang suami untuk memberikan kesejahteraan kepada istri yang hamil, melahirkan dan menyusui. Tanggung jawab dan tugas ini menjadi kelebihan masing-masing suami dan istri yang diberikan oleh Allah, sebagaimana diisyaratkan dalam frasa kedua ayat itu.


ISTRI IDEAL

Pembicaraan tentang istri ideal dalam al-Qur'an juga berangkat dari S. an-Nisa' (4): 34. Ayat ini memang tidak secara eksplisit menyatakan, bagaimana istri yang ideal itu. Ia mengemukakan pujian kepada istri salehah yang me­miliki sifat-sifat tertentu. Pujiannya ini bisa dipahami se­bagai upaya menunjuk pada kriteria istri ideal, yaitu:

Qanitah yang pengertiannya adalah taat kepada norma-norma agama, moral dan hukum yang disertai dengan ketundukan.
Hafizah yang pengertiannya adalah bisa menjaga diri dan amanah.

Ayat itu tidak menyebutkan tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap istri ideal seperti itu. Hal ini menunjukkan bahwa istri yang memenuhi kriteria itu seharusnya dipersilahkan untuk mengembangkan seluruh potensinya sebagai hamba dan khalifah. Dengan demikian dari perspektif al-Qur'an tidak masalah, apakah istri itu bekerja di luar rumah atau tidak. Yang penting seorang istri itu harus qanitah dan hafizah, dengan tidak mempedulikan dia itu wanita karier atau bukan.

POLIGAMl DAN KEKERASAN DALAM KELUARGA

Al-Qur'an membicarakan poligami dalam S. an-Nisa', 4: 3, 20 dan 129. Ayat pertama berbicara tentang kondisi yang melatarbelakangi pengaturan, syarat adil dan batas maksimal poligami dengan empat istri. Ayat kedua mengenai larangan mengambil harta yang telah diberikan kepada istri, betapa pun banyaknya, untuk biaya poligami. Sedangkan ayat yang ketiga berbicara tentang ketidak-mungkinan seorang suami berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam poligami.

Dalam konteks sosio-historis, S. an-Nisa', (4): 3 berupaya menghubungkan pengaturan poligami dengan ketidakadilan terhadap anak yatim. Pemahaman terhadap persoalan ini, bisa dilakukan dengan merekonstruksi sejarah ketika ayat itu diturunkan pada tahun ke-4 H. Diinformasikan bahwa waktu itu, Islam baru saja mengalami kekalahan besar dalam perang Uhud yang menelan korban 70 orang pria dewasa sebagai syuhada. Jumlah itu sangat besar untuk ukuran umat ketika itu yang jumlah kaum prianya hanya 700 orang. Dengan melihat situasi dan kondisi ketika itu, pria akhirnya menjadi tumpuan keluarga. Dengan gugurnya 70 pria Muslim itu, maka banyak perempuan menjadi janda dan banyak anak menjadi yatim dalam keluarga-keluarga yang kehilangan penopang ekonominya. Dengan lain ungkapan, Madinah yang dikenal sebagai pusat pemerintahan Islam yang baru tumbuh ketika itu, tengah terjadi booming janda dan anak yatim yang potensial menjadi terlantar.

Di samping itu, ketika tribalisme masih menjadi struktur sosial masyarakat Arab, hal itu tidak menjadi persoalan. Karena kepala suku yang memiliki kewajiban memberikan jaminan sosial kepada warganya, akan memberi santunan kepada mereka. Namun keadaannya kemudian berubah seiring dengan perkembangan Hijaz menjadi rute perdagangan dari Yaman ke Syiria, yang secara tidak langsung mendorong masyarakat Arab perkotaan berubah men­jadi masyarakat perdagangan dengan segala konsekuensinya, seperti individualisme, eksploitasi terhadap yang lemah dan persaingan.

Dalam konteks inilah, Islam tidak memutar jarum jam sejarah mereka untuk kembali ke masa purba, tapi memperbaiki keadaan yang ada dengan menekankan persamaan, persaudaraan dan keadilan. Karena itu ketika terjadi krisis sosial akibat banyaknya orang yang gugur di medan perang, Nabi tidak berperan sebagai kepala suku yang menyantuni janda dan anak-anak yatim yang mereka tinggalkan, tapi sebagai kepala negara yang harus menjamin kesejahteraan warganya. Karena kas negara terbatas atau bahkan tidak ada, maka warganya yang memiliki kemampuan secara mental dan materiil dihimbau untuk menanggulangi krisis itu dengan melakukan poligami sebagai katup pengaman sosial.

Dari paparan sekilas ini, bisa diketahui bahwa poli­gami dalam Islam sebenarnya menjadi aturan yang berlaku ketika terjadi darurat sosial, tidak dalam situasi normal dan "darurat" individual, seperti yang dirumuskan dalam buku-buku fiqh dan undang-undang perkawinan di beberapa negara muslim. Dan yang perlu dicatat adalah bahwa meskipun menjadi aturan darurat, poligami ketika itu tetap diberi persyaratan ketat, seperti yang disinggung di atas. Karena itu, pengaturan dan pelaksanaan poligami di kalangan umat, seharusnya mengacu pada ideal al-Qur'an itu.

Berdasarkan acuan itu, maka poligami yang dilakukan tidak karena darurat sosial itu bisa dilarang. Pelarangan poligami sekarang ini, nampaknya sudah merupakan keharusan sejarah lantaran semakin menguatnya kesadaran tentang kemanusiaan, di mana Islam ikut mempeloporinya. Di samping sosial historis itu, latar belakang budaya dari poligami termasuk juga adanya pandangan bahwa wanita itu posisinya berada di bawah pria.

Dalam kebudayaan yang maju, pandangan semacam ini semakin menyusut dan bahkan hampir sirna. Karena itu, meskipun ada yang memperjuangkan atau mendukung poligami, proses munkarisasi lembaga itu tetap berlangsung. Proses ini, sudah barang tentu tidak bisa dilepaskan dari nilai yang terkandung dalam suatu kebudayaan yang memandang kekerasan terhadap perempuan tidak hanya berupa kekerasan fisik saja, tapi juga kekerasan psikhis dan seksual. Sekarang orang menilai poligami sebagai salah satu bentuk kekerasan psikis terhadap istri (wanita).

Nilai itu bukan merupakan sesuatu yang sama sekali baru dalam Islam. Hal ini bisa dilihat dari agenda penghapusan beberapa bentuk kekerasan terhadap wanita di masa Nabi. Sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur'an:

Membunuh bayi perempuan dengan menguburkannya hidup-hidup (S. at-Takwir (81): 8-9).
Memukul (S. an-Nisa' (4): 30).
Menceraikan istri setelah tua untuk selama-lamanya (S. al-Mujadilah (58): 2).
Mengusir dari rumah (S. at-Talaq (65): 1).
Membuat sengsara dan menderita (S. at-Talaq (65): 6).
Mempersulit kehidupan wanita (S. al-Baqarah (2): 236).

RELASI PRIA-WANITA DALAM MASYARAKAT PENDIDIKAN

Dalam Islam normatif, tidak ada larangan bagi wanita untuk belajar. Bahkan dalam riwayat yang popular, disebutkan bahwa belajar itu menjadi kewajiban muslim dan muslimah. Namun dalam penafsiran tertentu, terdapat ayat yang dihubungkan dengan larangan itu, yakni S. al-'Alaq (96): 5. Dalam menafsirkan ayat ini al-Qurtubi menyatakan bahwa tidak baik bagi wanita untuk belajar baca-tulis. Karena dikhawatirkan akan menggunakan kepandaiannya untuk menulis surat kepada pria yang ditaksirnya.

HUBUNGAN SOSIAL

Dalam al-Qur'an, terdapat ayat yang seringkali dijadikan dasar bagi keharusan wanita tinggal di dalam rumah, yakni S. al-Ahzab (33): 33. Namun dari asbab an-nuzul-nya diketahui bahwa ayat itu sebenarnya tidak memerintahkan mereka untuk tinggal di rumah saja, namun memerintahkan agar mereka menjaga diri ketika berada di rumah.

KEPEMIMPINAN PUBLIK

Dalam penafsiran abad tengah setidak-tidaknya, ter­dapat dua ayat yang oleh para ulama dijadikan dasar untuk melarang wanita menjadi pemimpin publik, yakni S. al-Baqarah (2): 228 dan S. an-Nisa' (4): 34. Mereka memahami darajah dalam ayat pertama sebagai tingkat kecerdasan dan kemampuan memimpin. Sejarah telah membuktikan ketidakbenaran pemahaman ini. Di samping itu, pemahamannya terhadap ayat kedua ternyata tidak sesuai dengan ayat itu sendiri yang konteks pembicaraannya adalah mengenai peran dalam keluarga, bukan peran dalam wilayah publik.

DOKTRIN TEOLOGI AGAMA-AGAMA EKSKLUSIFISME

Sejalan dengan prinsip anti pluralisme dalam pengembangan doktrin keagamaannya, fundamentalisme pada dasarnya tengah mengembangkan teologi agama-agama dogmatis-eksklusif. Ini terlihat dengan jelas misalnya dalam penafsiran Qutb tentang Q.S. al-Baqarah (2): 62. Qutb menyatakan bahwa iman dan amal saleh merupakan syarat keselamatan bagi umat Yahudi, Kristen dan Sabiah. Dan untuk itu, yang perlu dipertimbangkan, tegasnya, adalah keimanan yang sebenarnya, bukan fanatisme agama dan kelompok. Namun ini, tegasnya lagi, hanya berlaku pada masa sebelum kerasulan Nabi Muhammad. Adapun setelah kerasulannya, maka, lanjutnya, jelas hanya bentuk ke­imanan Islam saja yang dapat menyelamatkan seluruh umat manusia.[23]

Teologi agama-agama dalam perspektif al-Qur'an lagi-lagi tidak sesedarhana yang dikemukakan kaum fundamentalis. Pandangan terhadap agama-agama lain dalam kitab suci itu di antaranya dapat ditelusuri melalui pandangannya terhadap Ahli Kitab.

Al-Qur'an sebagai dokumen yang hadir dalam sejarah perkembangan umat manusia mencatat adanya hubungan yang intens antara Islam[24] dan komunitas yang popular disebut Ahli Kitab (Ahl al-Kitab), yang berlangsung di zaman Nabi. Intensitas hubungan itu tergambar dalam banyaknya istilah yang digunakan untuk menyebut komunitas itu dan kelompok yang menjadi eksponennya, serta frekuensi seringnya istilah-istilah itu disebutkan dalam al-Qur'an.[25]

Dalam suatu literatur disebutkan bahwa istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut komunitas itu ada delapan, yaitu: ahl al-kitab, allazina utu al-kitab, allazina ataina hum al-kitab, allazina utu nasiban min al-kitab, allazina yaqra'un al-kitab, allazina utu al-'ilm, allazina utu al-'ilm wa al-iman dan ahl az-zikr. Sedang istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut kelompok yang populer menjadi eksponennya (Yahudi dan Kristen) ada enam, yaitu: bani israil, al-yahud, allazina hadu, hud (jamak dari ha'id), an-nasara dan ahl al-Injil.[26]

Di antara kedelapan istilah yang digunakan untuk menunjuk komunitas itu, yang paling banyak dijumpai adalah istilah ahl al-kitab. Dalam al-Qur'an, istilah itu dijumpai pada 31 tempat dan tersebar di sembilan surat, yaitu dalam S. Ali 'Imran (3): 64, 65, 69, 70, 71, 72, 75, 98, 99, 110, 113 dan 199; S. al-Ma'idah (5): 15, 19, 59, 65, 68 dan 77; S. an-Nisa' (4): 123, 153, 159 dan 171; S. al-Baqarah (2): 105 dan 109; al-Hasyr (59): 2 dan 11; al-Bayyinah (98): 1 dan 6; S. al-'Ankabut (29): 46; S. al-Ahzab, (33): 26; dan S. al-Hadid (57): 29.

Urutan terbanyak berikutnya adalah allazina utu al-kitab. Istilah ini digunakan sebanyak 18 kali dan tersebar di 8 surat, yaitu S. Ali 'Imran (3): 19, 20, 100, 182, dan 187; S. al-Baqarah (2): 101, 144 dan 145; S. al-Ma'idah (5): 5 (dua kali) dan 57; S. an-Nisa' (4): 47 dan 131; al-Mudasir, 74: 31 (dua kali); S. at-Taubah (9): 29; dan S. al-Hadid (57): 16.

Kemudian enam istilah yang lain digunakan dengan frekuensi yang relatif jauh di bawah dua istilah itu. Allazina ataina hum al-kitab digunakan sebanyak 6 kali dalam 4 su­rat, yakni S. al-An'am (6): 20 dan 114;[27] S. al-Baqarah (2): 121 dan 146; S. al-Qasas (28): 52; dan S. al-'Ankabut (29): 47. Allazina utu nasiban min al-kitab digunakan 3 kali dalam dua surat, yakni S. an-Nisa', (4): 44 dan 51; dan S. Ali 'Imran (3): 23. Ahl az-Zikr digunakan 2 kali dalam 2 surat, yakni S. an-Nahl (16): 43 dan S. al-Anbiya' (21): 7. Terakhir yang digunakan sekali ada tiga istilah, yaitu allazina utu al-'ilm dalam S. al-Isra' (17): 101;[28] allazina utu al-'ilm wa al-iman dalam S. ar-Rum (30): 56; dan allazina Yaqra'un al-kitab dalam S. Yunus (10): 94.

Dalam Tafsir al-Manar, terdapat perkembangan yang menarik dalam penafsiran ayat-ayat mengenai Ahli Kitab. Tidak semua ayat yang mengandung istilah-istilah itu ada tafsirnya dalam al-Manar. Kitab ini hanya memuat penafsiran ayat-ayat yang mengandung lima dari delapan istilah itu, yakni lima istilah yang pertama. Namun karena kitab itu memang tidak selesai menafsirkan seluruh ayat al-Qur'an, maka ayat-ayat yang mengandung kelima istilah itu sebagiannya juga ada yang tidak tertafsirkan di dalamnya. Hanya saja untuk tujuh ayat yang mengandung istilah ahl al-kitab (dari 31 yang ada) yang tidak ditemukan tafsirnya dalam kitab itu, dua di antaranya yang terdapat dalam S. al-Bayyinah bisa ditemukan tafsirnya dalam Tafsir al-Qur'an al-Karim (Tafsir Juz 'Amma) karya Muhammad 'Abduh.

Semua ayat yang mengandung istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut komunitas itu ditujukan dan berhubungan dengan kaum Yahudi dan atau Kristen. Karena itu, menjadi wajar jika ketika menafsirkan, 'Abduh dan Ridla selalu menghubungkannya dengan dua kelompok itu atau salah satunya, dan hanya sesekali mengaitkannya dengan komunitas pemeluk agama yang lain. Kenyataan ini bisa mengundang pertanyaan, dengan maksud apa atau pertimbangan apa mereka kemudian disebut dengan beberapa istilah itu.

Ketika menafsirkan ayat-ayat yang di dalamnya terdapat istilah ahl al-kitab, 'Abduh dan Ridla tidak menjelaskan arti dan maksud dari masing-masing kata yang membentuk istilah itu. Keduanya juga tidak menjelaskan mak­sud yang tersembunyi di balik penggunaan istilah itu untuk menyapa kaum Yahudi dan Kristen. Bagi orang yang mengetahui bahwa tafsir al-Manar itu beraliran al-adabi al-ijtima’i, kenyataan ini bisa dirasa aneh. Namun sebenarnya nuansa al-adabi (kajian sastera) tetap bisa ditemukan dalam penafsiran kitab itu terhadap ayat-ayat tersebut. Pada waktu menafsirkan ayat-ayat dari S. Ali Imran yang memuat istilah ahl al-kitab secara berurutan dalam pembicaraannya dari ayat 64-75, 'Abduh menjelaskan mengapa Ahli Kitab dalam ayat 75 tidak disebutkan dengan kata ganti orang ketiga laki-laki jamak, hum (wa minhum), padahal semestinya penyebutannya bisa diganti dengannya. Menurut Abduh, penyebutan dengan menggunakan kata asal itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa perbuatan mengambil harta orang lain secara tidak sah yang disebutkan dalam ayat itu, mereka lakukan berdasarkan kitab suci mereka.[29] Namun dari penjelasan ini kemudian, tidak bisa dipahami bahwa sebutan ahl al-kitab, menurut 'Abduh, mengisyaratkan bahwa komunitas yang disebut dengannya selalu menggunakan kitab suci sebagai alat un­tuk menjustifikasi semua perbuatan yang mereka lakukan. Dia nampaknya tidak memaksudkan sampai sejauh itu. Pengertian itu minimal relevan untuk istilah itu dalam S. Ali Imran (3): 75 itu saja. Sedang untuk istilah tersebut, dalam ayat-ayat yang lain, masih perlu dilakukan penelitian.

Keadaannya berbeda dengan ayat-ayat yang mengandung empat istilah yang lain. Ketika menafsirkan S. an-Nisa' (4): 47 yang di dalamnya ada istilah allazina utu al-kitab, Ridla menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan al-kitab dalam ayat itu adalah kitab Allah yang diturunkan kepada para nabi atau Taurat saja.[30] Alternatif arti yang pertama itu sudah barang tentu sesuai dengan kata al-kitab yang terdapat dalam istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut Ahli Kitab. Di samping itu, Ridla menjelaskan bahwa istilah allazina utu al-kitab itu mengisyaratkan bahwa kelompok yang ditunjuk dengannya seharusnya terikat dengan kitab suci yang mereka pelihara dan ketahui.[31] Penjelasan Ridla ini memang hanya dikemukakan dalam penafsiran ayat itu ketika dia membandingkan sebutan itu dengan sebutan allazina utu nasban min al-kitab yang terdapat dalam S. an-Nisa' (4): 44. Karena al-Qur'an menyatakan bahwa dalam Taurat dan Injil itu terdapat petunjuk dan cahaya, maka dalam pandangan teologi, pengertian yang dikemukakan Ridla itu bisa dibenarkan untuk diterapkan pada seluruh istilah allazina utu al-kitab sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an.

Ketika menafsirkan S. Ali 'Imran (3): 23 yang berisi istilah allazina utu nasiban min al-kitab, 'Abduh dan Ridla menjadikan kata nasib dalam istilah itu sebagai titik tolak untuk menjelaskannya. 'Abduh memandang bahwa kata itu bisa berarti bagian dalam pengertian spiritual dan materiel-spiritual. Bila diberi pengertian spiritual, maka istilah itu menunjukkkan bahwa Ahli Kitab (Yahudi dan Kristen) itu hanya memegang teguh kata-kata dari kitab suci dengan mengagungkannya dan mengagungkan apa yang tertulis di dalamnya. Namun tidak memperhatikan maknanya, de­ngan berupaya untuk memahami dan mengamalkannya.[32] Dan bila diberi pengertian spiritual-materiil, maka istilah itu menunjukkan bahwa Ahli Kitab yang memiliki kitab suci itu hanya memelihara sebagian saja dari kitab suci atau kitab-kitab suci yang diturunkan kepada mereka, dan mereka kehilangan sebagian yang lain. Di samping itu, mereka tidak menegakkan kitab suci itu dengan memahaminya secara baik dan mengamalkannya secara konsekuen.[33] ‘Abduh tampaknya lebih cenderung kepada pengertian yang pertama. Hal ini terbukti ketika ia menafsirkan S. an-Nisa' (4): 44 yang juga mengandung istilah itu. Dia mengatakan bahwa Ahli Kitab disebut dengan sebutan itu karena mereka tidak mengambil kitab suci me­reka secara keseluruhan, bahkan mereka meninggalkan dan tidak melaksanakan banyak ketentuan hukumnya dan memberi tambahan kepadanya. Menurutnya, memberi tambahan pada kitab suci sama dengan menguranginya. Sebagai contoh, Taurat melarang mereka untuk berdusta, menyakiti orang lain dan mengambil riba, namun mereka melanggar larangan-larangan itu.[34]

Sedang Ridla hanya memberi pengertian materiil pada kata nasib dalam istilah itu, tanpa menggabungkannya dengan pengertian spiritual, seperti yang dilakukan 'Abduh. Menurutnya istilah tersebut menunjukkan bahwa mereka (Ahli Kitab) tidak memelihara kitab suci seluruhnya.[35] Ke­tika menafsirkan S. Ali 'Imran (3):3, dia menjelaskan bagaimana Taurat dan Injil yang sekarang ini ada di kalangan Yahudi dan Kristen, tidak mencakup seluruh Taurat dan Injil yang diwahyukan kepada Nabi Musa dan Isa. Penjelasan ini juga disinggungnya ketika dia menafsirkan S. Ali Imran (3): 23.[36]

Kemudian penjelasan tentang mengapa komunitas itu juga disebut dengan allazina ataina hum al-kitab, bisa ditemukan dalam penafsiran Ridla tentang S. al-Baqarah (2): 121 dan S. al-An'am (6): 114. Dia memang tidak menyatakan bahwa istilah itu digunakan untuk menunjuk Ahli Kitab dengan ciri tertentu. Tapi dari penjelasannya tentang munasabah (pertautan) antara ayat dari S. al-Baqarah itu dengan ayat sebelumnya dan penjelasannya tentang frasa “mereka membacanya dengan bacaan yang benar” yang terdapat dalam ayat itu, diketahui bahwa isti­lah itu dimaksudkan untuk menunjuk Ahli Kitab yang membaca kitab suci mereka dengan tidak terikat pada pendapat-pendapat yang telah dikemukakan oleh orang-orang sebelum mereka dan mereka bersedia untuk merenungkannya,[37] sehingga diharapkan mereka bisa beriman.[38] Siapakah mereka itu? Ridla memberikan jawabannya ketika menafsirkan ayat dari S. al-An'am itu. Mereka itu adalah para ulama (rahib dan pendeta) –bukan orang-orang awam yang hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh para tokoh agama– yang mengetahui bahwa al-Qur'an itu merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.[39] Dia menyebutkan dua alasan mengapa para rahib dan pendeta diharapkan bisa beriman. Pertama, orang yang meyakini adanya wahyu dan mengetahui kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para Nabi, akan me­ngetahui bahwa al-Qur'an merupakan wahyu dengan tingkat kesempurnaan yang tertinggi. Dalam hal ini dia membuat perumpamaan dengan orang yang menulis buku tentang kedokteran dan gramatika bahasa Arab (nahw). Orang yang paling mengetahui, apakah penulis buku itu dokter dan ahli nahw atau bukan, adalah para dokter dan ahli nahw yang membaca buku itu. Begitu juga dengan al-Qur'an. Orang yang mengetahui apakah al-Qur'an itu wahyu atau bukan adalah orang yang mempercayai adanya wahyu dan turunnya kepada Nabi-nabi. Kedua, dalam kitab-kitab suci, seperti Taurat dan Injil, terdapat kabar gembira mengenai kedatangan Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam yang diketahui dengan jelas oleh ahli-ahli kedua kitab suci itu di zaman Nabi.[40]

Begitu juga dengan S. Yunus (10): 94 yang memuat istilah allazina yaqra'un al-kitab. Ridla tidak menyatakan bahwa istilah itu digunakan untuk menyebut Ahli Kitab dengan karakteristik tertentu. Dia hanya menyatakan bah­wa yang dimaksudkan dengan al-kitab dalam istilah itu adalah jenisnya, bukan kitab suci dengan nama tertentu. Ridla memberi penjelasan bahwa allailna yaqra'un al-kitab itu adalah orang-orang yang membaca kitab-kitab para nabi, seperti kaum Yahudi dan Kristen. Pemahaman semacam inilah, sesungguhnya telah membuat mereka mengetahui bahwa al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam itu merupakan kebenaran yang tidak terbantahkan.[41] Termasuk juga bahwa istilah itu dimak­sudkan untuk menunjuk Ahli Kitab yang bersikap mau membenarkan al-Qur'an sebagai wahyu.

Dari uraian di atas, sepintas bisa melahirkan kesan bahwa tidak ada perbedaan pengertian antara istilah ini dengan istilah yang dibicarakan sebelumnya. Namun per­bedaan kedua istilah itu cukup jelas, terutama dalam uraian Ridla. Allazina ataina hum al-kitab itu menunjuk kepada Ahli Kitab yang mempercayai kewahyuan al-Qur'an dan diharapkan mau beriman atau masuk Islam. Sedang allazina yaqra’un al-kitab menunjuk kepada Ahli Kitab yang mempercayai kebenaran al-Qur'an dan tidak diharapkan untuk masuk Islam.

Berkaitan dengan istilah-istilah ini, perlu diketahui bahwa dalam al-Manar, istilah ahl al-kitab digunakan secara dominan. Ketika menafsirkan ayat-ayat yang mengandung istilah-istilah yang lain, 'Abduh seringkali menggunakan ahl al-kitab untuk mengganti istilah-istilah tersebut. Uraian di bawah ini setidaknya dapat mengantarkan beberapa contoh berkenaan dengan penggunaan kata ahl al-kitab.

Di atas telah disebutkan bahwa 'Abduh dan Ridla selalu menghubungkan ayat-ayat yang berbicara tentang Ahli Kitab yang ditafsirkannya dengan kelompok Yahudi dan Kristen. Meskipun hanya sesekali dalam penyebutannya dengan kelompok lain di luar mereka. Hal ini sudah barang tentu dilakukan dengan memperhatikan kontens dan konteks pembicaraan ayat-ayat itu. Untuk S. al-Ma'idah, 5: 68 yang menyatakan bahwa Ahli Kitab itu tidak beragama dengan benar, tidak bisa tidak, harus dipahami dalam kerangka berhubungan dengan Yahudi dan Kristen. Karena dalam ayat itu ada frasa yang menyatakan “sampai kamu sekalian menegakkan Taurat dan Injil”.[42] Dan untuk S. al-Baqarah (2): 145 yang menyatakan bahwa orang-orang yang diberi Al-kitab itu tidak akan mengikuti kiblat Nabi, meskipun segala keterangan telah diberikan kepada me­reka. Terutama Ahli Kitab (Yahudi) yang bermukim di Hijaz, karena merekalah yang mengolok-olok Nabi yang telah mengubah kiblat dari al-Masjid al-Aqsha di Palestina ke al-Masjid al-Haram di Mekah.[43]

Kemudian ketika memperluas ruang lingkup Ahli Kitab yang meliputi Yahudi, Kristen dan Sabi'ah dalam pe-nafsirannya tentang S. al-Bayyinah (98): 1, 'Abduh tidak mengemukakan alasan khusus. Dia hanya menyatakan bahwa Yahudi, Kristen dan Sabi'ah yang dikatakannya mengetahui Nabi Muhammad dan segala bukti kenabian Mu­hammad, tidak akan terlepas dari kelalaian dan ketidaktahuan terhadap kebenaran. Mereka malah menyangsikan, sampai datang kepada mereka bukti yang pasti, yakni Muhammad sendiri yang membaca kitab suci (al-Qur'an) yang bersih dari campur tangan manusia dan kedustaan orang-orang yang melakukan pemalsuan.[44]

Dari penafsirannya S. al-Baqarah (2): 62 dalam al-Manar, bisa diketahui bahwa 'Abduh memasukkan kaum Sabi'ah ke dalam komunitas Ahli Kitab. Ini dilakukan karena mereka mengikuti kitab suci dan atau Nabi yang dikenal dalam tradisi agama-agama Ibrahim. Alasan ini bisa diketahui dari sikap 'Abduh yang menerima dua pandangan yang berbeda tentang Sabi'ah. Pandangan yang menyatakan bahwa mereka itu merupakan satu sekte dari agama Kristen dan pandangan yang menyatakan bahwa mereka itu adalah satu umat tersendiri yang menjadi pengikut banyak nabi yang dikenal.[45]

Berbeda dengan 'Abduh, dalam menetapkan ke-ahlikitab-an satu umat, Ridla menggunakan kriteria setidaknya memiliki kitab suci dan atau mengikuti Nabi yang dikenal, baik dalam tradisi agama Ibrahim maupun bukan. Ridla juga memasukkan kaum Majusi, Hindu (dan Jaina?), Budha, Kong Hu Cu (dan Tao?) dan Shinto ke dalam komunitas Ahli Kitab, di samping sudah barang tentu Yahudi, Kristen dan Sabi'ah. Dalam catatannya, Ridla mengungkapkan:

“Sesungguhnya kaum Majusi, Sabi'ah, kaum penyembah berhala di India dan Cina dan lain-lain, seperti orang-orang Jepang, itu memiliki kitab-kitab yang memuat ajaran tauhid sampai sekarang. Dari sejarah dan keterangan al-Qur'an diketahui dengan jelas bahwa kepada semua umat, telah diutus rasul-rasul; dan bahwa kitab-kitab mereka itu merupakan wahyu yang mengalami pengubahan, seperti yang di alami kitab-kitab Yahudi dan Kristen, yang hadir dalam sejarah lebih kemudian (dibandingkan dengan kitab-kitab Hindu dan lain-lain)”.[46]

Perbedaan antara guru dan murid itu (juga antara mereka berdua dengan kebanyakan ulama yang lain), salah satunya disebabkan karena al-Qur'an secara tegas hanya menyebutkan Yahudi dan Kristen sebagai Ahli Kitab. Kaum Majusi dan Sabi'ah memang juga disebutkan dalam al-Qur'an, yakni dalam S. al-Hajj (22): 17. Namun penyebutan mereka dalam ayat itu bersama-sama dengan kaum Mukminin, Yahudi dan Kristen, yang sama-sama dinyatakan akan diberi keputusan oleh Allah di Hari Kiamat. De­ngan demikian, ayat itu hanya menegaskan bahwa masing-masing dari kedua kaum itu merupakan komunitas yang berbeda dari tiga komunitas itu. Kemudian jika 'Abduh memasukkan Sabi'ah ke dalam komunitas Ahli Kitab, maka itu tidak bisa dilepaskan dari S. al-Baqarah (2): 62 dan S. al-Ma'idah (5): 69 yang menyatakan bahwa mereka ber­sama-sama dengan kaum Mukminin, Yahudi dan Kristen yang akan mendapatkan balasan setimpal dengan perbuatan mereka di sisi Tuhan mereka. Alasan 'Abduh yang telah disebutkan di depan muncul dari kedua atau salah satu ayat itu.

Dengan demikian, masalah ruang lingkup Ahli Kitab itu, sebagaimana dikatakan Ridla, merupakan masalah ijtihadiyah dalam penentuannya.[47] Sesuai dengan perkataannya itu, Ridla mengemukakan pandangan tentang cakupan Ahli Kitab yang meliputi 8 atau 10 kelompok umat itu. Tidak disebutkannya kaum Hindu (dan Jaina), Budha, Kong Hu Cu (dan Tao) dan Shinto dalam al-Qur'an, tidak menghalanginya untuk menyatakan bahwa mereka itu termasuk juga Ahli Kitab. Ridla mengajukan argumen, salah satunya karena bangsa Arab saat itu belum pernah bepergian ke India, Cina dan Jepang, sehingga tidak sampai berkenalan dengan peradabannya.

Selain itu, al-Qur'an memang memiliki addresat (mukhathab) yang paling utama menunjukkan bangsa Arab atau peradaban Arab. Karenanya, dalam penyampaian pesan pun, kata Ridla, al-Qur'an secara menyebutkan kelompok-kelompok yang mereka kenal, seperti kaum Sabi'ah dan Majusi yang hidup berdekatan dengan peradaban Makkah dan Madinah di Irak dan Bahrain. Namun demikian, bukan berarti menafikan mukhatab yang lain dan datang kemudian –mengenal keempat atau keenam kelompok sesudahnya–. Dalam konteks inilah, Allah tentu mengetahui fenomena keragaman umat saat itu dengan variasi ritual yang berbeda. Di samping itu, Allah pun tidak mustahil akan memberi keputusan kepada mereka, sebagaimana Dia memberi keputusan kepada kaum Sabi'ah dan Majusi.[48]

Kriteria untuk menentukan ruang lingkup Ahli Kitab yang ditetapkan 'Abduh dan Ridla menemukan ketepatannya. Termasuk dalam hal ini, merujuk kepada kaum Muslimin yang menjadi pengikut Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dan memiliki kitab suci al-Qur'an. Namun keduanya menolak memasukkan mereka ke dalam komunitas Ahli Kitab dengan alasan karena mereka merupakan umat terbaik, sebagaimana ditegaskan S. Ali Imran (3): 110. Karenanya, penyebutan ahlu kitab terhadap kaum muslim menjadi tidak perlu. Meskipun penyebutan itu dilakukan, maka tidak sesuai dengan kebiasaan al-Qur'an yang tidak pernah sekali pun menggunakan sebutan ahl al-kitab untuk mereka.[49]

Keterangan lainnya adalah mengenai lima ayat dalam al-Qur'an yang membicarakan keselamatan Ahli Kitab.[50] Salah satu di antaranya adalah S. al-Hadid (57): 27. Ayat ini secara khusus membicarakan keselamatan para pengikut Nabi Isa. Meskipun dalam al-Manar tidak disebutkan penafsiran atas ayat ini, penafsiran akan dititikberatkan pada keempat ayat yang lain. Satu di antara keempat ayat itu menggunakan kalimat kondisional (S. al-Ma'idah (5): 65), sedang tiga ayat lainnya menggunakan kalimat berita, yakni S. al-Baqarah (2): 62, S. Ali 'Imran (3): 199 dan S. al-Ma'idah (5): 69.[51] Di bawah ini, terjemahan ayat-ayat itu antara lain:

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabi'ah, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Kemudian dan beramal saleh, maka mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada ketakutan pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (S. al-Baqarah, 2: 62).

“Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka, sedang mereka berendah hati kepada Allah dan tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.” (S. Ali 'Imran (3): 199).

“Dan sekiranya Ahli Kitab beriman dan bertakwa, tentulah Kami hapus kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka ke dalam surga-surga yang penuh kenikmatan.” (S. al-Ma'idah, 5: 65).

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, Sabi'ah dan Nasrani, siapa saja yang ber­iman kepada Allah, Hari Kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada ketakutan pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (S. al-Ma'idah, 5: 69).

Ketika menafsirkan S. al-Baqarah, 2: 62, 'Abduh menyatakan bahwa ayat itu menjelaskan sunnah Allah (hukum universal) yang berlaku bagi seluruh umat beragama yang hidup di masa lalu, sekarang dan akan datang. Dengan merujuk pada ayat itu, 'Abduh meyakini bahwa aktivisme sejarah umat manusia itu berjalan paralel dengan sunnatullah. Secara literal, ayat tersebut menyebutkan “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari kiamat dan melakukan amal saleh, baik mereka itu orang Islam, Yahudi, Kristen maupun Sabi'ah, maka mereka akan mendapatkan pahala mereka di sisi Allah…,”[52]

Pernyataan 'Abduh di atas yang menghubungkan ayat itu dengan S. an-Nisa' (4): 123-124 merupakan kerangka atau alur argumentasi. Dua ayat dari S. an-Nisa' menyatakan bahwa pahala dari Allah itu tidak berdasarkan angan-angan kosong kaum Muslimin dan Ahli Kitab (yang pada umumnya menyatakan bahwa masing-masing dari mereka sendirilah yang selamat). Namun pahala itu pada dasarnya tidak terlepas dari ketentuan Allah, yakni orang yang melakukan kejahatan akan dibalas dengan kejahatannya; dan orang yang melakukan kebaikan, baik dia itu laki-laki maupun perempuan, asal beriman akan masuk surga.

Berdasarkan kerangka ini, ‘Abduh memandang bahwa tidak masalah menggunakan frasa “siapa saja yang ber­iman kepada Allah dan hari kiamat” dalam S. al-Baqarah, (2): 62 untuk memahami frasa sebelumnya yang menyatakan “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, Yahudi, Kristen dan Sabi'ah”. Sehingga maksud ayat itu dapat dipahami sebagaimana rumusan tekstualnya.[53]

Sebagaimana uraian tafsir al-Manar di atas, dalam kenyataan yang lain telah membuat kitab tafsir ini mengakomodasi pandangan yang inklusif. Ini menjadi monu­mental, karena al-Manar ternyata dihadapkan pada banyak kitab tafsir yang mengakomodasi eksklusif dan itu lebih dominan di kalangan umat. 'Abduh, Ridla dan para penafsir yang lain sebenarnya tidak berbeda dalam menentukan status gramatikal dari frasa “siapa saja yang beriman…”, yakni sebagai badal (pengganti) dari frasa sebelumnya “sesungguhnya orang-orang mukmin…” Namun ada perbedaan dalam menentukan hubungan antara dua frasa itu. Keduanya memasukkan pengertian frasa kedua ke dalam frasa pertama (badal ba'dl min kull), sehingga pengertian kedua frasa itu jika digabungkan menjadi “orang-orang yang beriman dan melakukan amal saleh dari kalangan kaum Muslimin, Yahudi, Kristen dan Sabi'ah”.

Sementara itu, mereka menyatakan bahwa kedua frasa itu masing-masing berdiri sendiri. Frase kedua berada pada posisi menggantikan yang pertama (badal kull min kull). Sehingga pengertian dua frasa itu tidak bisa digabung. Dengan pemposisian seperti itulah, maka tidak bisa dipahami bahwa di antara Yahudi, Kristen dan Sa­bi'ah, terdapat orang yang beriman dan melakukan amal saleh yang akan selamat. Untuk selamat mereka harus beriman dengan pengertian menjadi Muslim secara benar dan melakukan amal saleh. Lalu bagaimana dengan pe­ngertian "orang-orang mukmin" yang terdapat di awal frasa pertama?

Para mufassir pada umumnya menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ungkapan itu adalah orang-orang beriman yang belum tulus imannya atau orang-orang yang dituntut untuk senantiasa beriman secara benar dan melakukan amal saleh, sebagaimana tiga kelompok yang lain.[54]

Abduh, Ridla dan para mufassir lainnya, sudah barang tentu menyadari bahwa dari perspektif Islam, terdapat sesuatu yang salah dalam ajaran dan praktek yang dianut dan dilakukan oleh kaum Yahudi, Kristen dan Sabi'ah pada umumnya. Namun dalam pandangan kedua mufassir (‘Abduh dan Ridla), tetap saja menyatakan bahwa di antara mereka itu terdapat orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat dan melakukan amal saleh. Jumlah mereka, kata ‘Abduh, hanya sedikit dan tersembunyi dalam lipatan-lipatan sejarah atau di lereng-lereng gunung dan pelosok-pelosok negeri. Oleh agama resmi, mereka malah didakwa sebagai kafir dan pengikut ajaran sesat (bid’ah).[55]

Untuk memperoleh keselamatan, dua syarat sebagaimana telah dikemukakan di atas, harus dipenuhi dengan benar. Kebenaran iman di sisi yang lain harus pula meliputi kebenaran baik secara doktrinal maupun spiritual. Di samping itu, untuk memiliki kebenaran iman secara doktrinal, kaum Yahudi, Kristen dan Sabi'ah, kata ‘Abduh, tidak mesti harus beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dan untuk memiliki kebenaran iman secara spiritual, mereka harus memiliki iman yang mampu menjadi landasan dalam upaya memperbaiki akhlak dan sumber bagi perbuatan-perbuatan baik. Adapun amal saleh yang benar yang harus dimiliki adalah perbuatan yang dengannya, diri mereka dan urusan mereka dengan orang-orang yang hidup bersama mereka menjadi baik.[56] Hanya saja dua syarat keselamatan seperti itu, sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah, hanya khusus bagi Ahli Kitab. Yakni mereka yang tidak menerima dakwah Nabi atau yang menerima namun dalam kadar keislaman yang rendah dan memerlukan bimbingan spiritual.

Berkaitan dengan keselamatan Ahli Kitab, ‘Abduh menegaskan bahwa kaum Yahudi dan Kristen bukan ahl al-fatrah yang syarat keselamatan bagi mereka bisa dikatakan tidak ada, dan kalau ada pun, syarat itu sangat ringan. ‘Abduh menyebutkan bahwa ahl al-fatrah bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, orang-orang yang tidak menerima dakwah Islam yang benar dan membuat mereka berubah pikiran. Seperti orang-orang Amerika di zaman Nabi. Me­reka ini menurut ulama Asy'ariyah dengan sendirinya akan selamat. Kedua, orang-orang yang menerima berita bahwa ada Nabi-nabi yang diutus. Namun tak sedikit pun ada aturan agama yang sampai kepada mereka, sehingga mereka hanya beriman secara garis besar, seperti kaum Hunafa' dari bangsa Arab yang beriman kepada Nabi Ibrahim dan Isma'il, dan mereka tidak mengenal sedikit pun ajaran yang murni dari agama yang diajarkan kedua Nabi itu. Menurut kebanyakan ulama, ahl al-fatrah kelompok kedua ini untuk bisa selamat hanya disyaratkan bahwa mereka harus beriman kepada Allah dan hari kiamat. Kedua obyek keimanan inilah yang merupakan rukun agama yang paling pokok.[57]

Kaum Yahudi, kata ‘Abduh, tidak bisa disebut sebagai ahl al-fatrah. Karena meskipun mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepadanya dan mengubah kitab suci, namun ajaran pokok dari agama Yahudi yang asli, masih mereka ketahui dan bisa dijadikan pegangan dalam mengamalkan agama. Demikian juga dengan umat Kristen, mereka tidak bisa disebut sebagai ahl al-fatrah karena pesan dan ajaran dari Nabi-nabi yang sejati masih bisa ditemukan dalam kitab suci mereka, yakni Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Karena itu, lanjut ‘Abduh, tidak ada alasan pemaaf yang bisa membebaskan mereka dari hukuman (la 'uzr lahum dun al-'uqubah).[58]

Adapun kaum Sabi’ah, menurut ‘Abduh, berbeda de­ngan Yahudi dan Kristen. Mereka dapat dikategorikan se­bagai ahl al-fatrah dan bisa juga tidak. Mereka bisa disebut ahl al-fatrah, jika mereka disamakan dengan kaum Hunafa' dari bangsa Arab. Sebagaimana telah disebutkan di atas, mereka pada kenyataannya beriman kepada banyak Nabi yang terkenal. Meskipun mereka juga memiliki tradisi dan hukum yang tidak dimiliki oleh bangsa Arab, mereka mengalami kekaburan dalam ajaran. Ini bisa dilihat pada bangsa dari keturunan Isma'il. Kemungkinan yang lain adalah menyamakan mereka dengan kaum Yahudi dan Kristen. Hal itu karena mengingat banyaknya persamaan yang ada antara tradisi mereka dengan agama Kristen, seperti pembaptisan, pengakuan dosa dan pengagungan hari Minggu. Sehingga bisa jadi mereka itu merupakan satu sekte dari agama itu.[59]

Beberapa persyaratan keselamatan bagi Ahli Kitab, sebagaimana disebutkan dalam S. al-Baqarah (2): 62 itu memiliki kesamaan dengan S. al-Ma'idah (5): 69. Namun memiliki perbedaan, terutama dengan S. Ali 'Imran (3): 199. 'Abduh dalam hal ini memberi penjelasan dengan menyatakan bahwa ayat dari S. al-Baqarah itu (juga dari S. al-Ma'idah) pada dasarnya membicarakan keselamatan Ahli Kitab. Karena mereka tidak menerima pesan dan dakwah Nabi, mereka diperlakukan seperti Ahli Kitab yang hidup sebelum kedatangan Nabi. Sedang ayat dari S. Ali Imran itu berbicara tentang keselamatan Ahli Kitab yang me­nerima dakwah Nabi dan mereka memahami atas kebenaran Islam.[60]

Penjelasan keduanya ini tentu tidak bisa dilepaskan dari salah satu riwayat asbab an-nuzul yang menjelaskan latar belakang turunnya S. Alu Imran (3): 199. Dari ar-Razy mereka mengutip beberapa riwayat yang berbeda-beda. Di antara riwayat-riwayat itu, ada yang menyebutkan bahwa ayat itu turun berkenaan dengan an-Najasyi, Raja Habasyah (Ethiopia), yang meninggal masih dalam keadaan menjadi Kristen, namun Nabi menshalatkannya (dengan shalat Ghaib). Riwayat lain menyebutkan bahwa asbab an-nuzul-nya berkenaan dengan 'Abd Allah ibn as-Salam dan kawan-kawan, 40 orang Kristen Najran, 32 orang Kristen Habasyah, 8 orang Kristen dari Romawi. Di samping itu, riwayat lainnya juga menyebutkan adanya hubungan de­ngan seluruh Ahli Kitab yang masuk Islam. Tanpa menjelaskan alasan, ‘Abduh dan Ridla memahami ayat itu dengan pemahaman yang sesuai dengan riwayat pertama, yang sebelumnya juga dikutipnya dari Lubab an-Nuqul. Mereka memandang bahwa ayat tersebut berbicara mengenai Ahli Kitab yang menerima kebenaran Nabi.[61]

Sebagaimana uraian penafsiran S. Ali 'Imran, 3: 199 itu, 'Abduh dan Ridla menggali lima syarat bagi keselamatan Ahli Kitab yang menerima dakwah Nabi dan meyakini atas kebenaran Islam. Pertama, beriman kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Yaitu keimanan yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan kepatuhan dalam melakukan kebaikan. Kedua, beriman kepada al-Qur'an yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Kedua syarat di atas, menurut kebanyakan mufassir merupakan syarat pokok dan karenanya berada pada posisi awal keimanan. Selain karena sikap teologis menjadi persoalan mendasar, al-Qur'an merupakan landasan bagi upaya mewujudkan kehidupan yang damai dan sentosa. Ketiga, beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan kepada Nabi-nabi. Keempat, rendah hati (tawadhu’) dan kelima, tidak menjual ayat-ayat Allah dengan apapun dari kesenangan dunia.[62]

Dalam penafsiran S. Ali 'Imran (3): 199, 'Abduh mengakui adanya Ahli Kitab yang memenuhi kelima syarat itu. Hanya saja ia mengatakan bahwa jumlah mereka itu sedikit dan mereka itu merupakan orang-orang pilihan dalam hal ilmu (intelektual) dan memiliki ketajaman penglihatan batin. 'Abduh juga menjelaskan alasan sedikitnya ahli kitab yang memenuhi syarat itu adalah karena Ahli Kitab terlena oleh kitab suci mereka dan merasa tidak membutuhkan pihak lain. Jika keadaannya memang demikian, maka sangat wajar jika mereka menjadi orang-orang yang paling jauh untuk bisa percaya kepada kebenaran Nabi.[63]

Uraian persyaratan sebagaimana disebutkan pada tiga ayat yang bersifat informatif di atas, memiliki perbedaan dengan S. al-Ma'idah (5): 65 yang menggunakan kalimat kondisional. Ayat ini menyebutkan dua syarat bagi keselamatan Ahli Kitab, beriman dan bertakwa. Ketika menafsirkan ayat itu, Ridla menyatakan bahwa untuk mendapatkan pengampunan dan surga, mereka harus beriman kepada Nabi Terakhir (Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam) dan dalam rangka mengikutinya mereka harus bertakwa. Selain itu harus pula meninggalkan semua perbuatan kejahatan yang selama ini mereka lakukan.[64]

Tidak seperti penafsiran dua ayat sebelumnya, 'Abduh tidak mengaitkan konsep keselamatan dengan persoalan sampai dan tidaknya dakwah Islam kepada ahli kitab. Sebagai karya tafsir al-Qur'an, al-Manar merupakan kitab yang harus dibaca secara utuh. Penulis dalam hal ini berpendapat bahwa meskipun ada kemungkinan murid 'Abduh itu telah bepubah pikiran, penafsiran yang dikemukakannya tetap harus dikaitkan dengan penerimaan dakwah itu. Dengan demikian, terdapat dua syarat yang disebutkan dalam S. al-Ma'idah (5): 65. Begitu juga memiliki kesamaan dengan lima syarat yang disebutkan dalam S. Ali Imran (3): 199. Itu semua menurut kebanyakan ahli tafsir menjadi syarat-syarat keselamatan bagi Ahli Kitab yang menerima dakwah Nabi dan mempercayai atas kebenaran Islam. Sementara itu, bagi mereka yang tidak menerima dakwah Nabi dan tidak mempercayai kebenaran Islam, maka syarat keselamatannya harus memenuhi dua syarat sebagaimana disebutkan dalam S. al-Baqarah (2): 62.

Bahwa ruang lingkup ahli kitab luas, menurut Ridla bisa selamat asalkan memenuhi syarat-syarat itu. Persoalannya bukan semata Yahudi dan Kristen, akan tetapi termasuk juga kelompok-kelompok Ahli Kitab yang lain. Sedikit berbeda juga, ketika menyebutkan wanita-wanita Ahli Kitab yang boleh dikawini oleh pria Muslim. 'Abduh dalam hal ini dia tidak menyebutkan seluruh kelompok itu dan hanya menyebutkan satu kelompok selain dua kelom­pok itu, yakni Majusi. Dalam catatannya, 'Abduh menyatakan:

“Kami berpendapat bahwa ayat itu mencakup an-Najasyi dan orang-orang selain dari golongan Yahudi dan Kristen yang memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat itu. Begitu juga dengan kaum Majusi, yang menurut satu pendapat dari 'Aly ibn Abu Thalib, dikatakan sebagai Ahli Kitab. Namun kita tidak mengetahui seorang pun dari mereka yang masuk Islam di masa turunnya al-Qur'an, kecuali Salman al-Farisi”.[65]

Selanjutnya, mengenai wujud keselamatan dan ketidakselamatan Ahli Kitab, terdapat perbedaan jumlah sebagaimana disebutkan masing-masing dari tiga ayat itu. S. al-Baqarah (2): 62 misalnya, menyebutkan tiga wujud, yaitu: mendapatkan pahala di sisi Tuhan, tidak mengalami ketakutan dan tidak bersedih hati. Sedang S. Ali 'Imran (3): 199 hanya menyebutkan satu, yang pertama. S. al-Ma'idah (5): 69 hanya menyebutkan dua yang terakhir dari tiga wujud yang disebutkan dalam ayat dari S. al-Baqarah itu.

Di samping mengenai perwujudan keselamatan, penjelasan mengenai subyeknya dibicarakan dalam S. al-Baqarah (2): 62. Subyek yang terkandung dalam ayat ini berbeda dengan subyek yang dibicarakan dalam S. Ali 'Imran (3): 199. Baik 'Abduh maupun Ridla sama-sama tidak menyoal perbedaan subyek. Keduanya hanya memberikan penjelasan yang berbeda mengenai akibat perbuatan ahli kitab. Mengenai konsep pahala di sisi Tuhan sebagaimana termaktub dalam S. al-Baqarah, menurut 'Abduh dan Ridla merupakan pahala yang dijanjikan Allah dan telah diketahui rasul-rasul Allah yang diutus.[66] Sedang dalam S. Ali Imran, 'Abduh menjelaskannya sebagai pahala yang setimpal di sisi Tuhannya. Dalam menafsirkan ayat ini, 'Abduh juga menegaskan bahwa pahala yang sesuai dengan mereka itu akan diberikan Allah di akhirat.[67]

Mengenai dua wujud keselamatan yang lain, baik 'Abduh maupun Ridla sama sekali tidak menyinggungnya. Apakah akan diberikan kepada subyek yang disebutkan dalam S. Ali Imran (3): 199, yakni Ahli Kitab yang menerima dakwah Nabi dan mempercayai kebenaran Islam, ataukah tidak. Ketika menafsirkan S. al-Baqarah (2): 62, 'Abduh maupun Ridla hanya mengatakan bahwa masing-masing frasa yang menyebutkan dua wujud keselamatan itu sudah dijelaskan dalam S. al-Baqarah (2): 38. Ayat terakhir inilah yang memuat frasa yang sama dengan dua frasa itu. Dalam penjelasannya, 'Abduh menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “tidak ada ketakutan pada mereka” itu adalah mereka yang tidak mengalami ketakutan akan menerima azab dari Allah swt pada hari ketika orang-orang kafir dan orang-orang jahat mengalaminya. Dan ungkapan “tidak bersedih hati” maksudnya adalah tidak bersedih karena mereka mendapatkan segala apa yang mereka inginkan.[68] Kemudian, mengenai wujud keselamatan berupa jannat an-na'im sebagaimana disebutkan dalam S. al-Ma'idah (5): 65, dipahami sebagai bentuk kenikmatan yang dijanjikan bagi subyek yang dibicarakan dalam S. Ali 'Imran (3): 199. Ridla dalam hal ini mengilustrasikannya dengan surga-surga yang penuh kenikmatan tanpa ada penderitaan di dalamnya.[69]

Adapun wujud ketidakselamatan bagi ahli kitab disebutkan dalam S. al-Bayyinah (98): 6. Dalam ayat itu, mereka akan masuk ke dalam neraka Jahanam. Dalam penafsirannya, 'Abduh tidak menjelaskan rincian siksaan yang akan mereka terima di neraka itu. 'Abduh hanya menjelaskan bahwa Jahanam itu adalah tempat penyiksaan di akhirat yang wajib untuk diyakini adanya dan tidak memerlukan pembahasan mengenai api neraka dan tempat keberadaannya. 'Abduh bahkan menambahkan pembahas­an mengenai dua persoalan ini berada di luar jangkauan akal manusia.[70]

Terakhir, berkaitan dengan wujud keselamatan ahl al-fatrah. Karena tidak ada sumber yang dikutip, 'Abduh dan Ridla tidak menjelaskan bagaimana wujudnya. Tentang hal ini, Ridla hanya menyatakan bahwa tidak masuk akal jika mereka itu semuanya masuk surga dan mendapatkan keselamatan yang sama dengan yang diperoleh para pengikut Nabi-nabi yang memiliki iman dan melakukan amal saleh. Jika halnya demikian, maka pengutusan Rasul-rasul itu menjadi negatif bagi sebagian besar umat manusia. Yang masuk akal, menurut Ridla adalah bahwa Allah akan mengadili mereka dan memberi ganjaran yang sesuai de­ngan pengetahuan dan kepercayaan mereka tentang kebenaran dan kebaikan.[71]

Dari beberapa uraian di atas, pandangan al-Manar tentang keselamatan Ahli Kitab secara historis terpengaruh oleh al-Ghazali. Pengaruh ulama abad tengah ini, tampak dengan jelas dalam pandangan inklusif yang dianut Abduh dan Ridla. Terdapat perbedaan antara "inklusifisme" yang dikemukakan dalam penafsiran al-Manar dengan pluralisme yang dikemukakan dalam tasawuf. Para sufi tidak mensyaratkan beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam bagi Ahli Kitab yang menerima dakwah Islam secara benar untuk mendapatkan keselamatan. Sementara ‘Abduh dan Ridla menetapkan persyaratan itu dan bersifat mutlak.

Pada dasarnya penetapan baik ‘Abduh maupun Ridla itu memiliki kesamaan dengan penetapan yang terdapat dalam riwayat Mujahid lainnya. Kenyataaan ini bisa menimbulkan pertanyaan, apakah riwayat itu mempengaruhi penafsirannya? Jawaban atas pertanyaan ini, tampaknya negatif. Riwayat tersebut bisa dipahami secara berbeda, sebagaimana disebutkan di atas. Jika riwayat itu sempat terbaca oleh ‘Abduh dan Ridla, maka tidak diketahui pengertian apa yang mereka tangkap darinya. Yang jelas ketika menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan keselamatan Ahli Kitab, mereka sama sekali tidak pernah mengutip dari Mujahid. Tokoh yang memiliki pandangan inklusif yang mereka kutip hanyalah al-Ghazali. Ketika menafsirkan S. al-Baqarah (2): 62, mereka mengutip pendapatnya tentang pembagian umat Kristen –dalam penulisan tafsirnya, ‘Abduh menggantinya menjadi umat manusia– dilihat dari segi sampai dan tidaknya dakwah Islam kepada mereka.

Dari segi itu, menurut al-Ghazali, mereka dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang sama sekali tidak mendengar apalagi mengenal dengan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kelompok ini menurut al-Ghazali dapat dimaafkan. Kedua, kelompok yang mengenal nama dan sifat Nabi serta meyakini akan kemukjizatannya. Kelompok kedua ini adalah orang-orang yang tinggal berdekatan dengan negeri-negeri Islam dan hidup bergaul dengan kaum Muslimin, namun mereka tidak beriman kepadanya. Kategori kelompok ini termasuk orang-orang yang dianggap kafir yang ingkar. Ketiga, kelompok yang berada di antara kedua kategori sebelumnya. Mereka menerima dakwah Nabi, namun tidak cukup memadai untuk mempercayainya sebagai Nabi. Mereka berada dalam posisi yang gamang antara kenabian Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dan atau Ibn al-Muqaffa. Karenanya kategori ketiga ini, mereka dimasukkan ke dalam kelompok pertama. Karena meskipun mereka mendengar nama Nabi, namun mereka tidak mengetahui kebenaran ajarannya. Dari polarisasi umat manusia di atas, al-Ghazaly menyatakan bahwa sebagian besar kaum Kristen di Romawi dan Turki di zamannya insya Allah akan mendapatkan rahmat dari-Nya.[72]

Adanya persamaan pandangan antara ‘Abduh dan Ridla dengan al-Ghazaly mengenai keselamatan Ahli Kitab dalam hal sampai dan tidaknya dakwah Islam kepada mereka, sangat jelas. Ini setidaknya diperlihatkan pada beberapa karya tafsir ‘Abduh dan Ridla sering mengutip pendapat al-Ghazali. Hanya saja pengaruh ulama yang populer dengan sebutan Hujjah al-Islam itu tidak mencakup keseluruhan ide inklusifisme mereka. Al-Ghazali, seperti Ibn Taimiyah dan ulama-ulama lain, memandang bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah Nabi terakhir yang syari'at agamanya mengganti atau menghapus berlakunya (naskh) syariat agama-agama sebelumnya (Yahudi, Kristen dan Sabi'ah).[73] Sehingga menurut al-Ghazali, Ahli Kitab yang menerima dan memahami dakwah Islam, untuk mendapatkan keselamatan atau –menurut istilahnya– rahmat dari Allah, harus beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dan mengikuti syari'at agamanya.

Al-Manar (Ridla) juga memiliki pandangan yang sama, yakni bahwa kehadiran syari'at Islam itu pada dasarnya menghapus semua syari'at yang dibawa para Nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam (naskh as-syara'i). Namun ‘Abduh, dalam kesaksian yang diberikan Ridla, tampaknya tidak mensyaratkan keharusan mengikuti syari'at Islam untuk mendapatkan keselamatan bagi Ahli Kitab.[74]

Uraian di atas telah dijelaskan bahwa untuk men­dapatkan keselamatan, ahli kitab harus memenuhi lima syarat sebagaimana disebutkan S. Ali 'Imran (3): 199. Kelima syarat itu salah satu di antaranya adalah beriman kepada al-Qur'an. Ketika menafsirkan ayat itu, baik ‘Abduh maupun Ridla tidak menjelaskan apakah beriman kepada al-Qur'an yang menjadi syarat keselamatan mereka itu –dalam pengertian percaya dan mengamalkan kitab itu– ataukah cukup percaya kepadanya saja. Dari ambiguitas ini, pengertian yang dimaksudkan dari syarat itu tentunya harus dicari dalam penjelasan mereka di tempat yang lain. Dalam penafsiran S. Ali 'Imran (3): 19 mengenai Islam, ‘Abduh menyatakan:

“Orang Muslim yang sebenarnya menurut ketentuan al-Qur'an adalah orang (yang imannya) bersih dari campuran kemusyrikan kepada Tuhan Yang Maha Penyayang, ikhlas dalam perbuatan-perbuatan yang dilakukannya yang disertai iman, dari agama apa pun dia berasal, dan di zaman kapan pun dan di tempat mana pun dia berada”.[75]

Kemudian ketika menjelaskan pengertian tentang Islam dalam S. Ali Imran (3): 85, ‘Abduh menyatakan bahwa yang dimaksud dengan "Islam" dalam ayat itu adalah "Islam" yang dalam kesempurnaannya merupakan buah dan tujuan dari iman, dan menjadi agama yang diajarkan oleh semua Nabi. Agama yang bukan "Islam" dalam pengertian ini, tegasnya, hanya merupakan simbol dan tradisi yang oleh pengikutnya dijadikan ikatan kelompok, alat solidaritas dan sarana untuk memperoleh keuntungan duniawi. Berdasarkan frasa terakhir dalam ayat itu, ‘Abduh menegaskan lagi bahwa agama yang bukan "Islam" akan membuat hati bertambah rusak, jiwa bertambah gelap, menambah permusuhan di dunia dan kerugian di akhirat.[76] Senada dengan itu, Ridla menambahkan bahwa "Islam" yang menjadi agama yang diterima oleh Allah itu adalah murni dan tulus (ikhlas) dalam bertauhid, beribadah dan mengikuti ajaran-ajaran yang ditunjukkan-Nya melalui para rasul-Nya. Islam dalam pengertian ini, tegasnya, merupakan agama yang diajarkan oleh semua Nabi yang diutus untuk memberi petunjuk kepada umat manusia. Dalam bagian lain, ‘Abduh juga menegaskan bahwa Islam yang diidentikkan dengan agama yang dianut oleh kaum Muslimin itu merupakan istilah yang digunakan berdasarkan adagium “agama adalah yang diikuti oleh orang-orang yang beragama”. Sehingga ia merupakan Islam menurut kebiasaan (al-Islam al-‘Urfy), bukan Islam menurut pengertian yang sebenarnya (al-Islam al-Haqiqy).[77]

Dalam penafsiran S. Al Imran (3): 19, Ridla menyebutkan bahwa agama yang dipeluk orang "Muslim" itu memiliki kesamaan dengan millah. Islam di hadapan Ridla tidak ubahnya merupakan "sekumpulan beban agama".[78] Dengan demikian, untuk menjadi "Muslim", orang tidak harus mengamalkan beban-beban agama yang terdapat dalam syari'at yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Berdasarkan penjelasan mereka ini, maka beriman kepada al-Qur'an yang menjadi syarat bagi keselamatan Ahli Kitab adalah mengikuti pengertian yang kedua, yakni percaya kepadanya dan membenarkannya. Pengertian ini sesuai dengan keyakinan Ridla terhadap Christophorus Jabbarah, seorang anggota Jam'iyah at-Taqrib bain al-Adyan yang beragama Kristen, tapi menganut tauhid dan menegaskan bahwa dalam Injil dan surat-surat para rasul tidak ada ayat yang menunjukkan ajaran Trinitas. Christophorus Jab­barah tetap beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci, para rasul, hari kiamat, al-Qur'an dan kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Namun Christophorus, seperti yang disebutkan Ridla, berbeda dengan kaum Muslimin dalam hal kepercayaannya mengenai penyaliban Yesus. ‘Abduh mengakui keislaman Christophorus, dalam pengertian sebagai orang yang tidak mengingkari ajaran yang disepakati. Meskipun dimakamkan secara Kristen, karena sebelum meninggal dia mengaku sebagai pengikut Gereja Ortodoks, Ridla meyakini keimanan dan keselamatan orang itu di hadapan Allah.[79]

Jika penjelasan itu yang dipegang, tentunya tidak sesuai lagi dengan pandangan naskh as-syarai’ yang dianut al-Manar. Dalam kitab ini, Ridla memberikan penafsiran secara rinci terutama S. al-Ma'idah (5): 48 yang mengata-kan bahwa Allah telah menetapkan aturan (syir'ah) dan jalan (minhaj) bagi tiap-tiap umat. Ketika menafsirkan ayat itu, Ridla menyatakan bahwa syari'at yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam pada dasarnya menghapus syari’at Ahli Kitab (Yahudi dan Kristen).[80] Pernyataannya ini didasarkan pada keyakinan bahwa Allah telah menyempurnakan agama-agama dengan agama Islam dan mengutus Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai Nabi yang terakhir untuk seluruh umat manusia. Karena kesempurnaan dan kemudahannya, sya­ri'at yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, sesuai untuk semua waktu dan tempat. Syari'at semacam inilah yang menurut Ridla, berbeda dengan Nabi-nabi sebelumnya yang hanya diutus kepada kaum mereka saja, dan karenanya berlaku sementara (muwaqqatah), tidak abadi dan hanya sesuai bagi para penganutnya masing-masing. Ridla dalam hal ini menyatakan bahwa tak ada satu umat pun di muka bumi sekarang ini yang sanggup menegakkan aturan-aturan peribadatan dan pergaulan yang sangat ketat dalam Taurat, dan ketentuan zuhud (asketisme) dan meninggalkan kehidupan dunia yang secara keras diajarkan dalam Injil.[81]

Jika dicermati lagi, pandangan inklusif Ridla terhadap Ahli Kitab menemukan kontradiksinya. Ridla meyakini keselamatan Christophorus yang tidak mengikuti syari'at Islam. Sementara ia juga menyatakan bahwa syari'at yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam itu menghapus semua syari'at yang dibawa oleh para Nabi sebelumnya, termasuk syari'at Kristen.

Dalam pernyataannya, Ridla memahami bahwa penghapusan syari’at itu pada dasarnya adalah penghapusan atas berlakunya syari’at-syari’at para Nabi terhadulu bagi umat Islam. Dalam sanggahannya terdahap Sa’ad at-Taftazany yang berpandangan bahwa syari’at-syari’at para Nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam juga wajib diikuti oleh umat Islam, Ridla mengajukan keberatan dengan menyata­kan: “Apakah masuk akal bila syari’at-syari’at yang khusus dan temporer –yang dihapus oleh syari'at kita untuk menyempurnakan agama dengan menetapkan ajaran yang sesuai dengan perkembangan umat manusia– itu menjadi syari’at yang abadi dan kita wajib mengamalkannya?” Ridla dalam hal ini juga mengungkapkan bahwa semua syari’at sebelum Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena sifatnya temporer, “tidak sesuai untuk berlaku abadi di kalangan para penganutnya.”[82] Pernyataan Ridla ini menunjukkan bahwa setelah kedatangan Islam, semua syariat agama sebelum­nya menjadi tidak berlaku lagi. Namun demikian, Ridla masih tetap meyakini akan keimanan Christophorus Jabbarah, yang meskipun telah beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dan al-Qur'an, masih juga menjalankan syari'at Kristen –yang diajarkan– Nabi 'Isa.


[1] Richard T. Antoun, Memahami Fundamentalisme, terj. Muham­mad Shodiq, Surabaya: Pustaka Eureka, 2003, hal. 41.
[2] Azyumardi Azra, "Fenomena Fundamentalisme dalam Islam", Ulumul Qur'an Nomor 3, Vol. IV, th. 1993, hal. 18-19.
[3] Ibid.
[4] Mukhotim El Moekry, Islam: Agama, Ideologi dan Hukum, Jakarta: Wahyu Press, 2003, hal. 18-19.
[5] Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, Beirut: Dar al-'Arabiyah, t.t., I, hal. 130.
[6] Ibid., hal. 132.
[7] Ibid., hal. 133.
[8] Az-Zamakhsyari, al-Kasyaf 'an Haqaiq at-Tanzil, ttp: tnp, t.t, I, hal. 353.
[9] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1996, hal. 328.
[10] Khaled Abou El Fadl, Cita dan Fakta Toleransi Islam, terj. Heru Prasetia, Bandung: Arasy, 2003, hal. 20.
[11] Ibid., hal. 20-21.
[12] As-Suyuti, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, Riyadl: Maktabah Riyadl al-Hadistah, t.t, hal. 89.
[13] Ibid.
[14]Ihat Ibn Hisyam, Sirah an-Nabi, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, II, hal. 194.
[15] K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994, hal. 84.
[16] Richard T. Antoun, Memahami Fundamentalisme, terj. Muham­mad Shodiq, Surabaya: Pustaka Eureka, 2003, hal. 17.
[17] Djokosutono, Ilmu Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hal. 9.
[18] Ar-Raghib al-Asfahani, Mu'jam Mufradat Alfaz al-Qur'an, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., hal. 19.
[19] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, hal. 335.
[20] Ibid.
[21] Ibid., hal. 337-343.
[22] R. Hrair Dekmejian, Kebangkitan Islam, hal. 14-15.
[23] Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, I, hal. 94.
[24] Islam, seperti nama-nama agama yang lain, bisa diberi arti dalam pengertian metafisis dan sosiologis. Dalam pengertian metafisis Islam berarti doktrin-doktrin agama yang terdapat dalam al-Qur'an dan sumber-sumber otoritatif yang lain. Kemudian dalam pengertian sosiologis berarti umat atau masyarakat Islam. Islam yang berjumpa dengan Ahli Kitab adalah Islam dalam dua pengertian ini.
[25] Kajian tentang hubungan Islam dan Ahli Kitab di zaman Nabi telah banyak dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat dan Islam, dan meliputi banyak bidang. Ada yang menekankan pada bidang agama, seperti Richard Bell dengan bukunya The Origin of Islam in Its Christian Environment, dan Barakat Ahmad yang memfokuskan kajiannya pada hubungan di bidang politik dalam bukunya Muhammad and Jews.
[26] Bandingkan dengan penjelasan Muhammad Galib M yang secara rinci menjelaskan istilah-istilah yang digunakan al-Qur'an untuk menyebut Ahli Kitab. Dia membagi istilah-istilah itu (selain istilah ahl al-kitab sendiri) menjadi dua: term-term yang sepadan dengan istilah ahl al-kitab dan term-term yang tidak langsung menunjuk Ahli Kitab. Dia tidak memasukkan istilah-istilah ahl az-zikr, allazina utu al-'ilm dan allazina utu al-'ilm wa al-iman ke dalam kelompok yang pertama. Lihat Muhammad Galib M, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 38-60.
[27] Istilah allazina ataina hum al-kitab dalam S. al-An'am sebenarnya ada 3. Namun yang menunjuk kepada Ahli Kitab hanya dua itu. Sedang satu yang lainnya (S. al-An'am, 6: 89) menunjuk kepada Ishaq, Ya'qub dan Nabi-nabi yang lain yang disebutkan dalam empat ayat sebelumnya.
[28] Sebenarnya istilah allazina utu al-‘ilm dalam al-Qur'an dijumpai ada 8. Selain yang telah dicatat di atas, istilah itu juga terdapat dalam S. an-Nahl, 16: 27; S. al-Hajj, 22: 54; S. al-Qasas, 28: 80; S. al-'Ankabut, 29: 49; S. Saba', 34: 6; S. Muhammad, 47: 16; dan S. al-Mujadilah, 58: 11. Namun yang pengertiannya menunjuk kepada Ahli Kitab hanya yang terdapat dalam S. al-Isra' itu. Diketahui demikian karena orang-orang yang diberi ilmu (allazina utu al-'ilm) sebelum Nabi yang disebutkan dalam ayat itu memberi apresiasi yang luar biasa dengan bersujud sambil menangis ketika mendengar bacaan al-Qur'an. Dari S. Maryam, 19: 58 diketahui bahwa yang bisa memberi apresiasi kepada al-Qur'an seperti itu adalah keturunan Ibrahim dan Isr'il (Ya'qub) yang bersama-sama dengan orang-orang yang terpilih, diberi nikmat oleh Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang menempuh jalan lurus yang disebutkan S. al-Fatihah, 1: 6-7.
[29] M. Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Fikr, 1973, Juz. III, hal. 339.
[30] Ibid., V, hal. 144.
[31] Ibid., hal. 143.
[32] Ibid., III, hal. 265.
[33] Ibid.
[34] Ibid., V, hal. 137.
[35] Ibid.
[36] Penjelasan Ridla ini akan dipaparkan secara lebih luas dalam sub-bab yang akan datang yang berisi deskripsi penafsiran tentang Ahli Kitab melupakan bagian dari kitab suci.
[37] Ibid., I, hal. 447.
[38] Ibid., hal. 446.
[39] Ibid., VIII, hal. 11.
[40] Ibid.
[41] Ibid., XI, hal. 481.
[42] Ibid., VI, 474.
[43] Ibid., II, hal. 16.
[44] M. ‘Abduh, Tafsir al-Qur'an al-Karim, Kairo: Syirkah Sahimah Misriyah, 1341 H, hal. 134.
[45] M. Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, I, hal. 337-338.
[46] Ibid., VI, hal. 193.
[47] Ibid., VI, hal. 190.
[48] Ibid., hal. 188.
[49] Ibid., IV, hal. 71.
[50] Dalam al-Qur'an juga ada ayat yang membicarakan ketidakselamatan Ahli Kitab. Mereka yang dinyatakan tidak selamat adalah Ahli Kitab yang kafir (S. al-Bayyinah, 98: 6) dan membuat pseudo-teologi (S. Ali 'Imran, 3: 181). Berhubung dari tafsir ayat-ayat yang membicarakan keselamatan mereka sudah bisa diketahui siapa di antara mereka yang selamat dan tidak selamat, maka penafsiran 'Abduh dan Ridla tentang ayat-ayat yang membicarakan ketidakselamatan mereka, tidak dideskripsikan dalam pemaparan ini.
[51] Penafsiran Ridla tentang S. al-Ma'idah, 5: 69 tidak banyak menjelaskan maksud ayat itu karena isinya hampir sama dengan S. al-Baqarah, 2: 62. Dia banyak membicarakan masalah kebahasaan yang timbul dalam ayat itu lantaran ada satu kata, as-Sabi'in, yang secara sepintas dari sudut nahw, bacaannya bisa dipandang salah. Dia menyatakan bahwa ada orang-orang yang disebutnya sebagai musuh-musuh Islam yang menilai ada kesalahan gramatikal dalam ayat tersebut, yakni kata itu yang i’rab-nya rafa', bukan nasb (as-sabi'in). Dia sudah barang tentu membantah penilaian itu karena kata itu memang bisa di-i’rab rafa' dalam kedudukannya sebagai mubtada' (subyek) dengan khabar (predikat) yang dibuang atau dalam hubungannya de­ngan kedudukan asal dari i'rab ism inna (allazina amanu). Pembacaan atau penentuan i'rab seperti itu dalam bahasa Arab yang tinggi dibenarkan dan dimaksudkan untuk menekankan kepada para pembaca bahwa kaum Sabi'ah itu termasuk komunitas Ahli Kitab. Lihat M. Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, VI, hal. 477-478.
[52] Ibid., I, hal. 336.
[53] Ibid.
[54] Penjelasan ini dipahami dari penafsiran dalam al-Manar yang mengemukakan pandangan inklusif dan penafsiran al-Kasysyaf yang mengemukakan pandangan eksklusif, seperti yang disinggung dalam pendahuluan.
[55] Ibid., VI, hal. 477.
[56] M. Rasyid Ridla, Tasfir al-Manar, I, hal. 335-336.
[57]Ibid., I, hal. 338.
[58] Ibid., hal. 337.
[59] Ibid.
[60] Ibid., IV, hal. 318.
[61] Ibid., hal. 315-316.
[62] Ibid., hal. 317.
[63] Ibid., hal. 316.
[64] Ibid., VI, hal. 460.
[65] Ibid., hal. 315.
[66] Ibid., I, hal. 336.
[67] Ibid., IV, hal. 316-317.
[68] Ibid., I, hal. 336.
[69] Ibid, VI, hal. 460.
[70] M. ‘Abduh, Tafsir al-Qur'an, hal. 137.
[71] M. Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, I, hal. 339.
[72]Al-Ghazaly, “Fasl at-Tafriqah”, dalam Majmu'a Rasa'il al-Imam al-Ghazaly, Beirut: Dar al-Fikr, 1996, hal. 252-253.
[73] Al-Ghazaly, Ihya' 'Ulum ad-Din, ttp: Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, t.t., I, hal. 113.
[74] Sepanjang yang diketahui penulis, kesaksian Ridla itu hanya diperkuat oleh pernyataan 'Abduh di beberapa tempat mengenai ke­harusan membenarkan wahyu yang diterima Nabi Muhammad dan mempercayai ajaran-ajaran yang dibawanya, dengan tidak menyebutkan keharusan mengikuti syari'atnya. Lihat –misalnya– M. Abduh, Risalah Tauhid, terj. Firdaus A.N, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hal. 255. Adapun pandangan Ridha yang dikemukakan dalam Tarikh al-Ustaz al-Imam itu, sebagaimana yang akan ditunjukkan di belakang, bertentangan dengan pandangannya mengenai naskh asy-syarai' yang dikemukakan dalam al-Manar. Yusuf Seferta yang mengkaji kenabian Muhammad dalam tulisan-tulisan kedua pembaru itu, meskipun membicarakan keunikan Muhammad sebagai nabi terakhir dan universalitas risalahnya, sama sekali tidak menyinggung masalah penghapusan syari'at para nabi sebelumnya dengan syari'at Islam. Lihat, Yusuf H. R. Seferta, “The Prophethood of Muhammad in The Writings of Muhammad ‘Abdu and Rashid Ridla”, dalam Hamdard Islamicus, t.t: t.tp., 1985, Juz. VIII, hal. 11-29.
[75] M. Rasyid Ridla, Tasfir al-Manar, Juz. III, hal. 257. ‘Abduh telah mengemukakan postulat tiga tingkatan Islam: natural, volisional dan institusional. Lihat Yusuf Saferta, "The Prophethood", hal. 17. "Muslim" yang disebutkan dalam kutipan itu telah melaksanakan Islam natural (beriman dengan tidak bercampur kemusyrikan), Islam volisional (memiliki pengetahuan tentang Islam) dan Islam institusional (menjalankan Islam sesuai dengan syariat yang diikutinya).
[76] M. Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, III, hal. 357-358.
[77] Ibid., hal. 360-361. Penafsiran ‘Abduh dan Ridla ini sesuai de­ngan sebuah ayat dari S. al-Bayyinah, 98: (ekstra), yang terdapat dalam Mushaf Ubay ibn Ka’b yang berbunyi:
Lihat Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur'an, Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama (FkBA), 2001, hal. 226, dikutip dari Arthur Jeffery, Materials for History of the Text of the Qur'an, Leiden: E.J. Brill, 1937, hal. 179.
[78] Ibid., hal. 257.
[79] M. Rasyid Ridla, Tarikh al-Ustaz al-Imam asy-Syaikh Muhammad 'Abduh, Mesir: al-Manar, 1931, I, hal. 827-828.
[80] M. Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, VI, hal. 412.
[81] Ibid., hal. 416. Dalam bukunya yang lain, Ridla menegaskan bahwa Islam dengan segala petunjuk dan ajarannya dalam akidah dan hukum merupakan pembaruan yang membuat agama Allah mencapai kesempurnaannya yang tertinggi. Lihat M. Rasyid Ridla, al-Wahy al-Muhammadi, ttp: al-Maktab al-Islamy, t.t., hal. 68.

Toggle