Showing posts with label iman. Show all posts
Showing posts with label iman. Show all posts

Friday, March 26, 2010

Meragukan Al-Qur’an? Na‘ûdzubillâh (2 of 8)

Berikut ini kasus terakhir yang benar-benar menguji logika kita, karena logika kita akan dibandingkan dengan logika anak kecil. Sehebat apakah logika kita dibandingkan anak kecil? Bila kita kalah, tidakkah itu berarti bahwa logika kita bukanlah segala-galanya?


Suatu hari, sebuah toko furniture mengirim perabotan rumah ke seorang pelanggan. Termasuk dalam daftar kiriman adalah sebuah almari besar dan mahal. Semuanya dikirim dengan sebuah truk. Setelah jalan beberapa lama, truk itu harus lewat di bawah sebuah viaduk (semacam jembatan layang/fly over). Ternyata, ketika sampai di tengah viaduk, truk tiba-tiba berhenti. Bagian atas almari tertahan oleh viaduk. Kalau terus maju, maka almari itu akan rusak. Begitu juga bila dimundurkan. Almari itu dicoba untuk dimiringkan (supaya posisinya berubah menjadi tidur), ke kiri, ke kanan, ke manapun, ternyata tidak bisa. Hingga beberapa jam, kondisi itu tak kunjung teratasi. Kemacetan pun tak terelakkan.


Nah, bagaimana logika kita menyelesaikan masalah ini? Bagaimana supaya almari tadi tidak rusak, karena harganya sangat mahal? Bisakah kita? Mari kita merenung sejenak, sebelum melihat jawabannya.

. . . . . . .
. . . . . . .
. . . . . . .

Setelah semua usaha tidak berhasil, ternyata ada seorang bocah lelaki kecil melintas naik sepeda mininya. Ia punya pengalaman yang mirip dengan yang dialami truk itu. Dengan polosnya ia mendekati sang sopir truk sambil berkata, “Ban truknya dikempesin saja, Om. Nanti kan almarinya tidak lagi tertahan, terus truknya didorong.” Duhai saudaraku, apakah logika kita menemukan solusi yang lebih hebat daripada logika anak kecil ini?


Iman jauh melampaui logika. Sahabat Abu Bakar ra. mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa Rasulullah diperjalankan oleh Allah menuju Masjid al-Aqsha (Isra’), padahal waktu itu logika manusia tidak mungkin membenarkannya. Namun, imanlah yang membuat Abu Bakar ra. meyakininya. Berabad-abad kemudian, barulah para ilmuwan menemukan pesawat atau roket yang bisa membuat orang pindah dari satu tempat ke tempat lain yang sangat jauh dalam waktu singkat. Bukankah itu berarti logika tertinggal berabad-abad dibandingkan iman? Layakkah kita mengatakan logika lebih hebat daripada iman?


Mungkin kita akan berkilah, “Kalau saya mempelajari Al-Qur’an dimulai dari iman, maka pasti benar semua dong. Padahal saya bermaksud untuk menilainya dengan tidak memihak.”


Baiklah kalau begitu. Para ilmuwan Fisika Quantum sudah menemukan “Hukum Tarik-Menarik (The Law of Attraction)”. Bila yang ada di pikiran kita positif, maka energi positif dari diri kita akan menarik semua energi positif yang ada di alam semesta. Begitu juga sebaliknya, bila energi negatif keluar dari mikrokosmos tubuh kita, maka makrokosmos juga mengirimkan energi negatif ke kita, karena kitalah yang meminta dan menariknya.


Bukankah sudah kita pahami bahwa tidak ada yang disebut tidak memihak? Semua tergantung pikiran kita. Kalau kita berpikiran baik, maka kita akan menemukan hal-hal baik. Jika pikiran kita dipenuhi oleh ketidakbaikan, maka kejelekan dan keburukanlah yang akan kita dapat. Itu semua ilmiah dan masuk akal. Sebagai contoh, seorang penjahat akan selalu curiga terhadap orang lain. Namun, orang baik tidak akan curiga, hanya waspada. Bukankah sudah jelas perbedaannya antara curiga dan waspada?


Contoh lain, sikap terhadap seorang teman. Cobalah berniat dan tetapkan pada pikiran kita bahwa kita akan mencari semua kekurangan dan kelemahan teman kita, sekecil apa pun. Kalau itu kita setting, pastilah kita akan menemukan banyak sekali kekurangan dan kelemahan teman kita, bahkan sampai hal-hal yang sangat kecil, yang diabaikan oleh orang lain. Namun, jika kita biasa-biasa saja tentang teman kita, maka kesalahan-kesalahan yang sangat kecil tidak akan nampak, karena kita sudah memerintahkan pikiran kita bahwa itu bukanlah sebuah masalah. Itu manusiawi dan wajar.


Intinya, jika kita mencari kebenaran, sah-sah saja kita mempunyai pendapat yang didasarkan pada logika, karena akal memang tercipta untuk mengokohkan iman. Namun, jika kita hanya ingin mencari pembenaran, maka akan tertutuplah kebenaran dari diri kita. Hal ini sudah terbukti, baik secara nash, yaitu bahwa Allah sesuai prasangka hamba-Nya maupun secara ilmiah.


Kalau kita memang benar-benar mencari kebenaran, itu akan terlihat dari sikap kita. Kita akan dengan senang hati dan rendah hati menerima ilmu dari orang lain. Kita cenderung untuk bertanya, bukan membantah apalagi “membantai” nasihat orang lain. Tujuan kita berdiskusi bukanlah untuk membenarkan pendapat, tapi mendapatkan ilmu sebanyak mungkin. Bila suatu saat kita berdialog dengan seseorang, namun orang itu kurang cakap, maka kita tidak mempermasalahkannya. Ilmu orang itu kita serap sebanyak mungkin. Kita tidak berdiskusi dengannya untuk membuktikan bahwa pendapat kitalah yang benar, valid dan uptodate. Kita mencari ilmu dengan membuka hati dan pikiran untuk menerima ilmu. Dengan demikian, kita akan memungut ilmu dan hikmah di mana pun berada, walaupun berasal dari anak kecil. Itulah ciri-ciri jika kita memang mencari kebenaran, bukan pembenaran.


Jika kita mencari kebenaran, maka iman harus tertanam di dalam dada. Sekarang, marilah kita pelajari bersama-sama tentang Al-Qur’an, untuk kemudian kita hayati dan amalkan dalam keseharian.


Al-Qur’an adalah wahyu suci yang terjaga dari segala yang berbau imajinasi dan ilusi, sehingga tidak mengandung kesia-siaan.


A-Qur’an adalah kitab yang isinya dinukil melalui cara yang benar-benar meyakinkan, diceritakan secara jujur, dan adil dalam keputusan.


Al-Qur’an adalah kitab suci yang merupakan sumber utama dan pertama ajaran Islam yang menjadi petunjuk kehidupan umat manusia.


Al-Qur’an adalah garis-garis besar haluan umat yang abadi, kebanggaan sekaligus kemuliaan bagi umat Islam.


Al-Qur’an adalah kitab abadi yang telah memerdekakan umat dari kesesatan menuju hidayah, membuka mata hati, memberi pelajaran dan menegakkan kepala.


Al-Qur’an adalah kumpulan wahyu Ilahi yang menjadi air kehidupan bagi ruhani manusia, juga rahmat yang tiada ada taranya bagi alam semesta.


Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah, yang isinya mencakup semua pokok syariat yang terdapat dalam kitab-kitab suci sebelumnya.


Al-Qur’an adalah kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah dan terpelihara.


Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar, bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda-beda.


Al-Qur’an adalah kitab yang tidak ada satu keraguan pun di dalamnya, sebagaimana tercantum dalam sebuah ayat:


ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ

Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS al-Baqarah [2]: 2)


Daftar Pustaka :

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Membumikan’ Al-Qur’an”, Penerbit Mizan, Cetakan XXX : Dzulhijjah 1427H/Januari 2007


Tulisan ini lanjutan dari :Meragukan Al-Qur’an? Na‘ûdzubillâh (1 of 8)
Tulisan ini berlanjut ke : Meragukan Al-Qur’an? Na‘ûdzubillâh (3 of 8)


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, January 8, 2010

Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (4 of 8)

Seberapa besar—kuat atau lemah—iman kita, maka sebatas itu pula kebahagiaan, ketentraman, kedamaian dan ketenangan kita.


Siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS an-Nahl [16] : 97)


Maksud ”kehidupan yang baik” (hayâtan thayyibah) dalam ayat ini adalah ketenangan jiwa dikarenakan janji baik Rabb mereka, keteguhan hati dalam mencintai Dzat yang menciptakan mereka, kesucian nurani dari unsur-unsur penyimpangan iman, ketenangan dalam menghadapi setiap kenyataan hidup, kerelaan hati dalam menerima dan menjalani ketentuan Allah, dan keikhlasan dalam menerima takdir.


Bersamaan dengan usaha keras disertai doa, orang beriman yang masih miskin janganlah bersedih hati. Abdul Aziz bin Rawwad rahimahullâh berkata, “Kemuliaan Allah bukan dimiliki oleh orang yang mengenakan kain sutra dan memakan roti gandum, atau dimiliki oleh orang yang mengenakan kain wol dan memakan gandum. Kemuliaan Allah dimiliki oleh orang yang ridha atas apa yang ditetapkan (takdir) Allah kepada dirinya.”


Dalam syairnya, ‘Aidh al-Qarni menasihatkan agar kita tidak banyak mengeluh dan berduka lara.


Betapa banyak kau mengeluh dan berkata tak punya apa-apa
Padahal bumi, langit dan bintang adalah milikmu
Ladang, bunga segar, bunga yang semerbak
Burung bulbul yang bernyanyi riang
Air di sekitarmu memancar berdecak

Dunia ceria kepadamu lalu mengapa kau cemberut
Dan dia tersenyum kenapa kau tidak tersenyum
Lihatlah masih ada gambar-gambar
Yang mengintip di balik embun
Seakan bicara karena indahnya


Rahmat Allah di akhirat jauh lebih banyak daripada di dunia. Nabi Muhammad saw. bersabda :


إِنَّ ِللهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ أَنْزَلَ مِنْهَا رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ وَالْبَهَائِمِ وَالْهَوَامِّ فَبِهَا يَتَعَاطَفُوْنَ وَبِهَا يَتَرَاحَمُوْنَ وَبِهَا تَعْطِفُ الْوَحْشُ عَلَى وَلَدِهَا وَأَخَّرَ اللهُ تِسْعًا وَتِسْعِيْنَ رَحْمَةً يَرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sesungguhnya Allah mempunyai seratus rahmat. Dia menurunkan satu rahmat kepada jin, manusia, binatang dan lainnya. Dengan satu rahmat itu mereka saling menyayangi, saling mengasihi. Dengannya binatang liar mengasihi anaknya. Allah mengakhirkan kesembilan puluh sembilan rahmat-Nya. Dengannya Dia merahmati hamba-Nya pada hari Kiamat.
(HR Bukhari dan Muslim)


Ibnu Hazm pun menghibur kita agar tidak larut dalam kesedihan karena kemiskinan. Beliau bersenandung tentang kemiskinan dalam bait puisinya yang menyejukkan jiwa dan melipur lara :


Kujadikan kemiskinan sebagai pelindung diri
Tak pernah kupakai pakaian kehinaan tuk hati ini
Yang kuperoleh cukuplah sebagai pelindung diri
Dari kepongahan dan kebejatan yang menghinakan diri
Hanya agama dan harga diri yang kupedulikan
Selainnya, tak sedikit pun kuhiraukan


Mungkin kita akan berkata, “Bagaimana pun caranya, yang penting kaya dulu. Kalau sudah kaya, kan bisa sedekah, membantu fakir miskin, panti asuhan, menyumbang pembangunan masjid, sekolah, pondok pesantren dan bisa naik haji berkali-kali.”


Janganlah kita mempunyai prinsip demikian, karena kita akan cenderung menghalalkan segala cara. Kalaupun kita kaya karenanya, itu bukanlah nikmat, tapi istidrâj (dalam bahasa Jawa disebut penglulu), diberi tapi untuk dihancurkan.


Pesan Ibnu Athaillah, “Takutlah kamu dari wujud kebaikan Allah yang diberikan kepadamu, padahal kamu masih tetap bermaksiat kepada-Nya, yang kelak bisa menjadi istidrâj (membiarkan kamu bersenang-senang dalam kenikmatan itu). Sepeti firman Allah yang artinya, ‘nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui’ (QS al-A‘râf [7] : 182).”


Perlu kita ingat lagi bahwa tidak mungkin Allah menerima sedekah atau amal ibadah yang didapat dari barang haram. Bagaimana mungkin kita berwudhu menggunakan air comberan? Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib,


يَا عَلِيُّ لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ بِلاَ وُضُوْءٍ وَلاَ صَـدَقَةً مِنَ الْحَرَامِ

“Wahai Ali, Allah tidak menerima shalat tanpa wudhu dan sedekah dari barang haram.”


يَا عَلِيُّ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَلَمْ يُحِلَّ حَلاَلَهُ وَلَمْ يُحَرِّمْ حَرَامَهُ كَانَ مِنَ الَّذِيْنَ نَبَذُوْا كِتَابَ اللهِ وَرۤاءَ ظُهُوْرِهِـمْ

“Wahai Ali, siapa membaca Al-Qur’an tapi dia tidak menghalalkan apa yang dihalalkan Al-Qur’an, dan tidak mengharamkan apa diharamkan Al-Qur’an, maka dia tergolong orang-orang yang membuang Al-Qur’an ke belakang punggung mereka.”


Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abbas dari Anas bin Malik, disebutkan bahwa Nabi saw. bersabda :


طُوْبَى لِعَبْدٍ أَنْفَقَ مِنْ مَالٍ إِكْتَسَـبَهُ مِنْ غَيْرِ مَعْصِيَةٍ

Berbahagialah hamba yang berinfak dari harta yang diperolehnya bukan dari maksiat. (HR Ibnu ‘Addi dan al-Bazzar)


Rasululullah juga pernah bersabda tentang tubuh yang diisi dengan sesuatu yang haram :


كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ – أَيْ مِنْ حَرَامٍ – فَاالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Setiap badan yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka adalah lebih utama baginya. (HR Tirmidzi)


Ibnu Hazm mengingatkan kita dalam bait puisinya yang menyentuh jiwa dan membakar asa :


Bersyukurlah pada Allah atas kebesaran-Nya
Ia Pemberi rejeki seluruh penghuni semesta
Baik orang Badui maupun Arab tak ada bedanya
Ia hamparkan bumi, langit, udara, laut, hujan juga
Demi kebaikan kita, janganlah kaubangkangi Ia
Sungguh, semua orang kan tanggung amalannya


Daftar Pustaka :

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
  • Asrori al-Maghilaghi, Kyai, “Al-Bayân al-Mushaffâ fî Washiyyatil Mushthafâ”
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini lanjutan dari : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (3 of 8)
Tulisan ini berlanjut ke : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (5 of 8)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, December 18, 2009

Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (1 of 8)

Cukup banyak orang berkomentar, “Orang-orang non muslim rata-rata berkecukupan dalam harta. Kebanyakan dari mereka adalah orang kaya. Namun, banyak orang Islam—yang telah menjalankan ajaran agama dengan tekun—tetap saja rejekinya pas-pasan. Mengapa demikian?”

Dalam kajian keagamaan, ada maqâlah (perkataan atau ungkapan) yang sering kita dengar, yaitu :

كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا

Hampir saja kefakiran itu menjadi kekufuran.

Sahabat Ali bin Abi Thalib kw. pernah mengatakan bahwa jika ada ular atau kemiskinan yang harus dibasmi lebih dulu, maka kemiskinanlah yang harus dihilangkan terlebih dahulu. Oleh karena itu Nabi Muhammad saw. berdoa,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran”
(HR Abu Daud)

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekurangan dan kehinaan, dan aku berlindung pula dari menganiaya dan dianiaya”
(HR Ibnu Majah dan Hakim)

M. Quraish Shihab menerangkan bahwa Islam tidak menjadikan banyaknya harta sebagai tolok ukur kekayaan, karena kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati dan kepuasannya. Sebuah lingkaran betapa pun kecilnya adalah sama dengan 360 derajat, tetapi betapa pun besarnya, bila tidak bulat, maka ia pasti kurang dari 360 derajat. Karena itu, Islam mengajarkan apa yang disebut qanâ‘ah. Seseorang tidak dapat menyandang sifat qanâ‘ah kecuali setelah melalui empat tahap, yaitu :
  • Menginginkan kepemilikan sesuatu
  • Berusaha sehingga memiliki sesuatu itu, dan mampu menggunakan apa yang diinginkannya itu
  • Mengabaikan yang telah dimiliki dan diinginkan itu secara suka rela dan senang hati
  • Menyerahkannya kepada orang lain, dan merasa puas dengan apa yang dimiliki sebelumnya


الْقَنَاعَةُ مَالٌ لاَيَنْفَدْ

Sikap qanâ‘ah adalah harta kekayaan yang tidak bisa habis.
(HR al-Qudha‘i dengan sanad Anas bin Malik)

Dalam hubungannya dengan bantuan kepada hamba-Nya, Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur‘an :

وَمَنْ يَتَّـقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ ُ مَخْرَجًا

Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (QS ath-Thalâq [65] : 2)


وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَيَحْتَسِـبُ

Dan memberinya rejeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). (QS ath-Thalâq [65] : 3)


وَمَنْ يَتَّـقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ ُ مِنْ أَمْرِه يُسْـرًا

Dan siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (QS ath-Thalâq [65] : 4)

Allah sudah menjamin di dalam ayat-ayat suci-Nya. Kalau memang kita beriman namun masih miskin, berarti ada yang kurang tepat dengan diri kita, mungkin iman kita atau cara-cara kita.

Dalam bahasa Arab, kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti diam atau tenang. Sedangkan faqir dari kata faqr yang pada mulanya berarti tulang punggung. Fakir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga ”mematahkan” tulang punggungnya. Oleh karena itu, sebagian pakar mendefinisikan bahwa fakir adalah orang yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, sedangkan miskin adalah yang berpenghasilan di atas setengah kebutuhan pokoknya.

Sesuai dengan akar katanya, faktor utama penyebab kemiskinan adalah sikap berdiam diri, enggan atau tidak dapat bergerak/berusaha. Keengganan berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri. Jaminan rejeki yang dijanjikan Allah ditujukan kepada makhluknya yang aktif bergerak, bukan yang diam menanti.


وَمَا مِنْ دَۤابـَّةٍ فىِ اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada satu dâbbah-pun di bumi kecuali Allah yang menjamin rejekinya. (QS Hûd [11] : 6)

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata dâbbah mempunyai arti harfiah “yang bergerak”.

Apabila telah ditunaikan shalat (Jum‘at), maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah. (QS al-Jumu‘ah [62] : 10)

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS Âli ‘Imrân [3] : 14)


Daftar Pustaka :

  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini berlanjut ke : Sudah Beriman, Mengapa Hidup Masih Miskin? (2 of 8)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Toggle