Sejarah penulisan al-Quran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang rumit, dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa. Ustadz Ahsin Sakho Muhammad yang menjadi narasumber PSQ dalam Halaqah Tafsir di Ruang Serbaguna PSQ, Rabu (05/3) lalu, berpendapat bahwa hal itu tidak perlu diperdebatkan, karena sudah jelas. Penulisan al-Quran dilakukan pada masa Nabi Muhammad Saw, Abu Bakar, Usman bin Affan, dan Mushaf pasca-Usman.
Rektor IIQ Jakarta ini kemudian melanjutkan, di masa Nabi Muhammad SAW, setiap kali wahyu disampaikan, Nabi langsung memerintahkan sahabatnya untuk menghapalkannya, kemudian menuliskannya (arab gundul) di pelepah kurma, kulit binatang, tulang, batu, dan lain-lain. Al-Quran yang ditulis tadi mengandung al-ahruf as-sab’ah. Ayatnya masih belum berharakat, hurufnya tidak bertitik, tidak ada penomoran ayat, nama
Dalam Halaqah Tafsir yang dihadiri lebih dari 100 orang tersebut, terungkap bahwa pada masa Abu Bakar, setelah nabi wafat, terjadi peperangan yang mengakibatkan banyak dari para penghafal al-Quran yang gugur saat itu. Hal ini menyebabkan Umar mengusulkan untuk menuliskannya dalam satu “mushaf”. Saat itupun penentuan tanda waqaf, sajdah, titik, harakat, dan lainnya belum ditentukan. Namun, ayat-ayat dan nama surah sudah berurutan. Saat itu dikenal seorang penulis “mushaf” bernama Zaid bin Tsabit.
Sedangkan pada masa Usman bin Affan, al-Quran ditulis kembali dan diperbanyak menjadi 6 mushaf plus mushaf khusus untuk shahabat Usman. Penulisan kembali dimaksudkan untuk meredam pertentangan yang terjadi saat itu yang menimbulkan fitnah antara orang-orang
No comments:
Post a Comment