Showing posts with label ibadah. Show all posts
Showing posts with label ibadah. Show all posts

Friday, February 19, 2010

Buat Apa Kita Hidup? (2 of 4)

Dalam kehidupan sehari-hari, secara sadar atau tidak, sebenarnya kita telah melupakan bahwa kita hidup untuk beribadah kepada-Nya. Kita memberi informasi pada otak bawah sadar kita bahwa “menyembah” berarti ibadah ritual, sesuatu yang hukumnya wajib (fardhu) atau sunnah. Kegiatan sehari-hari kita anggap hukumnya mubah—dilaksanakan tidak berpahala, ditinggalkan pun tidak berdosa—jadi tidak termasuk ibadah. Untuk mengetahui keadaan diri, coba kita jawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

  • Kalau kita adalah murid sekolah atau mahasiswa, apa tujuan kita pergi ke sekolah, kuliah atau mengikuti bimbingan belajar?
  • Jika kita adalah pegawai dan suatu saat mengikuti kursus atau training, apa tujuan kita?
  • Sebagai orang yang sudah bekerja, buat apa kita bekerja?
  • Apabila ada tamu bertandang ke rumah, kemudian kita suguhkan sekadar makanan ringan, apa niat kita saat menyajikannya?
  • Tatkala kita akan mengikuti rapat, musyawarah, konferensi, muktamar atau sejenisnya, adakah yang kita niatkan dari rumah?
  • Jikalau kita membersihkan kamar kos, rumah, lingkungan atau sekolah (bagi para siswa), apa yang kita katakan di dalam hati sebelum melaksanakannya?
  • Saat kita membeli pakaian, kendaraan, rumah atau yang lain, apa niat kita?

Apakah dalam jawaban-jawaban tersebut, kita menyebut asma Allah? Apakah lafazh “Allah” terkandung di dalamnya? Jika tidak, mengapa?


Ulama-ulama zaman dulu telah mengajarkan kepada kita agar berniat ketika melaksanakan sesuatu semata-mata karena Allah. Mereka menasihatkan agar niat itu senantiasa dikerjakan, bahkan dengan kalimat yang lengkap, walaupun hanya di dalam hati. Ketika menyuguhkan hidangan untuk tamu, contoh niatnya adalah, “Saya niat menghormati dan memuliakan tamu karena Allah Ta‘âlâ.”


Waktu cepat berlalu. Zaman telah berubah, kebiasaan pun mengikutinya. Kandungan lafazh “Allah” dalam setiap niat dihilangkan demi mempersingkat kalimat, mempercepat waktu dan praktisnya kegiatan. Pada awalnya, walaupun lafazh “Allah” dihilangkan dari niat, tetaplah pada diri setiap insan selalu ingat bahwa itu semua untuk Allah. Dalam konteks bahasa, hal ini disebut Majas Metonimia.


Majas Metonimia adalah majas yang mengungkapkan sesuatu dengan menyebutkan sebagian dari orang atau barang yang dimaksud. Contoh penggunaannya adalah, “Saya suka membaca Chairil Anwar”. Yang dimaksud adalah, “Saya suka membaca puisi karya Chairil Anwar.” Contoh lain yang sering kita gunakan dalam keseharian yaitu, “Saya ingin membeli lima dos Aqua, Ades, Cheers, Vit dan Club.” Semua itu nama merk air minum dalam kemasan. Tanpa disebutkan “air minum dalam kemasan”, semua orang sudah mengerti maksudnya.


Bumi terus berotasi dan berevolusi. Waktu terasa lebih cepat berlalu. Zaman sudah modern, perbuatan pun tunduk padanya. Bagi sebagian orang, 24 jam sehari terasa sangat kurang untuk menjalankan beragam aktivitas. Di era Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau dalam bahasa Inggris disebut Information and Communication Technology (ICT) ini, berniat sudah dianggap membuang-buang waktu. Akhirnya setiap kegiatan dilakukan tanpa niat. Pokoknya, tahu sama tahu, sama seperti kemarin—idem.


Seperti kita pahami bersama, kita dibentuk oleh kebiasaan yang kita lakukan. Sebagai manusia, kita pun mempunyai sifat lupa. Sifat lupa ini sebenarnya banyak sisi positifnya. Andaikan ada seseorang tidak pernah lupa, tentu ia tidak akan bisa istirahat, apalagi tidur. Ia akan teringat akan masa lalunya yang bisa saja tidak menyenangkan. Apakah ia tidak akan trauma? Di sisi lain, karena kita terbiasa menghilangkan niat, maka kita akan lupa bahwa niat harus ada. Karena kita meniadakan lafazh “Allah” dalam niat, kita juga dibuat lupa bahwa harus ada Dzat sebagai tujuan kita.


Sebagai hasilnya, kita tidak merasa bahwa segala yang kita lakukan adalah ibadah kepada Allah. Ibadah-ibadah ritual sajalah yang benar-benar kita niatkan untuk-Nya. Itu pun karena niat termasuk rukun dalam ibadah tersebut, dan batal/tidak sah jika tidak melakukannya. Dan, kebiasaan-kebiasaan seperti itulah yang membuat kita merasakan kedekatan diri dengan Allah hanya saat di dalam masjid, sedangkan di luar masjid, semua kegiatan kita tidak ada urusan dengan Allah. Begitulah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.


Lebih “menakjubkan” lagi, jika pada masa kini ada seseorang yang tetap menjaga niat dalam setiap kegiatan, banyak orang akan menyebutnya ketinggalan zaman, tidak praktis, atau lebih parah lagi, “sok alim”.


“Sok alim”, sebuah mantra yang bisa menggoyahkan keinginan untuk senantiasa dalam kebaikan.


“Sok suci”, sebuah mantra lain yang bisa menghancurleburkan semangat untuk meninggalkan perbuatan tidak baik.


Perlu kita pahami lagi bahwa hidup ini antara kita dengan Allah. Janganlah kita sibuk mengurusi kekurangan orang lain, meremehkan apalagi mencemoohnya. Sebaliknya, jika ingin beribadah, jangan pula kita dipusingkan oleh ungkapan-ungkapan yang kurang enak didengar. Kita beribadah untuk mengabdi kepada-Nya, bukan untuk sebutan alim, shaleh atau sejenisnya.

Jadi, kalau dikatakan “sok alim”, jawab saja bahwa kita bukan orang alim. Jika disindir “sok suci”, katakan saja bahwa kita ini banyak dosa, tidak ada orang suci, kecuali para nabi dan rasul. Dengan menyadari dan mengakui kekurangan diri, kita tidak akan terbebani dengan sebutan-sebutan di atas. Terkadang, kalau sindiran tidak ditanggapi, atau hanya dibalas dengan senyuman, maka lama-kelamaan akan hilang sendiri. Tentang respons yang tepat, memang kondisional. Tugas kita adalah mencari cara untuk tetap berhubungan baik dengan siapa pun—karena itu juga ibadah, dan istiqamah melakukan kebaikan lainnya demi mengabdi kepada Allah.


Allah menganugerahkan umur sebagai simpanan kita. Dalam pandangan Allah, umur kita adalah umur yang pendek, bagai awan lalu. Jika kita mempergunakannya dengan baik, maka kita menjadi penghuni kenikmatan, surga nan abadi. Sebaliknya, apabila umur kita salah gunakan, maka neraka telah siap menanti.


Maka, wajib bagi kita untuk bersegera melaksanakan perbuatan shaleh sebelum tidak dapat melaksanakannya, sebelum dihalangi oleh pekerjaan, penyakit atau kematian. Rasulullah saw. bersabda:


اِغْـتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

Jagalah (manfaatkanlah) lima perkara sebelum datang lima perkara : masa mudamu sebelum tua, waktu sehatmu sebelum jatuh sakit, masa kayamu sebelum jatuh miskin, waktu luangmu sebelum kau sibuk dan hidupmu sebleum matimu. (HR Hakim dan Baihaqi)


نِعْمَتَانِ مَغْـبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ : اَلصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Ada dua nikmat yang membuat banyak orang tertipu, (yaitu) kesehatan dan waktu luang. (HR Bukhari)

Daftar Pustaka:

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Majas

Tulisan ini lanjutan dari : Buat Apa Kita Hidup? (1 of 4)
Tulisan ini berlanjut ke : Buat Apa Kita Hidup? (3 of 4)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, February 12, 2010

Buat Apa Kita Hidup? (1 of 4)

Beragam pertanyaan diajukan tentang hidup. Pertanyaan ini tetap saja ada, hanya dari orang yang berbeda atau penanya adalah generasi baru yang belum pernah menerima pengajaran tentangnya.

“Kita hidup untuk bekerja ataukah bekerja untuk hidup?”

“Kita makan untuk hidup ataukah kita hidup untuk makan? Senyampang masih hidup, kita harus pernah mencicipi makanan dan minuman beraneka ragam dari berbagai daerah atau negara. Tidak perlu menanyakan halal atau haram, yang penting kita sudah pernah merasakannya. Begitukah?”

“Kita menggeluti dunia seni untuk hidup, hidup untuk seni, ataukah seni untuk seni?”

Para ulama sudah menjelaskan dengan sangat gamblang dan itu pun berulang kali, “Kita hidup untuk mengabdi kepada Allah, beribadah kepada-Nya.” Ibadah yang dimaksud adalah ibadah dalam arti seluas-luasnya, tak terbatas pada ibadah mahdhah (ibadah murni atau ritual). Dengan demikian, bekerja, belajar, berorganisasi atau apa pun bisa diniatkan—sekali lagi diniatkan—sebagai ibadah semata-mata untuk-Nya. Lebih lanjut, para ulama menjelaskan bahwa tujuan hidup ini adalah untuk hidup lagi, yaitu hidup sesungguhnya—hidup kekal abadi di surga nanti.

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱْلإِنْسَ إِلاّ لِيَعْـبُدُوْنِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
(QS adz-Dzâriyât [51] : 56)

Dari ayat tersebut, Al-Qur’an menuntut agar kesudahan semua pekerjaan hendaknya menjadi ibadah kepada Allah, apa pun jenis dan bentuknya. Karena itu, Al-Qur’an memerintahkan untuk melakukan aktivitas apa pun setelah menyelesaikan ibadah ritual.

Banyak ulama mengartikan hidup makhluk sebagai Mâ bihî al-hissu wal-harakah, yakni sesuatu yang menjadikannya merasa/mengetahui dan bergerak. Yang tidak memiliki pengetahuan, tidak merasa, tidak juga dapat bergerak/menggerakkan dirinya sendiri, maka ia tidaklah dianggap hidup yang sesungguhnya. Pengetahuan atau kesadaran adalah menyadari dirinya sendiri. Semakin banyak pengetahuan dan kesadaran, serta semakin peka perasaan, maka semakin tinggi kualitas hidup. Oleh karena itu, hidup bertingkat-tingkat.

Hidup bagi manusia hendaknya tidak hanya terbatas pada hari ini atau sepanjang usia di dunia saja, tetapi harus melampaui generasinya, bahkan melampaui batas usia manusia di dunia ini. Memang, manusia tidak dapat hidup langgeng dan abadi sebagaimana Allah. Manusia juga tidak mampu melampaui batas usianya di dunia, tetapi ia dapat melanggengkan hidupnya dengan keharuman nama—khususnya setelah kematiannya—serta pada karya-karyanya yang bermanfaat, sehingga dinikmati manusia sepanjang masa.

Kelanggengan hidup manusia juga diraih melalui kekekalan hasil karya-karyanya itu di akhirat kelak, dalam bentuk ganjaran Ilahi, yakni surga nan abadi. Bagi orang kafir, tidak ada satu karya pun yang dapat langgeng sehingga mereka tidak akan menikmati kekekalan.

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (QS al-Furqân [25] : 23)

Al-Qur’an menilai ada orang-orang yang walaupun masih dapat menarik dan menghembuskan nafas, masih berfungsi otak dan beredar darahnya, tetapi dinilai sebagai orang mati, karena tidak mendengar dan memperkenankan panggilan Allah dan rasul-Nya.

Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang. (QS an-Naml [27] : 80)

Ada juga yang telah berhenti denyut jantungnya, telah terkubur jasadnya, tetapi mereka masih dinilai hidup oleh Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah yang artinya:

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS al-Baqarah [2] : 154)

Apa yang akan terjadi bila nasihat ini benar-benar disadari oleh setiap orang? Apa yang akan kita saksikan bila setiap manusia mempraktekkan bahwa hidup ini untuk mengabdi kepada-Nya? Apa yang akan dilakukan oleh setiap insan jika semuanya ingin agar bisa benar-benar hidup dan tetap hidup dalam kematiannya?

Di setiap pertandingan olah raga, tidak akan pernah terjadi kekisruhan, kerusuhan dan pertengkaran. Setiap orang berniat bahwa olah raga yang dilakukan adalah untuk menjaga tubuh, karunia dan titipan dari Allah, agar tetap sehat, sehingga bisa senantiasa menjalankan perintah-perintah-Nya. Setiap orang berniat bahwa pertandingan adalah ajang silaturrahim. Dengannya, kita menambah eratnya persaudaraan dan kasih sayang. Semua itu demi mengabdikan diri kepada Yang Maha Memberi Perintah, Allah SWT.

Di setiap kejuaraan, tidak akan ada upaya-upaya yang tidak baik. Semua orang berlomba-lomba menampilkan yang terbaik dengan cara-cara yang baik (fastabiqul khayrât). Semua orang sadar bahwa tujuan utama mereka bukanlah meraih kemenangan, piala, trofi ataupun bonus berupa rumah, kendaraan atau uang. Semua orang berlomba dengan tujuan melaksanakan ibadah, semata-mata untuk Sang Pencipta, Allah SWT.

Di setiap organisasi, baik keagamaan, kemasyarakatan, kemahasiswaan, perusahaan, pemerintah, faksi/partai politik, atau apa pun—tidak akan ada gontok-gontokan, propaganda negatif, mendekat ke atasan/pimpinan agar aman, saling menonjolkan diri untuk sebuah kesombongan, saling menjatuhkan, saling jegal, saling sikut atau saling gasak-gesek-gosok. Semua orang bekerja sama dengan baik, indah, ramah, santun dan anggun. Setiap orang menundukkan hati dan jiwa, menyerahkan segalanya di hadapan Sang Penguasa Alam, Allah SWT.

Dalam urusan makan, setiap orang akan otomatis memilih dan memilah mana makanan yang halal—mana yang tidak dan mana yang baik (thayyib) bagi dirinya (termasuk kesehatannya)—mana yang tidak. Semuanya demi beribadah kepada Yang Memiliki Kehidupan, Allah SWT.

Pada setiap hobi, kreativitas maupun pekerjaan, setiap insan akan berlomba-lomba untuk meraih yang terbaik, yang paling bermanfaat bagi kemanusiaan serta bernilai ibadah tinggi.

Mengapa rasanya hal-hal di atas masih jauh dari kenyataan? Jauh panggang dari api? Atau diplesetkan menjadi “Jauh panggang dari sate”? Bukankah nasihat tentang buat apa kita hidup sudah sering disampaikan dalam setiap ceramah atau pengajian?


Daftar Pustaka :
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007


Tulisan ini berlanjut ke : Buat Apa Kita Hidup? (2 of 4)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, December 11, 2009

Shalat Rajin Tapi Malas Bekerja (3 of 3)

Di sebuah pointer yang berjudul “MT Morning Talk – The Relevance of Religion in Business”, Mario Teguh menasihatkan bahwa agama sangat relevan dalam bisnis.


Kita membutuhkan orang-orang yang bisa dipercaya. Untuk ketenangan berusaha, kita membutuhkan organisasi yang bisa dipercaya untuk tetap jujur, bahkan tanpa pengawasan. Dan “pengawasan” terkuat yang diketahui kemanusiaan, yang bisa membuat orang bersikap dan berlaku baik walaupun tidak diawasi adalah keyakinan kepada Beliau Yang Maha Melihat.


Kita semua menuntut perlakuan adil (fair) kepada diri kita, karena semua perkiraan dan perhitungan akan meleset bila orang tidak berlaku adil kepada kita. Semua studi kelayakan (feasibility study) adalah asumsi bahwa pasar akan berlaku fair kepada kita. Kita membutuhkan orang-orang yang takut untuk berlaku tidak adil, karena mereka meyakini perhitungan yang adil dan pasti atas tindakan mereka. Kita membutuhkan orang-orang shaleh, yang taat kepada agama apa pun yang dianutnya.


Bahkan seorang yang paling jahat, yang tidak mengenal kebaikan dan menolak melakukan kebaikan bagi siapa pun, tetap menuntut orang lain untuk tidak melakukan kejahatan kepadanya.


Mereka yang paling menolak agama adalah justru orang-orang yang paling kejam menghukum orang lain yang melakukan kepada mereka, hal-hal yang bertentangan dengan aturan kebaikan agama. Orang yang meragukan agama masih menuntut orang lain berlaku kepadanya dengan cara-cara orang beriman.


Kedua belah pihak, yang beragama dan yang belum mengakui membutuhkan agama, sama-sama sangat tidak menyukai orang munafik, yaitu orang buruk hati yang tampil dengan wajah shaleh. Orang yang kalau berbicara dia berbohong, kalau berjanji ia mengingkari dan kalau dipercaya dia berkhianat.


Memang, adakalanya kita jenuh di tempat kerja. Itu wajar dan manusiawi. Kondisi ini tidak berhubungan dengan rajin atau tidaknya seseorang dalam menjalankan shalat. Kadang kala suatu hari kita mengalami kelelahan, entah lelah fisik, lelah pikiran bahkan keduanya. Orang lelah cenderung melakukan kesalahan, lamban dan kurang efektif. Produktivitas kerja akan turun.


Robert K. Cooper, Ph.D dan Ayman Sawaf memberikan saran bahwa pada saat-saat seperti itu, kita harus menemukan cara kita sendiri yang terbaik untuk bangkit dan memperbarui diri. Mungkin cara kita adalah dengan berolah raga, menghirup udara segar di luar serta menikmati pemandangan, menyantap makanan ringan yang sehat, minum secangkir teh atau kopi hangat, guyon (berbincang humor) dengan rekan kerja atau berdzikir. Bukankah sudah dibahas sebelumnya bahwa berdzikir membuat hati tentram? Pilihan-pilihan tersebut berguna agar kita selalu dapat lebih mampu menyesuaikan diri waktu punggung terasa pegal atau waktu kita mulai merasa lelah/tegang dan untuk memperbarui diri secara teratur sepanjang hidup.


Seorang motivator mengingatkan bahwa segala sesuatu bermula dari pikiran kita sendiri. Rasa bosan, suntuk atau apa pun adalah hasil dari pikiran. Selalu mempunyai pikiran yang positif (positive thinking) adalah tips utama dalam menghadapi segala peristiwa atau kejadian. Untuk mengatasi rasa bosan atau suntuk di tempat kerja bisa dengan cara merubah rutinitas kerja, misalnya dengan merubah urutan kerja sehari-hari atau dengan menambahkan hal atau kegiatan baru dalam rutinitas tersebut. Melakukan lagi kegiatan ketika masih kecil juga dapat membuat pikiran menjadi tenang dan hati menjadi riang gembira.


Rhenald Kasali memberi tips agar seseorang betah di tempat kerja sebagaimana dia betah berada di rumah. Ada perbedaan antara house dan home, yang dalam bahasa Indonesia kedua-duanya diterjemahkan menjadi rumah. House lebih ditekankan pada bangunan fisik, sedangkan home pada suasana rumah. Orang betah di rumah, karena merasakan rumah sebagai tempat yang teduh dan menenangkan jiwa. Dengan demikian suasana home harus ada di kantor sehingga orang tetap semangat dalam bekerja. Work hard (kerja keras) harus dibarengi dengan work heart (bekerja dengan hati). Bekerja dengan hati membuat seseorang merasakan kantor sebagai home kedua. Orang tidak akan merasakan pekerjaan sebagai sebuah beban, tapi sebagai sesuatu yang menyenangkan laksana melakukan pekerjaan rumah, seperti berkebun.


Mario Teguh menasihatkan kalau kita melakukan sesuatu untuk diri kita sendiri, biasanya akan sering muncul kejenuhan. Begitu pun di dunia kerja. Tapi, kalau kita bekerja untuk kebaikan orang lain, misalnya anak-anak kita tercinta, suami atau istri terkasih dan anggota keluarga lain yang anggun, maka kita akan selalu mendapatkan inspirasi sehingga tidak mudah bosan. Intinya, niatkanlah agar semuanya untuk memuliakan, melayani dan memberi keuntungan kepada orang lain.


Tokoh agama pun mengingatkan kita untuk meluruskan niat dalam bekerja. Bekerja hakikatnya adalah ibadah, bukan sekadar mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bekerja harus diniati untuk mengabdi kepada Tuhan dan mengharapkan ridha-Nya. Hasil kerja bisa untuk membeli pakaian yang digunakan untuk menutup aurat dan shalat, mengeluarkan sedekah dan zakat, membantu anak yatim atau korban bencana, memberikan sedikit oleh-oleh untuk orang tua, menyekolahkan anak, pergi umrah dan haji serta ibadah-ibadah lainnya yang sulit kita lakukan bila tidak ada uang. Dengan begitu, semangat dalam bekerja berarti sama dengan semangat dalam mengabdi kepada-Nya.


Bekerja keras dengan memanfaatkan semua karunia, anugerah dan nikmat yang dilimpahkan oleh Allah sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahannya termasuk salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah, sebagaimana firman-Nya,


ٱعْمَلُوْاۤ ا ٰلَ دَاوُ ُدَ شُكْرًا، وَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ

“Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS Saba’ [34] : 13)


Supaya senantiasa dalam inayah-Nya, marilah kita bersama-sama bermunajat kepada Allah :


اللَّهُمَّ إِناَّ نَعُوْذُبِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ

Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari lemah bertindak (pesimis/putus asa) dan malas, amin.


Daftar Pustaka :

  • Mario Teguh, “MT Morning Talk – The Relevance of Religion in Business”, Mei 2005
  • Robert K. Cooper, Ph.D dan Ayman Sawaf, “Executive EQ – Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi”, PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Keempat : Januari 2001

Tulisan ini lanjutan dari : Shalat Rajin Tapi Malas Bekerja (2 of 3)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Toggle