Showing posts with label umur. Show all posts
Showing posts with label umur. Show all posts

Friday, February 26, 2010

Buat Apa Kita Hidup? (3 of 4)

Orang-orang shaleh dan orang-orang thaleh (fasik) keduanya mengadu dan menangis karena sempitnya umur. Orang-orang shaleh menangis karena berharap kalau saja mereka dapat menambah amal baiknya. Sedangkan orang thaleh menangis karena menyesal tidak bersiap-siap demi hari esok nan kekal. Mereka belum membekali diri dengan amal shaleh. Tentang amal shaleh, Muhammad Abduh mendefinisikannya sebagai, “Segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan manusia secara keseluruhan.” Tentunya hal ini harus disertai iman dan ilmu.


Ibnu Athaillah berpesan, “Penundaanmu untuk beramal karena menanti waktu senggang adalah timbul dari hati yang bodoh.” Waktu yang ada pada diri seorang manusia berpacu dengan usia, sedangkan usia diakhiri dengan maut. Waktu bertambah dan umur manusia terus menyusut. Siapakah yang mengetahui sampai kapan seorang anak manusia berkuasa atas waktunya di dunia ini?


“Kekecewaan dari semua kekecewaan adalah ketika kalian berkesempatan tetapi kalian tidak menghadap Allah. Saat sedang ada sedikit halangan, kalian juga tidak mendatangi Allah,” kata Ibnu Athaillah melanjutkan nasihatnya.


Al-Ghazali menasihatkan agar dalam hidup ini kita selalu menempa jiwa, jangan sampai kita terpesona oleh tipu dayanya dan terperdaya karena manipulasinya. Perlu kita sediakan waktu khusus untuk merenung—melakukan kontemplasi—berkata kepada jiwa kita,


“Bagaimana jalan pikiranmu, andai banjir besar melanda dan akan menenggelamkan penduduk suatu negeri, tetapi mereka tetap bertahan di tempat tinggal mereka dan tidak mengambil langkah-langkah penyelamatan karena ketidaktahuan mereka terhadap situasi yang terjadi; sedangkan engkau wahai jiwa, mampu meninggalkan mereka dan naik ke atas perahu agar selamat dari banjir itu?


Apakah masih terpikirkan olehmu bahwa musibah yang terjadi secara meluas itu akan menjadi baik dengan sendirinya, sehingga engkau tidak perlu menyelamatkan diri? Ataukah engkau akan segera mengambil langkah penyelamatan?


Jika musibah itu hanya terjadi beberapa hari atau minggu, dan engkau segera menyelamatkan diri—maka, apakah engkau wahai jiwa, tidak akan melarikan diri dari siksa abadi di neraka?
Wahai jiwa, isilah hidup ini dengan bersungguh-sungguh (mujâhadah) dalam mengabdi kepada Allah.”


Ibnu Athaillah berkata, “Sesungguhnya hamba Allah yang shaleh akan banyak meluangkan waktu untuk merenungkan dirinya, mengevaluasi amal ibadahnya, mencuci hati dan pikirannya dengan perenungan suci, dan memberi arah kepada pikirannya dengan logika yang sehat dan wawasan yang dalam. Di saat jiwa kita jernih, maka akan jernih pula hati dan pikiran kita. Saat hati kita lapang, maka akan lapang juga pikiran dan akal kita.”


Seseorang bertanya kepada al-Ghazali, “Jiwaku tidak mau mengikutiku untuk mujâhadah dan senantiasa menjaga wirid, lalu bagaimana cara mengobatinya?” Apabila jiwa telah diperbudak oleh hawa nafsu, maka jiwa itu telah kehilangan keseimbangan, cenderung dibelenggu oleh kesenangan maksiat, dan tidak merasakan perbuatannya itu bertentangan dengan kehendak Sang Pencipta, Allah SWT.


Menjawab pertanyaan ini, Abu Hamid al-Ghazali berkata, “Caranya adalah dengan memperdengarkan kepadanya (jiwa) berbagai hadits mengenai keutamaan orang-orang yang bersungguh-sungguh (mujtahidîn). Salah satu terapi yang paling bermanfaat adalah bersahabat dengan salah seorang hamba Allah yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah, sehingga Anda dapat memperhatikan ucapan-ucapannya dan menjadikannya sebagai teladan.”


Di buku “Sentuhan Kalbu”, Permadi Alibasyah membuat perumpamaan yang begitu indah tentang kehidupan di dunia ini. Janganlah kita terlena akan kesenangan dunia yang sesaat, dan melupakan tujuan diciptakannya kita.


Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS al-Hadîd [57] : 20)


Perjalanan hidup manusia tak ubahnya bagaikan kisah penyelam mutiara. Seorang penyelam mutiara, dalam melaksanakan tugasnya selalu dibekali dengan tabung oksigen yang terpasang di punggungnya. Pada saat ia terjun menyelam, niatnya bulat ingin mencari tiram mutiara sebanyak-banyaknya. Tetapi begitu ia berada di bawah permukaan laut, ia mulai lupa pada apa yang harus dicarinya. Kenapa? Ternyata pemandangan di dalam laut sangat memesona. Bunga karang melambai-lambai seolah-olah memanggilnya, ikan-ikan hias berwarna-warni saling berkejaran dengan riangnya membuatnya terpana. Ia pun terlena, lalu ikut bercanda ria, melupakan tugasnya semula untuk mencari tiram mutiara yang berada jauh di dasar laut sana.


Hingga pada suatu saat, dia terkejut manakala disadarinya oksigen yang berada di punggungnya tinggal sedikit lagi. Timbullah rasa takutnya. Tak terbayang olehnya bagaimana kemarahan majikannya bila ia muncul ke permukaan tanpa membawa tiram mutiara sebanyak yang diharapkan. Maka dengan tergopoh-gopoh ia pun berusaha untuk mencari tiram mutiara yang ada di sekitarnya. Namun sayang, kekuatan fisiknya sudah melemah, energinya sudah habis terkuras bercanda ria dengan keindahan alam bawah laut.


Akhirnya isi tabung oksigennya benar-benar kosong, sehingga walaupun tiram mutiara yang diperolehnya sangat sedikit, ia mau tidak mau harus muncul ke permukaan. Malangnya lagi, karena tergesa-gesa dia tidak sempat mengikat kantongnya dengan baik, sehingga ketika tersenggol ikan yang berseliweran di sampingnya, tiram mutiara yang sudah didapatnya dengan susah payah itu sebagian tertumpah ke luar.


Di permukaan, majikannya telah menunggu. Begitu dilihatnya isi kantong si penyelam tidak berisi tiram mutiara sebagaimana yang ia harapkan, maka tumpahlah ketidaksenangan sang majikan. Saat itu juga si penyelam dipecat. Tentu saja bisa dibayangkan bagaimana gundahnya perasaan si penyelam.


Dengan penuh rasa penyesalan, si penyelam berusaha minta kesempatan ulang untuk menyelam kembali. Dia memohon,


“Tuan, ijinkanlah aku untuk menyelam lagi, pasti aku akan mencari tiram mutiara sebanyak-banyaknya.”


“Percuma engkau aku beri kesempatan, ternyata engkau hanya pandai membuang-buang oksigen saja!” tolak majikannya dengan tegas.


Kisah ini amat mirip dengan perjalanan hidup kita di dunia. Tabung oksigen adalah perlambang usia kita, tiram mutiara mengibaratkan pahala yang harus kita kumpulkan dan tiram mutiara yang tumpah mengumpamakan pahala yang hilang, misalnya karena riya’ (menampakkan amal shaleh agar dilihat orang lain supaya mendapat penghargaan atau kedudukan) dan sum‘ah (menceritakan amal shaleh agar didengar orang lain supaya dipuji). Adapun keindahan yang ada di dalam lautan melambangkan godaan-godaan kenikmatan duniawi.


Daftar Pustaka :

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini lanjutan dari : Buat Apa Kita Hidup? (2 of 4)
Tulisan ini berlanjut ke : Buat Apa Kita Hidup? (4 of 4)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, February 19, 2010

Buat Apa Kita Hidup? (2 of 4)

Dalam kehidupan sehari-hari, secara sadar atau tidak, sebenarnya kita telah melupakan bahwa kita hidup untuk beribadah kepada-Nya. Kita memberi informasi pada otak bawah sadar kita bahwa “menyembah” berarti ibadah ritual, sesuatu yang hukumnya wajib (fardhu) atau sunnah. Kegiatan sehari-hari kita anggap hukumnya mubah—dilaksanakan tidak berpahala, ditinggalkan pun tidak berdosa—jadi tidak termasuk ibadah. Untuk mengetahui keadaan diri, coba kita jawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

  • Kalau kita adalah murid sekolah atau mahasiswa, apa tujuan kita pergi ke sekolah, kuliah atau mengikuti bimbingan belajar?
  • Jika kita adalah pegawai dan suatu saat mengikuti kursus atau training, apa tujuan kita?
  • Sebagai orang yang sudah bekerja, buat apa kita bekerja?
  • Apabila ada tamu bertandang ke rumah, kemudian kita suguhkan sekadar makanan ringan, apa niat kita saat menyajikannya?
  • Tatkala kita akan mengikuti rapat, musyawarah, konferensi, muktamar atau sejenisnya, adakah yang kita niatkan dari rumah?
  • Jikalau kita membersihkan kamar kos, rumah, lingkungan atau sekolah (bagi para siswa), apa yang kita katakan di dalam hati sebelum melaksanakannya?
  • Saat kita membeli pakaian, kendaraan, rumah atau yang lain, apa niat kita?

Apakah dalam jawaban-jawaban tersebut, kita menyebut asma Allah? Apakah lafazh “Allah” terkandung di dalamnya? Jika tidak, mengapa?


Ulama-ulama zaman dulu telah mengajarkan kepada kita agar berniat ketika melaksanakan sesuatu semata-mata karena Allah. Mereka menasihatkan agar niat itu senantiasa dikerjakan, bahkan dengan kalimat yang lengkap, walaupun hanya di dalam hati. Ketika menyuguhkan hidangan untuk tamu, contoh niatnya adalah, “Saya niat menghormati dan memuliakan tamu karena Allah Ta‘âlâ.”


Waktu cepat berlalu. Zaman telah berubah, kebiasaan pun mengikutinya. Kandungan lafazh “Allah” dalam setiap niat dihilangkan demi mempersingkat kalimat, mempercepat waktu dan praktisnya kegiatan. Pada awalnya, walaupun lafazh “Allah” dihilangkan dari niat, tetaplah pada diri setiap insan selalu ingat bahwa itu semua untuk Allah. Dalam konteks bahasa, hal ini disebut Majas Metonimia.


Majas Metonimia adalah majas yang mengungkapkan sesuatu dengan menyebutkan sebagian dari orang atau barang yang dimaksud. Contoh penggunaannya adalah, “Saya suka membaca Chairil Anwar”. Yang dimaksud adalah, “Saya suka membaca puisi karya Chairil Anwar.” Contoh lain yang sering kita gunakan dalam keseharian yaitu, “Saya ingin membeli lima dos Aqua, Ades, Cheers, Vit dan Club.” Semua itu nama merk air minum dalam kemasan. Tanpa disebutkan “air minum dalam kemasan”, semua orang sudah mengerti maksudnya.


Bumi terus berotasi dan berevolusi. Waktu terasa lebih cepat berlalu. Zaman sudah modern, perbuatan pun tunduk padanya. Bagi sebagian orang, 24 jam sehari terasa sangat kurang untuk menjalankan beragam aktivitas. Di era Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau dalam bahasa Inggris disebut Information and Communication Technology (ICT) ini, berniat sudah dianggap membuang-buang waktu. Akhirnya setiap kegiatan dilakukan tanpa niat. Pokoknya, tahu sama tahu, sama seperti kemarin—idem.


Seperti kita pahami bersama, kita dibentuk oleh kebiasaan yang kita lakukan. Sebagai manusia, kita pun mempunyai sifat lupa. Sifat lupa ini sebenarnya banyak sisi positifnya. Andaikan ada seseorang tidak pernah lupa, tentu ia tidak akan bisa istirahat, apalagi tidur. Ia akan teringat akan masa lalunya yang bisa saja tidak menyenangkan. Apakah ia tidak akan trauma? Di sisi lain, karena kita terbiasa menghilangkan niat, maka kita akan lupa bahwa niat harus ada. Karena kita meniadakan lafazh “Allah” dalam niat, kita juga dibuat lupa bahwa harus ada Dzat sebagai tujuan kita.


Sebagai hasilnya, kita tidak merasa bahwa segala yang kita lakukan adalah ibadah kepada Allah. Ibadah-ibadah ritual sajalah yang benar-benar kita niatkan untuk-Nya. Itu pun karena niat termasuk rukun dalam ibadah tersebut, dan batal/tidak sah jika tidak melakukannya. Dan, kebiasaan-kebiasaan seperti itulah yang membuat kita merasakan kedekatan diri dengan Allah hanya saat di dalam masjid, sedangkan di luar masjid, semua kegiatan kita tidak ada urusan dengan Allah. Begitulah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.


Lebih “menakjubkan” lagi, jika pada masa kini ada seseorang yang tetap menjaga niat dalam setiap kegiatan, banyak orang akan menyebutnya ketinggalan zaman, tidak praktis, atau lebih parah lagi, “sok alim”.


“Sok alim”, sebuah mantra yang bisa menggoyahkan keinginan untuk senantiasa dalam kebaikan.


“Sok suci”, sebuah mantra lain yang bisa menghancurleburkan semangat untuk meninggalkan perbuatan tidak baik.


Perlu kita pahami lagi bahwa hidup ini antara kita dengan Allah. Janganlah kita sibuk mengurusi kekurangan orang lain, meremehkan apalagi mencemoohnya. Sebaliknya, jika ingin beribadah, jangan pula kita dipusingkan oleh ungkapan-ungkapan yang kurang enak didengar. Kita beribadah untuk mengabdi kepada-Nya, bukan untuk sebutan alim, shaleh atau sejenisnya.

Jadi, kalau dikatakan “sok alim”, jawab saja bahwa kita bukan orang alim. Jika disindir “sok suci”, katakan saja bahwa kita ini banyak dosa, tidak ada orang suci, kecuali para nabi dan rasul. Dengan menyadari dan mengakui kekurangan diri, kita tidak akan terbebani dengan sebutan-sebutan di atas. Terkadang, kalau sindiran tidak ditanggapi, atau hanya dibalas dengan senyuman, maka lama-kelamaan akan hilang sendiri. Tentang respons yang tepat, memang kondisional. Tugas kita adalah mencari cara untuk tetap berhubungan baik dengan siapa pun—karena itu juga ibadah, dan istiqamah melakukan kebaikan lainnya demi mengabdi kepada Allah.


Allah menganugerahkan umur sebagai simpanan kita. Dalam pandangan Allah, umur kita adalah umur yang pendek, bagai awan lalu. Jika kita mempergunakannya dengan baik, maka kita menjadi penghuni kenikmatan, surga nan abadi. Sebaliknya, apabila umur kita salah gunakan, maka neraka telah siap menanti.


Maka, wajib bagi kita untuk bersegera melaksanakan perbuatan shaleh sebelum tidak dapat melaksanakannya, sebelum dihalangi oleh pekerjaan, penyakit atau kematian. Rasulullah saw. bersabda:


اِغْـتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

Jagalah (manfaatkanlah) lima perkara sebelum datang lima perkara : masa mudamu sebelum tua, waktu sehatmu sebelum jatuh sakit, masa kayamu sebelum jatuh miskin, waktu luangmu sebelum kau sibuk dan hidupmu sebleum matimu. (HR Hakim dan Baihaqi)


نِعْمَتَانِ مَغْـبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ : اَلصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Ada dua nikmat yang membuat banyak orang tertipu, (yaitu) kesehatan dan waktu luang. (HR Bukhari)

Daftar Pustaka:

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Majas

Tulisan ini lanjutan dari : Buat Apa Kita Hidup? (1 of 4)
Tulisan ini berlanjut ke : Buat Apa Kita Hidup? (3 of 4)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, October 16, 2009

Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (3 of 5)

Modal seorang hamba adalah waktunya. Ia dapat menguntungkan dan membahagiakan, dapat pula merugikan dan menyusahkan. Jika kita menggunakan waktu kepada sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak menggunakan waktu untuk memperoleh pahala di akhirat, maka sungguh kita telah menyia-nyiakan modal kita.

Waktu laksana emas, jangan sampai hilang begitu saja. Sang waktu datang dan pergi setiap saat, dan dalam setiap tarikan nafas. Ia berada pada langkah manusia, pada setiap gerakan dan detak-detak nadi. Lenyapnya waktu berarti lenyap pula kesempatan. Tiada terasa saat sang waktu sedang bersama kita, dan tiada terasa pula ketika ia berangsur habis. Jangan sampai waktu yang didapatkan hanyalah ibarat air yang disiramkan ke atas pasir panas. Airnya menguap, sementara pasirnya tidak basah.

Ibnu Athaillah mengatakan, “Apa yang telah hilang dari usiamu tidak dapat diganti lagi. Apa yang telah engkau hasilkan dari usiamu haruslah hal yang tak ternilai harganya.”

Di buku “Membangun Dunia Baru Islam (Syuruth an-Nahdhah)”, Malik bin Nabi menulis, “Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota dan desa; membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya, walaupun segala sesuatu—selain Tuhan—tidak akan mampu melepaskan diri darinya.”

Ungkapan yang menunjukkan pentingnya waktu juga dicantumkan dalam sebuah pepatah Arab :

الْوَقْتُ كَالسَّـيْفِ إِنْ لَمْ تَقْطَـعْهُ قَطَعَكَ

“Waktu ibarat pedang. Jika engkau tidak memotongnya, niscaya ia memotongmu.”


Sebagaimana pedang yang mampu memenggal, maka begitu pula dengan waktu. Dengan “keberlaluan”, waktu adalah kepastian. Dengan “sedang” atau “yang akan datang”, waktu mengalahkan.

Mata pedang itu amat lembut dan tajam. Keberadaannya memiliki fungsi ganda. Jika kita memperlakukannya secara lembut, kita akan selamat. Dan jika sebaliknya yang terjadi, ia akan tercerabut dari akarnya. Demikian pula dengan waktu. Bagi kita yang patuh pada hukum waktu, maka kita akan selamat. Bagi kita yang menentangnya, maka waktu akan berbalik menjadi bumerang dan melemparkan pemiliknya. Janganlah kita mengisi waktu dengan hal-hal yang tiada guna.

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَ يَعْـنِيْهِ

Diantara (tanda) baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat.
(HR Tirmidzi)

Umar bin Khaththab ra. memberi nasihat, “Jangan lakukan sesuatu yang tidak bermanfaat bagimu, hindari musuhmu, hati-hati terhadap teman dari suatu golongan kecuali orang yang dipercaya, dan tidak ada yang bisa dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. Jangan berteman dengan orang jahat sehingga engkau belajar dari kejahatannya, jangan engkau beberkan rahasiamu kepadanya, dan bermusyawarahlah dengan orang-orang yang takut kepada Allah dalam segala urusanmu.”

Atha’ bin Abu Rabah berkata, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu tidak menyukai berlebihan dalam berbicara. Adapun yang mereka anggap sebagai kata-kata berlebihan adalah selain Kitabullah (Al-Qur’an), sunnah Rasulullah, amar ma‘ruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran), atau ucapan yang mesti dikatakan demi kebutuhan hidup.”

Apakah kita mengingkari adanya dua malaikat penjaga (Raqib dan ‘Atid) di sebelah kanan dan kiri yang menulis apa yang kita ucapkan dan lakukan? Apakah kita tidak malu jika kelak kebanyakan catatan yang ditulis dalam buku amal kita adalah hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan agama dan dunia kita?

مَايَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَـتِيْدٌ

Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.
(QS Qâf [50] : 18)

Sebagaimana lazimnya, kejahatan lebih cepat menular dibandingkan kebaikan. Itulah kecenderungan hawa nafsu. Jika teman-teman kita adalah orang-orang yang tidak memuliakan, mula-mula memang kita hanya jadi penonton. Berikutnya kita diajak tapi dalam hal yang ringan, misalnya membelikan minuman keras bila mereka suka mabuk, tapi kita tidak disuruh meminumnya. Selanjutnya kita akan diajak serta untuk mencicipinya. Jika kita menolak, yang dikuatirkan adalah mereka akan mengejek dan mencemooh kita karena tidak mengikuti kemauan mereka. Kita akan dikucilkan, dianggap pengecut, tidak gaul, kuno, katrok, ndeso, udik, sok suci, tidak setia kawan atau hasutan dan ancaman lainnya.

Biasanya, bila seseorang sudah disinggung ketidakmampuannya atau merasa tidak diterima keberadaannya, maka dia akan mengikuti apa pun syarat yang diajukan agar semua hinaan, cemoohan dan tuduhan terhadapnya terhapus. Hal itu terjadi karena timbul kekuatiran menjadi seperti sehelai daun kering yang jatuh dari pohon di seberang jalan, tak ada yang memperhatikan apalagi peduli; atau laksana secuil pecahan kaca di jalanan yang selalu dihindari bahkan disingkirkan orang. Ada ketakutan eksistensi diri dinafikan, seperti kata pepatah,

وُجُوْدُهُ كَعَدَمِهِ

“Keberadaanya sama dengan tidak ada.”


Nasi yang sudah menjadi bubur masih bisa dimakan, asalkan lauknya sesuai. Tetapi, jika kita sudah bergelimang dosa dan terjerumus dalam aktivitas yang tidak memuliakan, sanggupkah kita berjuang dengan semangat membara untuk keluar dari situasi itu? Padahal, ketika perjuangan masih ringan saja kita tidak mampu melakukannya. Oleh karena itu, mencegah harus tetap diutamakan. Mario Teguh menasihatkan bahwa tidak ada seorang kaisar pun yang cukup berkuasa untuk mengubah suatu kejadian atau peristiwa dalam rentang waktu yang disebut “tadi”.

Duhai jiwa!
Ayo bangkit dan siapkan dirimu tuk hari depan
Hindari nafsu yang membuatmu lupa daratan
Ayo bergegas menuju keselamatan
Ayo berjuang, berjuang, dan berjuang
Agar kau selamat dari azab yang membinasakan
Raih kemenangan hakiki di negeri keabadian
Selamatkan dirimu dari api yang menyengsarakan
(nasihat Ibnu Hazm)

Daftar Pustaka :
  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007

Tulisan ini lanjutan dari : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (2 of 5)
Tulisan ini berlanjut ke : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (4 of 5)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Toggle