Monday, March 29, 2010

2 Gambar, 1000 Harapan

Pertemuan antara 2 tokoh yang berbeza aliran pemikiran, Dr Mohd Asri Zainul Abidin (bekas Mufti Perlis) dan Faisal Tehrani (penulis novel terkenal) semasa berlangsungnya Pesta Buku Antarabangsa Kuala Lumpur (PBAKL) 2010 di PWTC kelmarin.

Faisal Tehrani telah menghadiahkan Dr Mohd Asri novel beliau berjudul Tuhan Manusia. Manakala, Dr Mohd Asri pula menghadiahkan Faisal Tehrani karya beliau berjudul Mengemudi Bahtera Perubahan Minda sebagai penghargaan.

Suka tengok senyuman mereka. Mesra saja. Walaupun, masing-masing berbeza aliran pemikiran perpaduan itu tetap terlaksana. Yes

Pertemuan antara 2 tokoh yang berbeza aliran pemikiran, Dr Aidh Abdullah al-Qarni (penulis buku La Tahzan - Jangan Bersedih) dan Habib Ali Al-Jufri (pendakwah antarabangsa) semasa berlangsungnya Multaqa Pertama: Islam dan Pelancongan 2009 pada 12-13 Oktober 2009 di San'a, Yaman.

Bagi yang memahami perbezaan aliran pemikiran tersebut, diajukan 1000 harapan. Adapun yang tidak memahaminya, cukuplah sekadar diketahui bahawa perpaduan umat Islam tetap akan terlaksana.

Beginilah seharusnya akhlak dan peribadi seorang tokoh ilmuwan berkelakuan. Kerana disebalik setiap perbezaan pendapat itu, pasti ada rahmat Allah yang tersembunyi yang tidak kita ketahui.

M.A.Uswah,
Sandakan,
28 Mac 2010.

Friday, March 26, 2010

Meragukan Al-Qur’an? Na‘ûdzubillâh (2 of 8)

Berikut ini kasus terakhir yang benar-benar menguji logika kita, karena logika kita akan dibandingkan dengan logika anak kecil. Sehebat apakah logika kita dibandingkan anak kecil? Bila kita kalah, tidakkah itu berarti bahwa logika kita bukanlah segala-galanya?


Suatu hari, sebuah toko furniture mengirim perabotan rumah ke seorang pelanggan. Termasuk dalam daftar kiriman adalah sebuah almari besar dan mahal. Semuanya dikirim dengan sebuah truk. Setelah jalan beberapa lama, truk itu harus lewat di bawah sebuah viaduk (semacam jembatan layang/fly over). Ternyata, ketika sampai di tengah viaduk, truk tiba-tiba berhenti. Bagian atas almari tertahan oleh viaduk. Kalau terus maju, maka almari itu akan rusak. Begitu juga bila dimundurkan. Almari itu dicoba untuk dimiringkan (supaya posisinya berubah menjadi tidur), ke kiri, ke kanan, ke manapun, ternyata tidak bisa. Hingga beberapa jam, kondisi itu tak kunjung teratasi. Kemacetan pun tak terelakkan.


Nah, bagaimana logika kita menyelesaikan masalah ini? Bagaimana supaya almari tadi tidak rusak, karena harganya sangat mahal? Bisakah kita? Mari kita merenung sejenak, sebelum melihat jawabannya.

. . . . . . .
. . . . . . .
. . . . . . .

Setelah semua usaha tidak berhasil, ternyata ada seorang bocah lelaki kecil melintas naik sepeda mininya. Ia punya pengalaman yang mirip dengan yang dialami truk itu. Dengan polosnya ia mendekati sang sopir truk sambil berkata, “Ban truknya dikempesin saja, Om. Nanti kan almarinya tidak lagi tertahan, terus truknya didorong.” Duhai saudaraku, apakah logika kita menemukan solusi yang lebih hebat daripada logika anak kecil ini?


Iman jauh melampaui logika. Sahabat Abu Bakar ra. mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa Rasulullah diperjalankan oleh Allah menuju Masjid al-Aqsha (Isra’), padahal waktu itu logika manusia tidak mungkin membenarkannya. Namun, imanlah yang membuat Abu Bakar ra. meyakininya. Berabad-abad kemudian, barulah para ilmuwan menemukan pesawat atau roket yang bisa membuat orang pindah dari satu tempat ke tempat lain yang sangat jauh dalam waktu singkat. Bukankah itu berarti logika tertinggal berabad-abad dibandingkan iman? Layakkah kita mengatakan logika lebih hebat daripada iman?


Mungkin kita akan berkilah, “Kalau saya mempelajari Al-Qur’an dimulai dari iman, maka pasti benar semua dong. Padahal saya bermaksud untuk menilainya dengan tidak memihak.”


Baiklah kalau begitu. Para ilmuwan Fisika Quantum sudah menemukan “Hukum Tarik-Menarik (The Law of Attraction)”. Bila yang ada di pikiran kita positif, maka energi positif dari diri kita akan menarik semua energi positif yang ada di alam semesta. Begitu juga sebaliknya, bila energi negatif keluar dari mikrokosmos tubuh kita, maka makrokosmos juga mengirimkan energi negatif ke kita, karena kitalah yang meminta dan menariknya.


Bukankah sudah kita pahami bahwa tidak ada yang disebut tidak memihak? Semua tergantung pikiran kita. Kalau kita berpikiran baik, maka kita akan menemukan hal-hal baik. Jika pikiran kita dipenuhi oleh ketidakbaikan, maka kejelekan dan keburukanlah yang akan kita dapat. Itu semua ilmiah dan masuk akal. Sebagai contoh, seorang penjahat akan selalu curiga terhadap orang lain. Namun, orang baik tidak akan curiga, hanya waspada. Bukankah sudah jelas perbedaannya antara curiga dan waspada?


Contoh lain, sikap terhadap seorang teman. Cobalah berniat dan tetapkan pada pikiran kita bahwa kita akan mencari semua kekurangan dan kelemahan teman kita, sekecil apa pun. Kalau itu kita setting, pastilah kita akan menemukan banyak sekali kekurangan dan kelemahan teman kita, bahkan sampai hal-hal yang sangat kecil, yang diabaikan oleh orang lain. Namun, jika kita biasa-biasa saja tentang teman kita, maka kesalahan-kesalahan yang sangat kecil tidak akan nampak, karena kita sudah memerintahkan pikiran kita bahwa itu bukanlah sebuah masalah. Itu manusiawi dan wajar.


Intinya, jika kita mencari kebenaran, sah-sah saja kita mempunyai pendapat yang didasarkan pada logika, karena akal memang tercipta untuk mengokohkan iman. Namun, jika kita hanya ingin mencari pembenaran, maka akan tertutuplah kebenaran dari diri kita. Hal ini sudah terbukti, baik secara nash, yaitu bahwa Allah sesuai prasangka hamba-Nya maupun secara ilmiah.


Kalau kita memang benar-benar mencari kebenaran, itu akan terlihat dari sikap kita. Kita akan dengan senang hati dan rendah hati menerima ilmu dari orang lain. Kita cenderung untuk bertanya, bukan membantah apalagi “membantai” nasihat orang lain. Tujuan kita berdiskusi bukanlah untuk membenarkan pendapat, tapi mendapatkan ilmu sebanyak mungkin. Bila suatu saat kita berdialog dengan seseorang, namun orang itu kurang cakap, maka kita tidak mempermasalahkannya. Ilmu orang itu kita serap sebanyak mungkin. Kita tidak berdiskusi dengannya untuk membuktikan bahwa pendapat kitalah yang benar, valid dan uptodate. Kita mencari ilmu dengan membuka hati dan pikiran untuk menerima ilmu. Dengan demikian, kita akan memungut ilmu dan hikmah di mana pun berada, walaupun berasal dari anak kecil. Itulah ciri-ciri jika kita memang mencari kebenaran, bukan pembenaran.


Jika kita mencari kebenaran, maka iman harus tertanam di dalam dada. Sekarang, marilah kita pelajari bersama-sama tentang Al-Qur’an, untuk kemudian kita hayati dan amalkan dalam keseharian.


Al-Qur’an adalah wahyu suci yang terjaga dari segala yang berbau imajinasi dan ilusi, sehingga tidak mengandung kesia-siaan.


A-Qur’an adalah kitab yang isinya dinukil melalui cara yang benar-benar meyakinkan, diceritakan secara jujur, dan adil dalam keputusan.


Al-Qur’an adalah kitab suci yang merupakan sumber utama dan pertama ajaran Islam yang menjadi petunjuk kehidupan umat manusia.


Al-Qur’an adalah garis-garis besar haluan umat yang abadi, kebanggaan sekaligus kemuliaan bagi umat Islam.


Al-Qur’an adalah kitab abadi yang telah memerdekakan umat dari kesesatan menuju hidayah, membuka mata hati, memberi pelajaran dan menegakkan kepala.


Al-Qur’an adalah kumpulan wahyu Ilahi yang menjadi air kehidupan bagi ruhani manusia, juga rahmat yang tiada ada taranya bagi alam semesta.


Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah, yang isinya mencakup semua pokok syariat yang terdapat dalam kitab-kitab suci sebelumnya.


Al-Qur’an adalah kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah dan terpelihara.


Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar, bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda-beda.


Al-Qur’an adalah kitab yang tidak ada satu keraguan pun di dalamnya, sebagaimana tercantum dalam sebuah ayat:


ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ

Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS al-Baqarah [2]: 2)


Daftar Pustaka :

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Membumikan’ Al-Qur’an”, Penerbit Mizan, Cetakan XXX : Dzulhijjah 1427H/Januari 2007


Tulisan ini lanjutan dari :Meragukan Al-Qur’an? Na‘ûdzubillâh (1 of 8)
Tulisan ini berlanjut ke : Meragukan Al-Qur’an? Na‘ûdzubillâh (3 of 8)


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, March 19, 2010

Meragukan Al-Qur’an? Na‘ûdzubillâh (1 of 8)

Hidup ini memang penuh keanehan. Entah apa maksudnya, namun ada juga orang yang berkata, “Kalau kita ingin mengecek kebenaran Al-Qur’an, maka kita tidak boleh memihak atas dasar iman. Dengannya, kita benar-benar obyektif dalam menilai Al-Qur’an. Itulah logika yang tepat untuk memutuskan sesuatu valid atau tidak, benar atau salah.”


Kembali ke prinsip awal, janganlah kita menyalahkan orang lain atas pernyataan mereka yang memang terdengar aneh. Mungkin mereka memang belum mengerti, sehingga mencari kebenaran, dan semoga bukan sekadar mencari pembenaran atas pendapat pribadi.


Kalau orang seperti itu hanya mencari pembenaran atas pendapatnya, maka butuh usaha ekstra keras untuk bisa berdialog dengannya. Ia sudah menutup pintu masuk pendapat orang lain. Pikirannya telah dikunci dan dibentengi dengan segala macam argumen. Kata-kata maupun intonasinya juga kurang enak didengar, cenderung melindungi diri, kurang bersahabat bahkan menjatuhkan. Yang lebih enak, bila orang itu ingin mencari kebenaran.


Namun demikian, marilah kita bahas pernyataan tersebut. Bukankah akal memang diciptakan untuk memperkokoh iman? Bukankah Nabi Ibrahim pun ingin ditunjukkan kekuasaan Allah untuk menghidupkan yang sudah mati? Bedanya, Nabi Ibrahim didahului iman, lalu di-“bumi”-kan dalam tataran akal. Sedangkan orang ini, dimulai dari akal, tanpa didahului iman. Semoga saja niatnya memang untuk mencari kebenaran, amin.


“Obyektif”, sebuah kata sakti dalam sebuah pendapat atau diskusi. Sebenarnya tidak ada yang disebut obyektif murni. Obyektif hakikatnya adalah subyektif. Kalau kita meminta pendapat pada si A tentang sebuah persoalan, maka dia akan berusaha untuk menyampaikan pendapat secara obyektif. Coba kita tanyakan hal yang sama pada 8 (delapan) orang yang lain. Dengan kata sakti “obyektif”, setiap orang juga akan memberikan pendapatnya. Pertanyaannya adalah, “Pendapat A yang katanya obyektif dan pendapat delapan orang lainnya yang juga obyektif, apakah sama? Ataukah berbeda? Jika memang berbeda, bukankah itu berarti pendapat-pendapat itu bersifat subyektif?”


“Logika”, sebuah kata sakti lain supaya dianggap modern dan ilmiah. Mari kita tanyakan pada logika tentang sebuah masalah. Contoh ini sudah kita ketahui bersama. Ada sebuah gelas yang berisi air setengahnya. Apa kata logika tentang kondisi ini? Logika pertama akan berkata, “Air di gelas itu separuh penuh.” Adapun logika yang lain mengatakan, “Air di gelas itu tinggal separuh.”


Siapa yang benar di antara kedua logika tersebut? Semuanya benar karena memang kondisinya seperti itu. Namun, efek yang ditimbulkan oleh masing-masing pernyataan sungguh sangat berbeda. Logika pertama akan membuat orang menjadi optimis, sedangkan logika kedua sebaliknya, membuat orang pesimis. Kenapa? Jawabannya sudah banyak dibahas di buku-buku tentang motivasi dan berpikir serta berjiwa besar. Jadi, tidak perlu lagi kita jelaskan di sini.


Logika juga yang menyatakan, “Setiap wadah menumpahkan isinya.” Sebuah teko akan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya. Bila diisi air putih, maka akan keluar air putih dari teko itu. Begitu pun bila diisi air susu, madu atau air comberan. Isi yang keluar sesuai dengan yang diisikan di dalamnya. Nah, kalau kita mau membahas Al-Qur’an tanpa didahului iman, hanya bermain logika, maka sudahkah otak kita terisi hal-hal yang baik dan hebat? Bukankah sudah diketahui bersama bahwa orang yang paling cerdas pun tidak sampai menggunakan 5% dari kemampuan otaknya? Lalu, sehebat apakah logika (kemampuan) kita?


Marilah kita lihat lagi secanggih apa logika kita. Di sini tidak ada benar atau salah, hanya untuk melihat kemampuan logika kita.


Suatu ketika, Thomas Alfa Edison menguji dua orang calon karyawan. Tesnya sederhana saja, yaitu mengukur volume sebuah bola lampu.


Calon karyawan pertama mengukur dengan teliti setiap bagian bola lampu, mulai jari-jari lingkaran, panjang, lebar, tinggi dan semua yang dibutuhkan. Dia melakukan perhitungan matematis yang cukup rumit, menggunakan rumus integral rangkap tiga (∫∫). Akhirnya, dia pun menemukan berapa volume bola lampu itu.


Calon karyawan kedua menggunakan cara lain. Dia mengisi bola lampu dengan air sampai penuh, kemudian air itu dituangkannya ke sebuah gelas ukur. Dari gelas ukur itulah diketahui berapa volume bola lampu yang dimaksud. Kedua-duanya berhasil menghitung volume bola lampu sesuai permintaan. Apakah logika kita bisa menemukan cara selain yang dipaparkan oleh dua calon karyawan itu?


Di sebuah perusahaan yang memproduksi sabun mandi batangan, ternyata ada kesalahan mesin. Ditemukan beberapa sabun mandi yang sudah terbungkus rapi, tapi isinya kosong. Bagian QC (Quality Control) jadi sibuk sekali karena harus memeriksa satu per satu sabun hasil produksi. Perusahaan itu akhirnya mendatangkan dua orang ilmuwan untuk memecahkan masalah tersebut, yaitu mengetahui sabun-sabun kosong dan memisahkannya dari sabun yang ada isinya.


Ilmuwan pertama melakukan analisis lengkap. Dia membuat sebuah studi kelayakan (feasibility study). Dia melakukan analisa secermat mungkin dengan menggunakan semua metode, yaitu Cost-Benefit Analysis, Risk Analysis dan Capital Investment Analysis. Dia menghitung dengan teliti tentang Payback Period, Cost-Benefit Ratio, Return on Investment (ROI), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR). Setelah dikalkulasi, dia membutuhkan waktu 7 bulan dan dana sebesar Rp 700.000.000,- untuk membuat sinar infra merah lengkap dengan robot yang bisa menyingkirkan secara otomatis sabun-sabun kosong.


Ilmuwan kedua mengusulkan agar ketika sabun-sabun itu selesai diproduksi, dalam perjalanan menuju bagian packaging, dipasang saja sebuah kipas angin. Kipas angin itu diputar dengan kecepatan yang cukup untuk menerbangkan sabun-sabun kosong. Dua orang ilmuwan itu telah berhasil menemukan metode menemukan sabun kosong dan menyingkirkannya. Logika mereka sama-sama benar, walaupun beda caranya. Nah, logika kita akan memilih solusi yang mana? Ataukah kita punya solusi sendiri sesuai logika kita?


Para astronot mengeluhkan bahwa mereka tidak bisa menulis dengan pulpen ketika berada di angkasa. Kalau di bumi, tinta yang ada di pulpen bisa keluar dari tempatnya karena ada gravitasi bumi. Sedangkan di angkasa, gravitasi bumi kecil sekali, juga ada gaya sentripetal. Itu artinya tinta pulpen tidak akan pernah keluar, dan itu berarti para astronot tidak bisa menulis apa pun. Penulisan pada kertas tetap dibutuhkan, selain karena praktis, juga sebagai backup, bagian dari contingency atau disaster recovery plan. Dua orang fisikawan didatangkan.


Fisikawan pertama mengatakan akan melakukan penelitian. Dia akan membuat sebuah percobaan dengan menggunakan berbagai zat cair dan gas. Dia berharap akan menemukan sebuah pulpen jenis baru yang bisa digunakan untuk menulis di angkasa. Dia membutuhkan waktu selama 3 bulan dengan biaya Rp 255.255.000,-.


Ahli Fisika kedua mengatakan, “Kenapa kita harus menggunakan pulpen? Bukankah tujuan utamanya supaya bisa menulis? Pakai saja pensil. Di manapun kita berada, kita tetap bisa menulis, tidak perlu gravitasi.” Nah, condong ke pendapat siapakah logika kita? Atau, logika kita mempunyai pendapat sendiri?

Tulisan ini berlanjut ke : Meragukan Al-Qur’an? Na‘ûdzubillâh (2 of 8)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, March 12, 2010

Merasa Diri Shaleh?!

Mari perhatikan lagi setiap tulisan, komentar dan ucapan kita. Kiranya bila memberi komentar, baik di internet (blog, mass media atau jejaring sosial), radio maupun percakapan dengan orang lain, akan terlihat bahwa kita termasuk orang shaleh yang senantiasa mengerjakan kebaikan. Kalau saja kita mengarsip/merekam setiap komentar yang telah lalu, maka orang lain bahkan diri kita sendiri pun akan berkesimpulan bahwa kita orang shaleh.

Mengapa ketika berkomentar, kita cenderung menunjukkan bahwa diri kita termasuk orang shaleh? Apakah memang demikian keadaannya ataukah hal itu sekadar kamuflase agar orang lain memperhatikan ucapan, tulisan atau komentar kita? Agar orang lain menganggap kita orang alim dengan segudang ilmu?

Mari kita teropong diri sendiri, tak perlu berepot ria menilai tulisan, perilaku serta tutur kata orang lain.

Mungkin kita bertanya, “Salahkah bila kita berkomentar dengan muatan sarat ilmu dan hikmah?”

Tidak ada yang salah dengan segenap tulisan maupun tutur kata yang mengandung ilmu. Semua itu baik dan memperbaiki. Namun, mari kita tanya hati nurani sendiri sesuai konsep istafti qalbak. Apakah komentar yang ada benar-benar kita niati untuk memperbaiki diri sendiri dan orang lain, ataukah hanya untuk menunjukkan bahwa kita berilmu dan berwawasan luas? Jawaban pertanyaan ini tak perlu kita ucapkan dengan lisan, cukup di dalam hati.

Untuk mengetahui keadaan diri, kita harus tahu dulu kriteria shaleh. Telah dijelaskan oleh para ulama bahwa shaleh menyangkut ritual dan sosial. Terkadang bahkan mungkin kerapkali kita hanya berusaha memenuhi salah satu kriteria, biasanya lebih mudah memenuhi kriteria shaleh ritual yang hanya berhubungan dengan Allah (hablum minallâh).

Kita rajin shalat nafilah, baca Al-Qur’an, dzikir/wirid serta ibadah sunnah lainnya, tapi lidah tak henti-henti membicarakan orang lain (ghibah), melakukan intrik tak sehat dalam “perebutan” tampuk kepemimpinan, mengolok-olok saudara sesama muslim, membuang sampah sembarangan, berkendara seenaknya di jalan dan berbagai tindakan negatif lainnya. Na‘ûdzubillâh min dzâlik

Entah mengapa hal itu kita lakukan. Apa kita belum tahu bahwa segala perbuatan menyakiti orang lain—baik secara langsung maupun tidak—dilarang agama? Apa kita mengira semua ibadah ritual kita diterima, sehingga begitu mudahnya kita menyakiti sesama dengan dalih masih lebih banyak pahala daripada dosa yang kita perbuat? Apa malaikat telah mengirim SMS atau email kepada kita tentang berita tersebut?

Ada hal yang cukup aneh kerap terjadi pula, yaitu kita menceritakan kepada orang lain tentang berbagai macam ibadah yang kita lakukan. Kita berkata kepada teman kita, “Ini bukan pamer atau sombong lho, ya… Tiap hari kalau tahajud, saya pasti menangis tersedu-sedu… Ketika banyak orang keluar rumah bahkan berpesta pora saat malam tahun baru, saya tafakkur di rumah, menangis di hadapan Allah sampai pagi menjelang…”

Apa maksud kita menceritakan semua itu? Apa kita telah melupakan keberadaan penyakit riya’ yang bisa menelusup secara samar? Apa kita lupa bahwa penyakit ini akan menggerogoti pahala kebajikan kita hingga tak bersisa?

Kita tidak pernah tahu pasti keadaan amal ibadah kita di sisi-Nya. Oleh karena itu, rajâ’ dan khawf haruslah seimbang. Rajâ’ adalah pengharapan untuk mendapat pengampunan dan rahmat Allah. Adapun khawf yaitu takut kepada Allah atau kuatir jika dosa-dosa kita tidak diampuni dan ibadah kita ditolak.

Pertanyaan yang harus diajukan kepada diri sendiri yaitu, “Apa benar kita ingin menjadi orang shaleh? Jika ya, mengapa kita masih melakukan hal yang menyakiti hati orang lain, baik langsung maupun tidak, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi?”

Menjadi shaleh merupakan dambaan setiap insan. Setiap shalat, kita senantiasa memohon kepada Allah agar menjadikan diri kita termasuk golongan orang-orang shaleh. Hal ini tersirat dalam bacaan surah al-Fâtihah yang terjemahnya :

Tunjukilah kami jalan yang lurus,

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
(QS al-Fâtihah [1]: 6-7)

Di tafsir Ibnu Katsir dijelaskan maksud “orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.”

و{الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ} هم المذكورون في سورة النساء، حيث قال: {وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا * ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيمًا}

Yang dimaksud “orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka” yaitu sebagaimana tercantum di surah an-Nisâ’ [4]: 69-70 yang artinya:

Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.


Dengan demikian, nyatalah bahwa kita sangat berharap menjadi orang shaleh. Minimal 17x sehari—dalam 17 rakaat—kita memohon kepada-Nya, belum lagi bila ditambah shalat-shalat sunnah.

Lalu, mengapa sikap, tingkah laku serta tutur kata kita masih mencerminkan sikap kurang/tidak shaleh, entah shaleh ritual ataupun sosial? Bukankah lucu bila kita berdoa agar menjadi orang shaleh tapi perilaku sehari-hari tidak mencerminkan hal itu? Adakah kita hendak bermain-main dengan doa kita? Adakah kita hendak mengelabui Allah, manis di bibir tapi lain di kenyataan? Semoga keadaan kita seperti itu bukanlah kehendak untuk mempermainkan Allah, tapi semata-mata karena kelemahan kita.

Begitu mulianya orang-orang shaleh, sampai-sampai mereka didoakan saat tahiyyat dalam setiap shalat.


السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ

Semoga keselamatan tetap atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shaleh. (HR Bukhari-Muslim)

Tidakkah kita perhatikan bagaimana doa seluruh umat Islam dicurahkan untuk orang-orang shaleh? Tidakkah kita ingin didoakan oleh segenap kaum muslim di seluruh penjuru dunia? Tidakkah kita berbahagia bila nama kita tertulis di jajaran orang-orang yang dimohonkan keselamatan oleh setiap mushalliy (orang yang shalat)?

Sebagai penutup, mari bersama-sama bermunajat kepada Allah:


اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ

Ya Allah jadikanlah hamba termasuk golongan orang yang suka bertaubat dan bersuci serta golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh, amin.


Daftar Pustaka :

  • Bahrun Abu Bakar, Lc, dan Anwar Abu Bakar, Lc, “Khasiat Zikir dan Doa – Terjemah Kitab Al-Adzkaarun Nawawiyyah”, Penerbit Sinar Baru Algensindo, Cetakan I : Rabiul Awal 1416/Agustus 1995
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Thursday, March 11, 2010

Wafatnya Syeikh Sayyid Tantawi (Beserta Profilnya)

Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.

Syeikhul Azhar, Syeikh Muhammad Sayyid Tantawi rahimahullah menghembuskan nafasnya yang terakhir di Riyadh, Arab Saudi ketika usianya 82 tahun. Beliau wafat pada pagi hari ini (Rabu) 10 Mac 2010 akibat serangan jantung sebagaimana yang dilaporkan akhbar-akhbar. Tujuan beliau ke Riyadh ialah untuk menghadiri majlis Anugerah Al-Malik Faisal. Ketika di Lapangan Terbang Antarabangsa Al-Malik Khalid, Riyadh, beliau diserang sakit jantung secara tiba-tiba sedangkan sebelum itu beliau berada dalam keadaan sihat. Ketika itu, beliau dalam perjalanan pulang ke Kaherah. Beliau kemudiannya dibawa ke hospital dan menghembuskan nafasnya yang terakhir di sana.

Anak lelakinya, Amru Muhammad Sayyid Tantawi berkata, persetujuan telah dicapai bahawa ayahnya akan dikebumikan di Tanah Perkuburan Baqi' di Madinah Al-Munawwarah.

Profil Syeikh Muhammad Sayyid Tantawi rahimahullah

Syeikh Muhammad Sayyid Tantawi dilahirkan pada bulan Oktober tahun 1928 di Kampung Salim As-Syarqiyyah di Muhafazah Sohaj di So'id Misr. Beliau menghafaz Al-Quran dan belajar di Iskandariah/Alexandaria, Mesir.

Memperoleh PhD dalam bidang Hadith dan Tafsir pada tahun 1966 dengan pangkat Mumtaz (cemerlang). Berkhidmat sebagai tenaga pengajar di Kuliah Usuluddin, kemudian beliau mengajar di Libya selama 4 tahun dan di Madinah Al-Munawwarah pula sebagai Dekan Kuliyyah Ad-Dirasat Al-'Ulya di Universiti Islam Madinah. Kemudian, beliau pulang semula ke Kaherah.

Pada 28 Oktober 1986, beliau dilantik menjadi Mufti Kerajaan Negara Mesir. Pada tahun 1996, beliau dilantik menjadi Syeikhul Azhar.

Beliau merupakan salah seorang di kalangan ulama terbilang di Al-Azhar yg mahir dalam bidang Tafsir dan mempunyai karya-karya penulisan yang bermutu.

Peribadinya

Syeikh Sayyid Tantawi walaupun seorang yang berkedudukan tinggi di dalam kerajaan Mesir, namun sedikit pun tidak memberikan kesan kepada kehidupannya. Malah terkenal sebagai seorang yang zuhud, tenang dan sejuk mata memandang. Butir-butir kalam yang keluar daripada beliau mampu menusuk ke jiwa sanubari sesiapa yang ingin memahaminya.

Syeikh Sayyid Tantawi merupakan seorang yang sangat kuat membaca dan terlalu asyik jika membaca, sehingga diceritakan beliau terpaksa menyuruh salah seorang pembantunya untuk menunggu dan mengingatkan kepada beliau bilamana waktu solat telah masuk, bimbang terlepas waktu solat. Ini kerana jika beliau mula membaca pada awal pagi, maka beliau hanya akan tamat membaca jika telah masuk waktu Zohor. Ini adalah rutin kehidupan beliau.

Bilamana meneliti kehidupan beliau, seolah-olah terpancar sinar para ulama terdahulu yang terlalu asyik dan masyuk ketika membaca. Kisah Imam Isnawi rahimahullah yang membaca bermula selepas Isyak sehinggalah terlepas solat Subuh hanya kerana terlalu asyik membaca dan menulis sehingga tidak sedar bahawa matahari semakin meninggi. Beliau hanya menyedari bahawa subuh telah tamat bilamana cahaya matahari memancar ke wajahnya. Masya Allah, begitu asyik sekali membaca seolah-olah tidak menyedari apa yang berlaku di sekelilingnya. Berbeza dengan sikap 'pewaris para ulama' sekarang, lebih banyak tidur daripada membaca. Apa yang berlaku kepada kita, adalah sebalik daripada cerita Imam Isnawi rahimahullah dan Imam Tantawi rahimahullah.

Karya-karyanya

- Bani Israel fi Al-Quran wa As-Sunnah (1969)

- At-Tafsir Al-Wasit li Al-Quran Al-Karim (1972)
- Al-Qissah fi Al-Quran Al-Karim (1990)
- Muamalat Al-Bunuk wa Ahkamuha As-Syar'iyyah (1991)


Kontroversi Semasa Hidupnya

Memang tidak dinafikan Syeikh Tantawi rahimahullah pernah mengeluarkan fatwa yang kelihatan kontroversi tetapi mungkin fatwa itu dikeluarkan atas faktor-faktor tertentu yang tidak kita ketahui. Maka, lebih selamat jika kita serahkan urusan-urusan sebegini kepada mereka yang layak dan tahanlah lidah kita daripada mengecam serta mencerca para ulama.

Berkata Ibnu Asakir:

"Sesungguhnya daging para ulama itu beracun.
"

Daripada Ibnu Umar ra, sabda Rasulullah saw:

"Sebutlah kebaikan-kebaikan orang-orang yang mati di kalangan kamu dan tahanlah (diri kamu) daripada menyebut kesalahan-kesalahan mereka."


(Riwayat Imam Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Hibban, At-Tabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Al-Baghawi)

Semoga Allah menempatkan beliau bersama para anbiya dan solihin. Amin.

Rujukan:
http://lamanulama.blogspot.com/2010/03/syeikhul-azhar-syeikh-tantawi-kembali.html
http://nazrulnasir.blogspot.com/2010/03/belasungkawa-syaikhuna-al-allamah.html

Toggle